Pergulatan Melawan Cedera
Atlet rugbi Christopher Adhitya Hardwika meringis kesakitan ketika menjalani terapi penguatan otot bahu di pusat kesehatan olahraga di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (12/9/2018). Ia mengalami cedera bahu kanan ketika bertanding pada Asian Games 2018.
Tim Medis Asian Games Kontingen Indonesia mencatat sepuluh atlet rugbi mengalami cedera kategori ringan hingga berat. Cedera yang dialami antara lain tulang pinggul retak, tulang kecil lutut patah, otot tangan sobek, otot ACL putus, serta cedera otot bahu dan pinggul. Sebanyak lima atlet sudah menjalani operasi.
”Saya baru main 3 menit, tiba-tiba kena kontak fisik di lapangan. Karena cedera cukup parah, akhirnya saya berhenti bermain,” kata Christopher, mengisahkan cedera yang dialaminya saat laga babak penyisihan grup melawan Malaysia.
Selama lebih dari dua pekan, Christopher kesulitan menggerakkan tangan kanannya. Jangankan kembali berlatih, untuk sekadar berjabatan tangan atau mengambil barang saja dia kerepotan. Mahasiswa Fakultas Teknik Unika Atma Jaya, Jakarta, itu harus menggunakan penyangga lengan untuk membantunya beraktivitas.
Kemarin, Christopher menjalani terapi fisik berupa penguatan otot tangan dan terapi air dingin. Dia juga menjalani terapi dengan alat stimulasi khusus yang terhubung dengan arus listrik ringan agar nyeri otot berkurang. Terapi harus dijalani seminggu tiga kali selama dua hingga empat bulan.
Perenang Randa Putra juga mengalami cedera bahu dengan kategori ringan. Cedera terasa sejak menjalani pelatnas di Bali pada bulan Juni, atau dua bulan sebelum Asian Games. Meskipun sedang cedera, Randa menahan rasa sakit demi tampil pada nomor gaya bebas putra jarak 200 meter, 400 meter, dan estafet 100 meter. Akibat cedera itu, penampilan Randa kurang maksimal.
Pada jarak 200 meter, Randa hanya membukukan waktu 1 menit 53,88 detik. Padahal, rekor terbaiknya 1 menit 52 detik saat Kejurnas Palembang 2017. ”Seandainya saya tidak cedera, catatan waktu saya bisa lebih bagus,” kata Randa, menyesal.
Cedera membuat sejumlah atlet kehilangan kesempatan meraih medali, beberapa bahkan harus melewatkan tampil pada kejuaraan penting yang dinantikan sejak lama. Atlet bisbol All Luthvy Jhonata, pelari jarak jauh Triyaningsih, dan lifter I Ketut Ariana terpaksa mundur dari Asian Games karena cedera. Keputusan mundur dari Asian Games diambil pada sepekan hingga 20 menit menjelang kompetisi berlangsung.
Ujian mental
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saat ini, atlet harus berkutat dengan cedera yang menguji mental, menuntut kesabaran, juga menguras waktu dan biaya. Bahkan, lifter Ketut dan M Purkon terancam absen di Kejuaraan Dunia Angkat Besi di Ashgabat, Turkmenistan, 1-10 November. Latihan keras selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, serta perjuangan hidup jauh dari keluarga dan teman- teman terasa menjadi sia-sia ketika atlet tidak dapat berkompetisi dalam kejuaraan.
Sementara Luthvy yang bergabung di pelatnas bisbol sejak Januari 2018 sempat memperkuat tim Indonesia pada Kejuaraan Bisbol Asia Tenggara di Hong Kong, Juni 2018.
Menjelang Asian Games, intensitas latihan meningkat, tetapi tak diimbangi proses pemulihan tubuh sehingga ia pun mengalami cedera lutut.
”Selama pelatnas, tak ada perhatian dari manajer dan pelatih mengenai kondisi fisik atlet. Untuk makanan, mereka masih peduli. Namun, pemulihan tubuh tidak diperhatikan. Selama latihan tidak ada ahli fisioterapi yang mendampingi atlet.
Bahkan, setelah saya cedera, tidak ada perhatian. Saya berobat dengan inisiatif sendiri, naik ojek,” ujar Luthvy.
Cedera yang dialaminya tergolong berat, yakni putusnya jaringan otot di balik tempurung lutut (ACL). Kemungkinan besar Luthvy harus menjalani operasi. Kondisi tersebut memaksa atlet asal Lampung itu untuk sementara ngekos di Jakarta dan cuti dari tenaga honorer di kantor pemerintahan.
Setelah semua yang dialaminya, Luthvy berharap ada
perbaikan pelatnas. ”Kami ini bukan robot, kami juga manusia biasa. Federasi olahraga, manajer, dan tim pelatih jangan hanya memikirkan latihan, latihan, dan latihan. Perhatikan juga kondisi fisik dan psikis atlet, tingkat kelelahan atlet,” katanya.
Perasaan patah semangat akibat sering dibekap cedera dialami Triyaningsih. Puncaknya, ia absen dari nomor maraton Asian Games 2018. Namun, keinginan kuat untuk terus mengibarkan bendera Merah Putih di ajang internasional membuatnya bertahan. Setelah sebulan menjalani terapi, Triyaningsih bisa berlatih lari ringan.
”Saya rindu lari jarak jauh. Saya akan berusaha maksimal untuk sembuh dari cedera agar bisa tampil pada nomor maraton yang memang menjadi kegemaran saya,” katanya.
Ketua Tim Medis Kontingen Indonesia Andi Kurniawan mengatakan, setidaknya ada 52 atlet Asian Games dari berbagai cabang yang kini berkutat dengan cedera. Tujuh orang sudah menjalani operasi. Adapun 10 atlet akan menjalani operasi dan 35 atlet lain perlu menjalani fisioterapi selama 2-4 bulan.
Meski biaya pengobatan atlet-atlet yang cedera ini ditanggung BPJS Ketenagakerjaan, menurut Andi, pemerintah dan federasi olahraga tak boleh tinggal diam. Perlu ada pemantauan dan pendampingan bagi atlet yang cedera sehingga mereka bisa segera sembuh dan kembali pada penampilan terbaiknya. (Denty Piawai Nastitie)