Julia Verawati tak muda lagi. Usianya sudah 37 tahun, tetapi semangatnya tetap membara, sepanas terik matahari yang menyengat di Lapangan Hoki Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (17/9/2018). Di lapangan itu, Julia dan 17 rekannya berlatih lawn bowls demi membela Indonesia di Asian Para Games 2018 pada 6-13 Oktober di Jakarta.
Tiga pekan terakhir, mereka berpindah lokasi latihan dari Solo, Jawa Tengah, ke Jakarta. Mereka beradaptasi dengan arena pertandingan saat Asian Para Games. Tiap hari para atlet berlatih mulai pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Durasi latihan yang panjang ditambah terik matahari menuntut mental dan fisik yang kuat. Mental kuat sangat penting karena tak jarang, ketika performa mereka turun, pelatih akan mengomel.
”Kadang kalau sedang kurang sehat atau rindu sama keluarga, pasti performa kami turun dan diomelin pelatih,” kata Julia, atlet lawn bowls tunanetra.
Julia berada di klasifikasi B2 atau daya penglihatan sangat terbatas. Klasifikasi B2 hanya setingkat dari buta total (B1). Klasifikasi lawn bowls untuk tunanetra dibagi dari B1-B4.
Julia memulai karier sebagai atlet difabel pada 1994 di cabang atletik. Dia berlomba di lompat jauh, lari 100 meter dan 200 meter. Di atletik, dia sudah meraih 20 medali. Dia berhenti dari profesi atlet pada 1998 karena menikah. Julia kini dikaruniai dua putra yang saat ini sudah duduk di kelas II SMK dan kelas II SMP. Suaminya yang juga tunanetra bekerja di pusat layanan informasi sebuah televisi swasta.
Julia kembali menjadi atlet pada 2014 di cabang boling. Dia tampil di Peparnas Jawa Barat, tahun 2016 dan mendapat perak. Dia kemudian menekuni lawn bowls yang sering disebut dengan boling lapangan terbuka. Saat masih di boling, Julia berlatih di ruangan berpenyejuk udara, sedangkan di lawn bowls harus berpanas-panasan. ”Dijemur banget sih ini kayak kerupuk,” canda atlet yang tinggal di Pondok Gede, Bekasi, itu.
”Kadang kalau kepanasan, apalagi kalau diomelin, adakalanya blank. Tetapi, kalau sudah santai, ya bisa fokus lagi,” ujar Sukirman (40), atlet lawn bowls B7 atau tunadaksa.
Sukirman tidak menyangka, ternyata latihan di tengah terik matahari sangat berat, ditambah harus menyesuaikan bentuk lapangan yang berbeda. Namun, ia tetap optimistis untuk bisa bertahan di acara terbesar yang akan dijalaninya. ”Demi anak, istri, juga negara, supaya bisa memberikan kebanggaan bagi mereka,” ujarnya bersemangat.
Atlet lawn bowls lainnya, Suwanda (37), di klasifikasi B4 mengaku terus berlatih sebaik mungkin meskipun sering kangen dengan keluarga. Namun, mantan atlet lempar cakram dan tolak peluru dari Sukoharjo, Jawa Tengah, itu menemukan keluarga baru di pelatnas. Dia dan teman-temannya yang senasib saling menghibur untuk memperkuat diri saat rapuh.
Ikatan keluarga itu terwakili oleh penuturan Dwi Nur Kariyanto (28) yang pernah merekam video saat Suwanda menangis ketika bertemu istri dan anaknya yang masih berumur 3 tahun. Dwi yang berlomba di klasifikasi B3, kemarin, menirukan Suwanda saat menangis. Kisah itu pun disambut tawa terpingkal-pingkal dari teman-teman atlet lainnya. Ikatan keluarga itu menguatkan mereka di pelatnas lawn bowls.
Namun, bukan hanya atlet yang merasakan tantangan besar menjelang Asian Para Games. Para pelatih pun dituntut gigih dan sabar membina anak asuhnya. Apalagi, lawn bowls difabel adalah cabang baru bagi Indonesia.
Salah seorang pelatih lawn bowls Pomo Warihadi mengakui, ada tantangan besar melatih atlet di cabang olahraga baru ini. Pelatih perlu peka mengelola atletnya sesuai karakter masing-masing. Ada beberapa atlet yang memang sensitif jika dimarahi, bahkan sampai menangis.
"Atlet tunanetra, terutama yang buta total, lebih sensitif, dan mereka biasanya akan mengadu ke guide-nya (pendamping) tentang bagaimana perasaannya," jelas Pomo.
Namun, Pomo tidak ingin memanjakan atlet terlepas dari keadaan fisiknya yang berbeda. "Ini juga satu bentuk perjuangan mereka, harus ada tekanan biar gak manja," ujarnya. (Fransisca Natalia Anggraeni)