Mereka Yang Melawan Keterbatasan
”Aku iri melihat teman-teman. Mereka kok bisa jalan, bermain, berjoget lihat campursari. Sementara aku hanya diam, duduk di rumah,” kata atlet anggar kursi roda nasional, Suwono (38), mengenang masa kecilnya.
Kekecewaan menemani masa kecil pria yang akrab disapa Wono ini. Hal yang wajar karena sebenarnya ia lahir dengan tubuh sempurna. Namun, pada usia 3 tahun, ia terserang polio, yang membuat kakinya tidak bisa berjalan lagi.
Saat itu, pada 1982, pria asal Sragen ini mengalami demam tinggi. Orangtuanya yang panik langsung membawanya ke dokter terdekat. Mereka meminta dokter untuk menyembuhkan putra mereka.
Dokter memutuskan menyuntik Wono. Demamnya memang turun, tetapi semakin hari kaki Wono justru menyusut. Sejak hari itu kedua kaki Wono semakin lemah dan kecil hingga tidak bisa dipakai berjalan.
”Aku mulai menyadari berbeda dari anak lainnya ketika beranjak remaja. Mereka bisa pergi sekolah pakai sepeda, sedangkan aku dengan kursi roda,” kata ayah dua anak ini.
Hal itu membuat perasaannya selalu ingin memberontak. Puncaknya, saat ia mengetahui bahwa kakinya mulai berubah setelah berobat ke dokter di kampungnya. Tanpa pikir panjang, Wono menyiapkan sebilah pisau untuk membalas dendam.
Ia ingin berpura-pura memeriksakan diri, kemudian menusuk dokter itu. Untungnya, sang ayah mengetahui rencana itu. ”Aku langsung dibawa pulang. Dinasihati, kata Bapak, jangan macam-macam,” ujarnya.
Tidak lama setelah peristiwa tersebut, sang dokter meninggal karena sakit. Anak petani padi ini mulai menyadari bahwa kondisi kakinya tidak akan pulih sekalipun ia membunuh sang dokter. Wono memulai menata hidupnya.
Meski sudah berdamai, keadaan disabilitas menyulitkannya mencari peluang bekerja. Wono selama puluhan tahun mengadu nasib di jalanan. Ia pernah menjadi perajin dompet hingga pengamen. Uang tersebut tidak cukup membiayai hidupnya.
Pria kurus ini tak menyerah. Ia berusaha memperbaiki hidupnya. Hingga pada Desember 2017, pelatnas anggar kursi roda membuka seleksi untuk Asian Para Games 2018. ”Temanku kasih tahu ada seleksi. Aku disarankan ikut. Eh, ternyata masuk,” katanya.
Wono kini menjadi atlet nasional yang akan membela “Merah Putih” di ajang olahraga Asia. Saat ditemui, Rabu (19/9/2018), ia sedang berlatih anggar dari atas kursi roda melawan rekan pelatnas lain.
Tak hanya Wono. Mayoritas atlet Paralimpiade di Indonesia tidak mengalami keterbatasan sejak lahir. Banyak dari mereka yang merupakan korban kecelakaan ataupun malapraktik.
Seperti halnya atlet voli duduk nasional, Bima Tri Sanjaya (39). Kaki kanannya diamputasi hingga pangkal paha pada usia 20 tahun. Sebelumnya, ia mengalami kecelakaan saat bekerja di pengeboran minyak. ”Lagi kerja, tiba-tiba mesinnya salah gerak. Kaki kanan tertebas dan harus diamputasi,” katanya.
Bima harus berjuang melawan keterbatasan untuk menghidupi keluarga barunya. Ia baru saja menikah dan usia anaknya baru tiga bulan saat kecelakaan.
Dia pun mencoba berbagai usaha. Salah satu mata pencariannya adalah usaha perbaikan jok. Hingga ada peluang dalam olahraga Paralimpiade pada 2012. Setelah lima tahun menjadi atlet daerah, Bima masuk pelatnas pada Januari 2018.
Dari lahir
Di sisi lain, banyak juga atlet Paralimpiade yang disabilitas sejak lahir. Asep Sutisna (47), pebulu tangkis Paralimpiade klasifikasi SS6 atau bertubuh pendek, lahir dengan pertumbuhan tinggi yang terhambat.
Tingginya hanya 140 cm. Jauh dari tinggi rata-rata pria Indonesia sekitar 160-180 cm. Ia pun harus bertahan dari ejekan orang-orang di sekitar. ”Awalnya sadar seperti ini saat sekolah. Teman kok semakin tinggi, tapi saya tetap segini,” katanya.
Asep tidak bisa melawan takdir kondisi tubuhnya. Namun, ia mencari kelebihan lain, yaitu percaya dirinya. Dengan itu, ia merasa dirinya tidak mengalami kekurangan sedikit pun.
Terbukti pria yang baru masuk pelatnas Januari 2018 ini sempat bekerja belasan tahun sebagai sopir. Ia mengendarai mobil minibus dengan lihai. Saat mengendarai, kursi mobilnya dimajukan hingga hampir menempel ke setir.
”Saya nyuri-nyuri belajar pakai mobil orang saat sekolah. Sampai sekarang bisa, yang penting percaya diri,” kata Asep.
Kepercayaan diri itu membawa Asep jadi atlet bulu tangkis. Pada usianya yang hampir 50 tahun, Asep berani tampil pada nomor tunggal. Di nomor itu, ia bermain satu lapangan penuh dengan langkah dan jangkauan yang lebih pendek dari pemain biasa.
Kebanggaan
Bagi penyandang disabilitas, olahraga Paralimpiade menjadi jalan keluar dari jerat sosial. Jika tidak menjadi atlet nasional, mereka tidak dipercaya memegang peran penting di masyarakat. Umumnya, mereka menjadi pekerja kelas bawah, seperti pengamen atau pekerja kasar.
Setelah menjadi atlet nasional, mereka mendapat kebanggaan lebih. Selain diterima oleh masyarakat luas, para penyandang disabilitas ini juga terbantu dari sisi ekonomi.
”Dulu aku tidak pernah dipandang oleh tetangga dan orang lain. Sekarang mereka mulai melihat aku sebagai orang yang berbeda, membuatku lebih percaya diri,” ucap Wono.
Kebanggaan tertinggi pun dirasakan oleh Awang Sabdo (17), atlet boccia klasifikas BC2 atau gangguan motorik bagian bawah tubuh. Awang tidak pernah menyangka, meski separuh tubuhnya nyaris tak berfungsi, dia bisa menjadi pejuang olahraga.
”Saya belajar dari nol, susah sekali awalnya menggerakkan tubuh. Namun, semua akan saya lakukan karena saya sudah mendapat kesempatan membela bangsa. Ini adalah kebanggaan,” kata Awang.