Indonesia mengenal Paralimpiade lebih dari 60 tahun silam. Diawali dengan Prof DR R Soeharso yang mendirikan pusat rehabilitasi bagi penyandang disabilitas di Solo, Jawa Tengah, pada 1951. Aktivitas olahraga yang dilakukan di sana menjadi sarana pemulihan mental penyandang disabilitas.
Prof DR R Soeharso lahir pada 13 Mei 1912 di Desa Kembang, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Dia merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, putra Raden Sastrosoeharso. Pada tahun 1939, Soeharso lulus sebagai dokter dengan gelar indische art. Dia bekerja di CBZ (RSU) Surabaya sebagai asisten bedah, lalu pindah ke Pontianak pada 1941.
Setahun kemudian, Jepang menguasai Indonesia dan membunuh banyak intelektual. Ketika itulah, Soeharso kembali ke Pulau Jawa. Melihat banyaknya korban perang yang mengalami depresi, bahkan banyak yang ingin mati ketimbang hidup dengan kondisi tubuh tak sempurna, Soeharso tergerak mendirikan pusat rehabilitasi (RC) bagi penyandang disabilitas.
Bersama kawan-kawannya, Soeharso membantu para pejuang kemerdekaan, antara lain dengan membuat prothesa atau alat tiruan pengganti anggota tubuh, dan orthosa atau alat penyangga, bagi pejuang yang kehilangan anggota tubuh akibat perang.
Pusat rehabilitasi ini merupakan sarana untuk menolong orang berkebutuhan khusus yang tadinya merasa tidak punya harapan menjadi punya masa depan, lebih percaya diri, mandiri, dan dapat hidup setara dengan masyarakat umum.
Selama berada di RC, korban perang mendapatkan pelayanan medis, penguatan mental, dan pelatihan keterampilan. Kegiatan yang dilakukan salah satunya adalah olahraga untuk ajang sosialisasi dan membangun rasa percaya diri.
”Olahraga yang semula menjadi ajang rekreasi lalu berubah menjadi prestasi. Namun, dulu belum ada Asian Para Games, hanya kompetisi daerah saja,” kata Kepala Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof Dr Soeharso, Bambang Sugeng, Jumat (21/9/2018).
Pelatih balap kursi roda, Abdul Azis, mengatakan, pada eranya, pusat rehabilitasi ini paling diminati dan terbesar di Asia Tenggara. ”Pasien-pasien dari negara- negara di Asia serta dari Belanda dan Australia banyak yang datang ke RC untuk menjalani konsep rehabilitasi ala Prof Dr Soeharso,” kata Azis yang juga alumnus RC tahun 1982.
Selanjutnya Soeharso bersama Pairan Manurung mendirikan Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPAC) untuk mengakomodasi kegiatan olahraga prestasi di Indonesia. ”Yayasan ini berhasil membina atlet penyandang disabilitas untuk ikut kejuaraan tingkat daerah, nasional, hingga Asia Pasifik.
Sekitar 50 persen atlet merupakan tentara korban perang,” ujar Aziz. Pada 1993, yayasan itu kemudian berubah nama menjadi Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC). Selanjutnya, sejak 2001, BPOC berubah menjadi Komite Paralimpiade Nasional (NPC). Melalui pelatih-pelatih bertangan dingin NPC, lahirlah atlet-atlet difabel Indonesia. Mereka berprestasi di berbagai level kejuaraan, contohnya menjadi juara umum ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017.
Saat awal didirikan, RC hanyalah Lembaga Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh (LPRPCT). Namun, dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Sosial pada 2003, lembaga rehabilitasi ini berubah nama jadi BBRSBD. Sejak saat itu, kegiatan dan tahapan rehabilitasi penyandang disabilitas lebih dioptimalkan.
Di bawah naungan nama Prof Dr R Soeharso, kini berdiri 10 akademi serta lembaga Paguyuban Lembaga Rehabilitasi
Prof DR R Soeharso Surakarta. BBRSBD fokus melaksanakan fungsi rehabilitasi sosial. Pelayanan medis diserahkan kepada Lembaga Orthopedi dan Prothese (LOP), yang kini disebut RS Ortopedi Prof DR R Soeharso Surakarta.
BBRSBD menampung 155 orang dengan kebutuhan khusus per tahun. Mereka mengikuti kegiatan, antara lain menjahit, fotografi, otomotif, dan komputer. Ada pula beragam kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga dan musik.
Lulusan BBRSBD akan diarahkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan di Indonesia sehingga dapat hidup mandiri. Adapun mereka yang mempunyai bakat olahraga akan diarahkan mengikuti pelatnas dan kejuaraan di tingkat nasional ataupun dunia.
Percaya diri
Kepala Bidang Pelayanan Medik Rumah Sakit Ortopedi Prof Dr R Soeharso, Retno Setianing, mengatakan, olahraga sangat efektif dalam membangun kepercayaan diri orang dengan kebutuhan khusus.
”Bayangkan saja, orang dengan tingkat disabilitas berat biasanya hanya tinggal di rumah. Setelah mengenal olahraga, bisa berinteraksi dengan orang lain, bisa ikut kejuaraan dan keliling dunia, mendapatkan bonus dan status PNS, itu membuat mereka dihargai sebagai manusia,” ujarnya.
Ketika menangani pasien yang harus kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja, Retno mengatakan, biasanya pasien menunjukkan sikap tertutup, minder, dan tidak mau berkomunikasi.
Namun, setelah mengenal olahraga, tingkat kepercayaan diri meningkat. Tiga pekan lalu, Rumah Sakit Ortopedi Dr Soeharso bekerja sama dengan komunitas Smash Down Barriers membuka pelatihan tenis meja untuk kaum disabilitas. Sebanyak delapan orang yang kehilangan sebagian lengannya bergabung dengan kegiatan ini. Setelah ikut kegiatan ini, mereka menunjukkan sikap lebih percaya diri dan mudah diajak berkomunikasi.
”Dengan olahraga mereka bisa diarahkan untuk mau bersosialisasi, kemudian kalau berbakat bisa memetik prestasi pada ajang olahraga seperti Asian Para Games,” ujar Retno.