Menghapus Stigma Lewat Pendidikan
Keterbatasan fisik tidak menghalangi para atlet melanjutkan pendidikan. Mereka yakin, pendidikan bisa menghapus stigma yang selama ini melekat pada para penyandang disabilitas.
Mata Sri Sugiyanti (24) tertutup ketika mengayuh sepeda tandem bersama rekannya, Nikmal Magfiroh, pada pelatnas balap sepeda Paralimpiade hari Selasa (25/9/2018), di Sirkuit Sentul, Bogor. Ia tidak peduli keringat mengucur melewati matanya dan terus memacu sepeda melewati tiap putaran sirkuit.
Sri adalah atlet balap sepeda Asian Para Games 2018. Pebalap asli Jawa Tengah ini masuk dalam klasifikasi B1 atau buta total. Saat bertanding, ia didampingi atlet nondisabilitas, Nikmal, sebagai pengarah, dengan sepeda tandem.
Sri kehilangan penglihatan selama lebih dari separuh hidupnya. Kedua retina matanya tidak lagi berfungsi. Dalam kegelapan, ia meyakini pendidikan adalah jalan yang membawa masa depan yang lebih cerah.
Di luar sebagai atlet, Sri adalah mahasiswi di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jurusan Pendidikan Luar Biasa semester tujuh. ”Olahraga hanya sampingan, nomor satu tetap pendidikan. Setelah lulus, saya ingin jadi guru untuk anak berkebutuhan khusus,” kata mantan pelari sprint ini.
Demi mengejar pendidikan, pada awal pelatnas, Januari, Sri berlatih pagi dan sore hari, dan kuliah pada siang hari. Saat rekannya di pelatnas beristirahat, Sri memilih belajar.
Upaya keras itu dilakukannya hampir selama empat bulan. Setiap hari ia menjalani hingga dua mata kuliah, sekitar tiga setengah jam. ”Rasanya badan mau remuk. Tetapi, mau tidak mau harus dilakukan,” ujar Sri yang kini cuti kuliah untuk fokus bertanding.
Peduli
Perempuan bertubuh kecil ini sangat peduli pendidikan karena pengalaman masa lalu yang cukup pahit, terutama saat kinerja kedua matanya memburuk, berpuncak pada kehilangan penglihatan. Sri lahir dengan mata sempurna. Pada kelas 3 SD, dia menderita rabun dekat.
Setelah diperiksa ke dokter, kondisinya justru semakin parah. Pada kelas 6 SD, ia berhenti sekolah karena pandangannya buram. Kondisi ini membuat dunia seakan memusuhi. Tetangga, teman, dan keluarga menganggap rendah dirinya sebagai penyandang disabilitas.
Sri lalu berhenti sekolah selama tiga tahun. Saat itu ia merasa kurang berguna karena hanya berdiam di rumah.
Kondisi itu mencambuk Sri. Dari Grobogan, dia masuk sekolah luar biasa di Solo. Sejak itu pula ia bertekad memanfaatkan jalur pendidikan agar berguna bagi lingkungan sekitar, terutama keluarga.
Cita-cita Sri adalah menjadi guru SLB. Ia ingin langsung menjalani profesi itu setelah lulus kuliah. ”Saya ingin membantu mereka yang berkebutuhan khusus, seperti saya dulu yang sangat membutuhkan pertolongan dan mendapatkannya di SLB,” katanya.
Melepas stigma
Perenang Paralimpiade, Laura Aurelia Dinda (19), juga melihat pendidikan sebagai jalan utama. Dia tidak mau berpuas diri meski setelah memperoleh dua medali emas di ASEAN Para Games mendapat bonus uang dan jabatan pegawai negeri sipil.
Atlet dengan klasifikasi S5 (kehilangan kontrol sebagian sisi tubuh) ini menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. ”Atlet, kan, punya batas usia, tidak bisa selamanya. Aku memilih pendidikan agar bisa berguna di masyarakat,” kata perenang yang berlomba hanya menggunakan tangan ini.
Laura bertekad habis-habisan di Asian Para Games dan mengejar mimpi menuju Paralimpiade Tokyo 2020. Setelah itu, Laura akan fokus dengan pendidikannya. Atlet andalan nomor 50 meter gaya punggung ini berencana melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-2.
Sejak SD, Laura jatuh cinta pada pendidikan. Ia langganan juara umum. Prestasi itu membuatnya bercita-cita jadi dokter agar berguna bagi masyarakat luas. Namun, terjatuh di kamar mandi sehari sebelum Pekan Olahraga Pelajar Daerah Kalimantan Timur 2016 membuat mimpi itu tertunda. Kecelakaan itu memengaruhi tulang belakang dan Laura kehilangan kontrol pada kedua kaki.
Ia sempat belajar dari rumah selama delapan bulan saat kelas 2 SMA karena harus beristirahat penuh. Selama itu, ia 13 kali masuk rumah sakit karena tidak mampu menahan sakit di bagian pahanya.
Dua kaki yang lumpuh tidak menyurutkan semangat Laura. Pekerjaan dokter dirasa tidak realistis. Ia pun mengalihkan cita-citanya menjadi psikolog dengan misi yang sama, membantu masyarakat. ”Kalau jadi dokter nanti, aku malah menyusahkan. Jadi, memilih psikolog, untuk membantu menyadarkan sakit mental belum menjadi perhatian utama di Indonesia, padahal ini sangat penting,” ujarnya.
Atlet Paralimpiade lain punya hasrat yang sama. Seperti Nanda Mei Sholihah (19), pelari yang lahir tanpa setengah lengan kanan atau Felix Ardhi Yudha (25), atlet boccia yang mengalami keterbatasan gerak motorik di separuh badan.
Mereka sadar betul, pendidikan adalah jalan keluar untuk lepas dari stigma masyarakat tentang disabilitas. Stigma tidak berdasar yang masih menganggap disabilitas hanya beban di masyarakat.