Psikolog Berperan Penting
JAKARTA, KOMPAS - Peran psikolog penting untuk menjaga semangat dan mengatasi kekhawatiran atlet disabilitas menjelang tampil di ajang besar, seperti Asian Para Games 2018.
Menjelang kejuaraan penting, seperti Asian Para Games 2018, sejumlah atlet menghadapi tekanan mental serta perubahan emosi.
Sebanyak 20 psikolog ditugaskan untuk mendampingi atlet guna menghadapi situasi kritis, seperti kecemasan atau kekhawatiran berlebihan.
Psikolog tim renang Asian Para Games Indonesia, Wiene Dewi Toorisnawati, mengatakan, rasa cemas yang muncul menjelang kejuaraan penting sebenarnya sesuatu yang wajar.
”Kecemasan muncul terutama pada atlet-atlet yang ditargetkan meraih medali. Mereka cemas karena ingin menampilkan yang terbaik. Kalau tidak cemas, malah aneh,” ujarnya saat mendampingi tim renang Indonesia berlatih di Stadion Akuatik, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Kecemasan serupa dialami atlet-atlet nondisabilitas yang akan tampil dalam kejuaraan penting. Namun, beberapa atlet disabilitas menunjukkan sikap lebih sensitif dan mudah tersinggung karena mereka menolak diperlakukan berbeda. Adapun atlet tunagrahita, menurut Wiene, biasanya menunjukkan sikap yang lebih cuek dan tampil tanpa beban.
Dalam menghadapi atlet-atlet dengan kebutuhan khusus, menurut Wiene, tidak ada cara khusus. Dirinya hanya berusaha membangun rasa percaya agar atlet nyaman untuk berdiskusi dengannya.
”Atlet-atlet difabel ini sudah juara. Mereka bisa mengatasi kekurangan fisik untuk tampil dalam sebuah kejuaraan. Saya hanya mendampingi mereka agar mereka siap bersaing,” ujarnya.
Sejak Senin lalu, sebanyak 20 psikolog bertugas di berbagai cabang olahraga. Tim psikolog ini antara lain berasal dari Ikatan Psikolog Olahraga Indonesia.
Selama bertugas, psikolog tinggal menyatu dengan tim ”Merah Putih” di Wisma Atlet Kemayoran. Mereka mendampingi dan memantau situasi psikologis atlet sejak sarapan, latihan, dan istirahat.
Apabila terlihat ada atlet yang membutuhkan pendampingan, psikolog hadir untuk mendengarkan curahan hati serta memberikan suntikan motivasi bagi mereka. Atlet yang butuh pendampingan ditunjukkan dengan sikap seperti susah makan, susah tidur, atau tiba-tiba menjadi pendiam.
”Kemarin ada atlet yang tiba-tiba murung. Setelah saya tanya, dia menangis karena hasil klasifikasi menempatkannya pada kelas yang berbeda. Saya membiarkan dia menangis untuk meluapkan perasaannya. Setelah itu, baru kami saling memberi semangat,” ujarnya.
Wiene membagi atlet dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri atas 4-5 orang. Mereka kemudian saling bergenggaman tangan untuk menguatkan. Atlet lalu berangkulan bersama agar tidak merasa sendirian. Cara itu dinilai ampuh untuk membangkitkan motivasi dan membangun rasa percaya diri.
Meskipun psikolog berperan penting dalam mendampingi atlet, menurut Wiene yang lebih banyak berperan sebetulnya adalah pelatih. ”Pelatih lebih mengenal atlet karena sudah bersama mereka sejak lama. Pelatih tahu kebiasaan-kebiasaan atlet,” katanya.
Asisten pelatih renang Indonesia, Muhammad Nurrahman (27), mengatakan, hal menantang dalam mendampingi atlet difabel adalah ketika atlet tiba-tiba menolak tampil bertanding karena tingkat kepercayaan diri mereka turun.
Nurrahman harus putar otak untuk membangkitkan semangat atlet.
”Kalau atlet bertanya harus bagaimana, saya bisa menjawab agar mereka tampil percaya diri. Tetapi, kalau atlet sudah sangat cemas, bahkan sampai tidak mau tampil, nah, itu saya suka bingung. Saya harus pintar-pintar cari bahan bercanda agar mereka lupa dengan kecemasannya,” kata Nur.
Pelatih kepala atletik Paralimpiade, Slamet Widodo, mencontohkan, dirinya pernah menghadapi atlet yang menolak berlomba pada ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017. Atlet tersebut meminta pulang sehari sebelum lomba karena tersinggung dengan perkataan salah satu ofisial.
Slamet segera menghampiri atlet tersebut di hotel dan memberikan kata-kata motivasi. Menurut Slamet, untuk atlet tunagrahita, dia harus lebih sabar dalam menjelaskan sesuatu.
Pelatih atletik NPC, Purwo Adi Sanyoto, mengatakan, saat ini para atlet menunjukkan mental yang stabil. ”Belum ada yang aneh-aneh. Biasanya mendekati perlombaan, mereka baru menunjukkan sikap grogi,” ujarnya.
Pada cabang atletik, ada dua psikolog mendampingi para atlet.
Menurut Purwo, kehadiran psikolog sangat membantu karena memberikan pendekatan personal.
”Saat latihan, biasanya psikolog menghampiri atlet dan ngobrol dengan mereka. Itu membuat atlet lebih relaks berlatih,” katanya.
Perenang Laura Aurelia Dinda mengatakan, keberadaan psikolog sangat membantu keluar dari situasi kritis. ”Psikolog bisa membuat kami kembali gembira. Dia memberikan motivasi, tetapi tidak dengan cara orangtua. Caranya memotivasi lebih santai, tidak terlalu tegang,” katanya.
Menurut Laura, kehadiran psikolog sangat dibutuhkan menjelang kejuaraan. Beberapa hari menjelang perlombaan biasanya atlet merasa cemas tidak bisa memenuhi target yang ditetapkan.
Ketika kecemasan sudah muncul, biasanya Laura sulit tidur. Dia juga lebih aktif bicara. Selain menyampaikan kondisi pikiran kepada pelatih dan psikolog, Laura berusaha keluar dari tekanan dengan mendengarkan musik.
Koordinator pelatih tim renang Indonesia, Dimin BA, mengatakan, seharusnya psikolog hadir sejak jauh-jauh hari dalam mendampingi atlet. Mengingat selama ini tak ada psikolog, kadang para pelatih bertugas rangkap menjadi psikolog dalam mendampingi atlet. (DNA)