Menata Peradaban Ibu Kota
Ibu kota Jakarta seharusnya menjadi etalase dalam praktik kesetaraan dengan penyandang disabilitas. Namun, konsep itu baru sebatas fatamorgana. Asian Para Games menjadi harapan awal untuk menebarkan ”virus” ramah terhadap disabilitas.
Dengan kepala tegak dan mata berbinar-binar, langkah kaki gesit atlet nasional Paralimpiade, Nanda Mei Sholihah (19), melahap meter demi meter trek lari di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Selasa (18/9/2018). Pelari yang lahir tanpa setengah lengan kanan ini tampak percaya diri berlatih di antara ratusan warga lokal yang sedang berolahraga.
”Saya memang dari kecil selalu percaya diri. Tidak malu dengan kondisi tangan kanan yang seperti bekas amputasi, terutama setelah menetap di Solo.
Masyarakat di sini sangat ramah kepada kami (penyandang disabilitas),” kata Mei saat menjalani persiapan Asian Para Games.
Cermin kecil keramahan Solo terlihat jelas di Stadion Sriwedari, sore itu. Masyarakat lokal tidak canggung berbaur bersama puluhan atlet Paralimpiade dari berbagai kelas, baik itu tunadaksa (keterbatasan fisik), tunanetra (keterbatasan penglihatan), maupun tunagrahita (keterbatasan intelektual). Mereka berolahraga bersama.
Ternyata tidak hanya di stadion, di tempat umum lain pun demikian. Warga bersikap biasa saja saat melihat kondisi lengannya itu sehingga ia tidak perlu memikirkan untuk menutup lengan kanannya dengan jaket atau baju lengan panjang.
”Tidak ada yang ngelihat aneh. Tidak seperti di kota-kota lain. Kalau di kota lain, pasti ada yang melihat dengan tatapan aneh,” kata atlet asal Kediri itu.
Kenyamanan itu menjadi salah satu alasan Mei ingin melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Peraih emas ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017 itu kini kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, mengambil jurusan pendidikan.
Rekan-rekan di kampusnya juga bersahabat dan memberi dukungan. Saat Mei meraih tiga emas di Kuala Lumpur, tahun lalu, mereka membuat rekaman berisikan ucapan selamat. Hal itu membuat ia merasa berarti.
Pengalaman itu berbanding terbalik dengan kisah masa kecilnya. Kala itu, pelari nomor 100, 200, dan 400 meter tersebut ditolak masuk salah satu taman kanak-kanak (TK) di Kediri karena keterbatasan fisik. ”Ayah dan nenek marah besar karena kejadian itu,” ucapnya.
Selain Mei, atlet panahan Paralimpiade pengguna kursi roda, Ijah Khadijah (28), juga merasakan keramahan warga. Keramahan itu disertai dengan bantuan. ”Saya, kan, menggunakan kursi roda. Jadi, agak sulit kalau ke tempat yang ada tanjakan. Nah, biasanya kalau melihat saya kesusahan, pasti ada saja yang bantu dorong,” ujarnya.
Hal serupa dialami atlet balap sepeda tunanetra, Sri Sugiyanti (24). Sri yang mengalami kebutaan total sering pergi kuliah ke UNS, Solo, sendirian. Ia sering kesulitan di jalan, terutama saat menunggu bus di halte. Meski begitu, selalu ada warga yang menolongnya.
”Ada saja yang tiba-tiba bantu nuntun sampai nungguin dapat kendaraan. Kalau tidak di Solo sulit sekali, harus minta tolong dulu baru akan dibantu,” kata atlet asal Grobogan itu.
Di sisi lain, pelatih kepala renang, Handoko Purnomo, menilai, keramahan warga sekitar kepada atlet penyandang disabilitas sangat membantu program pelatnas. Hal itu penting untuk membuat atlet tidak frustrasi saat pelatnas jangka panjang, seperti pelatnas Asian Para Games yang berlangsung sekitar 9 bulan sejak Januari 2018.
Dari pantauan pada akhir September tampak jelas warga Solo menerima dengan terbuka keberadaan aktivitas atlet disabilitas. Warga sekitar mengetahui lokasi dan informasi dasar terkait pemusatan latihan nasional Asian Para Games.
Belum setara
Keramahan Kota Solo terhadap penyandang disabilitas tersebut diakui oleh Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu. Ia menilai, kota ini sedikit banyak telah mewujudkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam UU itu, penyandang disabilitas seharusnya berada setara dengan masyarakat umum. ”Itu adalah disabilitas dalam maksud sebenarnya.
Membantu mengangkat hambatan mereka untuk keluar dari keterbatasan. Untuk mendapat aksesibilitas dan akomodasi,” kata Maulani.
Keramahan Solo terhadap penyandang disabilitas ini seharusnya menjadi contoh bagi kota-kota lain, khusunya Ibu Kota yang menjadi tuan rumah Asian Para Games. Maulani, yang ikut menyurvei kelayakan aksesibilitas dalam Asian Para Games, menilai, Jakarta masih jauh dari predikat kota ramah bagi penyandang disabilitas.
Menurut dia, Jakarta memang sudah lebih baik. Kota ini sudah menyediakan aksesibilitas di berbagai titik, seperti mal dan transportasi publik lain. Akan tetapi, pemikiran masyarakat di Jakarta belum terbentuk untuk ramah disabilitas.
Contohnya fasilitas trotoar jalan. Meski sudah banyak yang diperlebar dan dilengkapi blok pemandu bagi tunanetra, banyak trotoar yang disalahgunakan. Ada yang untuk berjualan pedagang kaki lima, juga untuk parkir.
Selain itu, saat transportasi publik, seperti kereta, sudah menyediakan ruang atau tempat duduk khusus bagi penyandang disabilitas, ternyata belum semua warga juga peka terhadap penggunaan fasilitas itu.
”Sering sekali tempat duduk khusus disabilitas justru ditempati masyarakat biasa. Bukannya tidak boleh, tetapi biasanya saat ada disabilitas yang mau duduk, mereka justru tidak mengalah,” kata Maulani yang juga penyandang disabilitas.
Tak hanya itu, kurang pekanya sumber daya manusia di tingkat pemerintah daerah juga menjadi masalah. Mereka kerap memperbaiki aksesibilitas, tetapi tidak memiliki rencana matang.
”Seperti trotoar lebar yang diberi pot tanaman. Ini kan percuma, tidak bisa untuk pengguna kursi roda. Mau bikin nyaman, tetapi ternyata malah menyusahkan,” kata aktivis disabilitas itu.
Untuk itu, hal terpenting dalam mewujudkan kesetaraan salah satunya mengubah pola pikir masyarakat Jakarta. Gaung Asian Para Games yang menjadi pesta olahraga disabilitas akan sangat penting untuk membuat rasa setara.
Momentum pesta olahraga ini pula yang turut mendukung Solo menjadi kota ramah disabilitas. Perhelatan ASEAN Para Games 2011 di Solo sedikit banyak mengubah cara pandang masyarakat terhadap disabilitas.
”Perwujudan kesetaraan sangat penting. Tidak hanya untuk disabilitas, tetapi juga untuk masyarakat umum lain. Karena, setiap orang bisa menjadi disabilitas, kapan pun,” ujar Maulani.
Warisan kesetaraan
Tugas mewariskan perasaan setara itu merupakan misi yang harus diselesaikan Panitia Penyelenggara Asian Para Games Indonesia (Inapgoc).
Adapun mereka memiliki tiga target sukses, yaitu sukses penyelenggaraan, sukses administrasi, dan sukses meninggalkan warisan sifat ramah kepada disabilitas.
Salah satu bentuk warisan itu tecermin dari sukarelawan dalam Asian Para Games. Sekitar 8.000 sukarelawan akan memandu atlet, ofisial, dan penonton selama perhelatan dari 6-13 Oktober 2018.
Dengan ilmu dan pengalaman untuk memahami penyandang disabilitas, Inapgoc berharap sukarelawan menjadi tulang punggung menyebarkan ”virus” kesetaraan.
Ketua Umum Inapgoc Raja Sapta Oktohari berharap gema Asian Para Games bisa mengimbangi gaung dari Asian Games. Saat itu, dalam waktu satu bulan, besarnya animo masyarakat terhadap Asian Games membuat sebuah tren kecintaan pada olahraga.
”Kami harapkan warisan dari Asian Para Games itu mampu menyebar dan bertahan. Ini saatnya kami dan para atlet untuk menunjukkan bahwa disabilitas memiliki kemampuan luar biasa,” kata Okto.
Dengan mewariskan perasaan inklusif di Jakarta, Okto meyakini rasa itu mampu menyebar ke seluruh Indonesia. Sebab, Jakarta merupakan ibu kota yang menjadi etalase bagi semua daerah di Indonesia.
Rasanya, Asian Para Games merupakan momentum paling tepat. Sudah lebih dari cukup pengorbanan disabilitas melawan keterbatasannya.
Tidak terbayang apabila mereka juga harus kehilangan kesempatan meraih masa depan karena perilaku masyarakat yang belum beradab.