Agung Setyahadi dari Jeres de la Frontera, Spanyol.
·3 menit baca
Langit biru dan hangat matahari mengiringi pagi di Jerez de la Frontera. Gerry Salim pun bersantai di dekat truk trailer di belakang paddock. Pebalap asal Surabaya itu duduk di atas skuter berkaus oblong dan celana pendek.
Gerry, juara Asia kelas Asia Production 250cc pada ajang Asia Road Racing Championship (ARRC) 2017, menanti jadwal kualifikasi Moto3 Kejuaraan Dunia Yunior pada ajang FIM CEV, Sabtu (29/9/2018). Balapan di Sirkuit Jerez-Angel Nieto, Jerez de la Frontera, Spanyol, itu merupakan seri keenam Moto3 CEV tahun ini.
Namun, Gerry belum bisa meraih poin. Dia pernah gagal finis dan belum pernah menempati posisi 15 ke atas. Untuk mendapatkan poin, pebalap maksimal finis di posisi ke-15.
Moto3 CEV menjadi jembatan menuju Moto3 Grand Prix, yang digelar sepaket dengan MotoGP. Persaingan di ajang ini memang sangat ketat. Sebagian besar tim peserta merupakan tim satelit dari tim-tim di Grand Prix.
Saking ketatnya persaingan, Gerry yang juara Asia pun kesulitan memetik poin di tahun pertamanya. Gerry berjuang memecahkan kebuntuan poin dalam dua seri terakhir di Albacete dan Valencia.
”Beda jauh sekali antara ARRC dan Moto3. Di ARRC yang dipakai adalah motor street (yang dijual umum), sedangkan di Moto3 motornya sudah racing sama dengan yang dipakai di Grand Prix, jadi pengendaliannya beda,” ujar Gerry.
Pengenalan karakter sirkuit di Eropa juga menjadi tantangan besar. Semakin hafal pebalap dengan sirkuit, dia akan mendapat keuntungan dalam menaklukkan tikungan dan strategi balap. Gerry yang belum genap semusim di CEV masih beradaptasi dengan motor, sirkuit, dan lingkungan berbeda.
”Semua itu sepaket, jadi memang tidak mudah bagi Gerry. Kalau pebalap lain rata-rata memang dari Eropa sehingga adaptasinya lebih mudah. Anak-anak Eropa juga lebih akrab dengan motor racing sejak kecil.
Kalau dari Indonesia, hanya motor-motor street,” ujar Anggono Iriawan, Senior Manager Motorsport dan Safety Riding Astra Honda Racing Tim.
Gerry yang dititipkan oleh Astra Honda Racing Team di tim Moto3 Honda Junior Talent Team bersaing dengan pebalap-pebalap yang lebih berpengalaman.
Di tim itu ada lima pebalap, termasuk Gerry, dua dari Jepang, serta masing-masing satu dari Thailand dan Inggris. Pebalap selain Gerry sudah dua tahun berkiprah di ajang CEV.
”Di dunia balap, adaptasi tidak harus setahun dua tahun. Jika sekali sudah mencoba sirkuit, dia sudah berpengalaman. Tuntutannya memang berat beradaptasi cepat,” ujar Anggono.
Thomas Wijaya, Direktur Pemasaran Astra Honda Motor, menegaskan, jika pebalap bisa cepat beradaptasi dan performanya bagus, jalan menuju level Grand Prix akan lebih besar. ”Kami ini menyiapkan jalan menuju level Grand Prix, tinggal pebalapnya saja. Kami dukung terus,” ujarnya.
Indonesia juga memiliki pebalap kelas Moto2, Dimas Ekky Pratama. Dia sudah melewati proses adaptasi, mulai dari pergantian mekanik, personel tim, sirkuit, hingga motor. Dimas kini di posisi keenam klasemen sementara. Untuk menggenjot performanya, AHRT mengontrak pelatih Carmelo Morales, juara Superbike CEV Kejuaraan Eropa.
”Carmelo mengenal betul sirkuit di Eropa. Dia juga pebalap sehingga bisa menjembatani antara apa yang dirasakan oleh pebalap dan data telemetri motor. Jadi, itu membantu sekali untuk menemukan setelan motor yang tepat,” ujar Dimas.
Thomas menilai, performa Dimas dan Gerry terus membaik. Namun, dia menegaskan, hasil di setiap balapan perlu terus diperbaiki. ”Dan, yang jauh lebih penting lagi, para pebalap tetap memiliki semangat untuk membuat pencapaian-pencapaian yang lebih baik dan kekuatan mental untuk melakukannya. Di sini persaingannya sangat ketat,” ujar Thomas.