Gaungkan Pesan Kesetaraan
Semua orang mampu keluar dari keterbatasan diri dan menunjukkan kemampuan terbaik mereka, tak terkecuali kaum disabilitas. Pesan itulah yang ingin disampaikan dalam upacara pembukaan Asian Para Games 2018 yang bergulir di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabtu (6/10/2018) malam.
Berbeda dengan pembukaan Asian Games 2018 yang terlihat spektakuler dengan tata cahaya panggung, jumlah penampil, serta panggung megah, pembukaan Asian Para Games akan lebih menonjolkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan.
Melalui kolaborasi unik antara warga disabilitas dan nondisabilitas di atas panggung, pembukaan menunjukkan Asian Para Games 2018 bukan sekadar ajang olahraga, tetapi menjadi momentum untuk menggaungkan semangat kesetaraan.
Untuk menyelenggarakan pembukaan, Panitia Penyelenggara Asian Para Games Indonesia (Inapgoc) menggandeng Balich Worldwide Shows (BWS), perusahaan asal Italia yang sudah berpengalaman menggelar upacara pembukaan multicabang olahraga, seperti Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Berperan sebagai Direktur Kreatif dan Perancang Tata Panggung adalah Jay Subiyakto, dengan Direktur Musik Andi Rianto, dan perancang busana Chitta Subiyakto. Sejumlah musisi, seperti Armand Maulana, Maudy Ayunda, Once, serta musisi dan penari penyandang disabilitas, juga dilibatkan.
Jay Subiyakto mengatakan, Indonesia mempunyai filosofi dan sejarah panjang terkait dengan keberagaman. ”Kalau kita lihat di relief Candi Borobudur, banyak cerita tentang keberagaman manusia. Tidak hanya keberagaman suku bangsa, tetapi juga menceritakan masyarakat yang terdiri dari kaum disabilitas dan nondisabilitas yang mempunyai hak dan kewajiban sama,” ujarnya.
Sejarah itu, menurut Jay, memudahkan dirinya dalam merancang pembukaan Asian Para Games. Pesan kesetaraan dalam pembukaan akan disampaikan dalam balutan pergelaran musik, tari-tarian, dan pertunjukan video bernuansa Indonesia.
Pertunjukan akan ditampilkan di atas panggung yang dibuat melengkung seperti ombak untuk melambangkan Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa.
Selain melalui musik dan tari-tarian, Jay juga menunjukkan keberagaman agama, suku, bahasa, dan budaya Indonesia melalui adanya arsitektur tempat ibadah dan rumah-rumah tradisional.
”Dalam pertunjukan ini, kita diingatkan untuk menghargai orang dengan kepercayaan dan adat istiadat berbeda. Unsur keberagaman ini harus ditampilkan sebanyak-banyaknya karena kadang kita tidak tahu dengan kebudayaan kita sendiri,” ujarnya.
Jay melibatkan 1.500 penampil untuk acara pembuka, sebanyak 40 di antaranya merupakan seniman dan atlet disabilitas. Warga disabilitas yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat juga akan menunjukkan bahwa mereka mampu tampil melampaui keterbatasan diri.
Jumlah penampil pada pembukaan Asian Para Games jauh lebih sedikit daripada Asian Games yang mencapai lebih dari 10.000 orang.
Jay menyadari, penonton hampir pasti akan membandingkan pembukaan Asian Para Games dengan Asian Games. Namun, dirinya tidak terlalu khawatir akan hal itu mengingat kedua acara mempunyai keunikan berbeda. Jumlah anggaran yang tersedia juga berbeda.
”Karena itulah, saya akan membuat acara ini terasa lebih personal dan fokus menunjukkan kaum disabilitas sebagai manusia-manusia hebat,” katanya.
Meski sudah sering merancang pertunjukan musik dan budaya, menurut Jay, pembukaan Asian Para Games berbeda dengan pertunjukan lain.
”Dalam pembukaan ajang olahraga ada pakem-pakem yang harus diikuti, seperti penghitungan waktu mundur untuk memulai acara, pengibaran bendera negara, parade atlet, serta penyalaan obor Asian Para Games.
Kalau pertunjukan musik biasa bebas untuk tabrak-tabrak,” katanya.
Pembukaan Asian Para Games akan mengawinkan musik orkestra dengan musik tradisional. Di bawah arahan Direktur Musik Andi Rianto, Magenta Orchestra ber zkolaborasi dengan beberapa musisi tradisional di Indonesia. Adapun untuk kostum, sebanyak 1.300 kostum penari serta 500 hiasan kepala dirancang oleh Chitra Subiyakto.
Kampanye kesetaraan
Direktur Seremoni Panitia Penyelenggara Asian Para Games Indonesia (Inapgoc) Aulia Mahariza di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan, pembukaan Asian Para Games 2018 tidak mungkin dibuat lebih besar atau minimal setara dengan Asian Games 2018. Selain keterbatasan anggaran, tujuan utama Asian Para Games pun bukanlah untuk bermewah-mewahan.
”Tujuan utamanya adalah menjadi wadah kampanye untuk menunjukkan bahwa orang- orang disabilitas juga mampu berprestasi, sukses, dan mandiri melampaui semua keterbatasan yang ada pada dirinya.
Jadi, ini adalah ajang kampanye yang dibalut dalam olahraga. Olahraga memang bahasa universal yang bisa cepat diterima oleh khalayak umum,” ujarnya.
Aulia menjelaskan, secara umum, pembukaan lebih banyak diisi dengan pentas seni-budaya dalam bentuk teatrikal dan pergelaran yang menceritakan tentang keragaman suku, ras, etnik, seni-budaya, dan agama sambil tetap menjunjung semangat persatuan dalam keberagaman alias Bhinneka Tunggal Ika.
Di samping itu, tentu disampaikan pesan moral kepada pemerintah dan masyarakat agar lebih ramah kepada warga disabilitas. Terutama, memberikan semua hak mereka, seperti aksesibilitas yang layak hingga kesempatan bekerja ataupun berkarier sebagaimana orang-orang secara umum.
Menurut Aulia, pembukaan Asian Para Games 2018 akan dibagi menjadi sembilan segmen. Semua segmen akan menampilkan alur cerita yang berkesinambungan mengenai semangat persatuan di Indonesia dan sejumlah pesan moral.
Dalam menyampaikan cerita-cerita itu akan turut ditunjukkan keindahan alam, flora-fauna, hingga keunikan seni-budaya Indonesia. Namun, tema maritim, terutama keindahan bawah laut, akan lebih mendominasi.
Aulia mengatakan, tema maritim, khususnya keindahan bawah laut, mendapatkan porsi lebih besar karena alasan teknis dan nonteknis.
Secara teknis, mereka tampil berbeda dari pembukaan Asian Games 2018 yang mengusung tema daratan berupa gunung, hutan, dan pantai. Alasan nonteknisnya karena ada filosofi mendalam yang sangat terkait antara dunia maritim dan orang-orang disabilitas.
Indonesia adalah negara maritim dengan luas wilayah laut lebih besar daripada daratan. Namun, dunia maritim Indonesia itu belum tereksplorasi dengan baik.
Kondisi itu seperti menggambarkan keadaan warga disabilitas. Jumlah mereka cukup banyak di sekitar kita. Mereka pun bukan orang-orang yang kalah dengan keterbatasan tubuhnya. Justru mereka sosok yang kuat, mandiri, dan mampu berprestasi. Namun, keberadaan mereka belum terperhatikan.
Ketua Inapgoc Raja Sapta Oktohari mengatakan, pembukaan Asian Para Games 2018 memang tidak akan semegah pembukaan Asian Games 2018. Salah satu sebabnya, besaran anggaran untuk Asian Para Games jauh lebih kecil ketimbang untuk Asian Games. Anggaran untuk Asian Para Games sebesar Rp 1,7 triliun, sedangkan anggaran untuk Asian Games sekitar Rp 8 triliun.
Kendati demikian, Okto menegaskan, sejatinya, Asian Para Games 2018 dan Asian Games 2018 tidak boleh ada persaingan. Justru itu kegiatan satu paket milik Indonesia yang harus diselenggarakan dengan sukses.
”Kami tidak bersaing dengan Asian Games karena Asian Para Games dan Asian Games itu satu paket yang saling bahu-membahu untuk sama-sama sukses. Kami justru bersaing dengan Asian Para Games Incheon 2014 dan Beijing 2010 yang lebih dulu diselenggarakan,” ujarnya.(Adrian Fajriansyah/Denty Piawai Nastitie)