Semangat hidup Guntur (33) meredup setelah tangan kirinya putus tergiling mesin kapal nelayan. Namun, badai kehidupan yang terjadi 18 tahun silam itu membuka jalan Guntur sebagai anak nelayan sejati yang bersahabat dengan laut, air, angin, dan ombak.
Hidup Guntur berubah total sejak lengan kirinya putus pada 2000. Ketika itu, Guntur sedang melaut di tengah Selat Makassar. Petaka terjadi ketika baju parasut yang dia pakai terlilit mesin kapal, yang disebutnya sebagai ”roda gila”. Baju parasut itu dikenakan untuk menghalau dingin yang menusuk tulang. ”Begitu baju terlilit, tangan saya ikut ketarik dan akhirnya terlepas begitu saja,” ujarnya di Solo, Jawa Tengah, Selasa (18/9/2018).
Guntur hanya dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Namun, selama berbulan-bulan dia hidup terpuruk. Guntur mengurung diri di kamar lantaran tidak sanggup membayangkan hidup sebagai penyandang disabilitas dengan sebelah tangan. Peristiwa singkat yang sangat menyakitkan itu terus-menerus membayangi keseharian hidupnya di Balikpapan.
Pelan tetapi pasti, pemuda itu menemukan jalan untuk bangkit. Dia mulai berani ke luar rumah untuk bersosialisasi dan bermain sepak bola, olahraga kegemarannya sejak kecil. Bagi Guntur, dukungan keluarga dan teman- temannya menjadi motivasi untuk bangkit.
Suatu hari, ketika bermain sepak bola, dia didatangi pelatih renang dan ditawari bergabung dengan Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC). ”Awalnya bingung, memang orang cacat bisa ikut olahraga prestasi? Selanjutnya saya tertarik ikut. Di BPOC saya baru tahu, ternyata orang cacat bukan saya aja. Banyak juga kaum disabilitas, hanya selama ini mereka tidak terlihat karena banyak mengurung diri seperti saya dulu,” ujarnya.
Anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Santer dan Suwarni ini untuk pertama kali tampil pada kejuaraan daerah di Kalimantan Timur dan menyabet medali emas (2006). Prestasi itu yang kemudian membawanya terus berkembang. ”Saya ini memang anak sungai, selama ini hidup di perairan. Rumah saya saja berdiri di perairan sungai. Setiap hari saya pergi melaut. Dengan olahraga renang, saya bisa menunjukkan bakat saya sebagai anak nelayan,” katanya.
Di tingkat Asia Tenggara, Guntur meraih prestasi antara lain meraih dua medali emas dan dua perak ASEAN Para Games Solo 2011. Selanjutnya di Naypyidaw, Myanmar 2014, Guntur mengantongi empat emas dengan dua rekor baru. Pada ajang yang sama di Singapura 2015, dua medali emas, dua perak, dan satu perunggu dia raih. Baru-baru ini, di ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017, Guntur membawa pulang lima medali emas dengan empat rekor baru.
Menguji diri
Guntur, yang berlomba pada kategori S8 mengakui, di tingkat Asia Tenggara dirinya memang tidak terkalahkan. ”Tetapi, di tingkat Asia, saya belum teruji. Oleh karena itu, saya ingin membuktikan diri bisa menyumbang medali di Asian Para Games 2018,” ujarnya.
Tampil sebagai atlet tuan rumah di hadapan penduduk Indonesia pada Asian Para Games 2018, menurut Guntur, akan memberikan motivasi dan semangat lebih untuknya. Namun, dia harus mewaspadai kehadiran perenang-perenang muda yang bermain pada kelas yang sama, yaitu nomor 50 meter gaya bebas dan gaya dada, 100 meter gaya dada, dan estafet 4 x 100 meter gaya ganti.
”Lawan dari negara-negara berkembang lebih hebat. Kami sama-sama punya keterbatasan fisik, tetapi mereka lebih hebat. Usia mereka jauh lebih muda dari saya, yaitu 18 dan 20 tahun. Saya selalu jadi perenang tertua. Saya sadar usia turut menentukan, tetapi saya juga bertekad untuk menampilkan yang terbaik,” kata Guntur.
Saat tidak ikut kegiatan pelatnas, Guntur kembali ke kampung halaman di Balikpapan. Meski kadang-kadang ada perasaan trauma melihat mesin perahu, Guntur tidak membenci peralatan itu. ”Mesin itu yang menggerakkan perahu saya, menjadi mata pencarian saya. Mesin itu pula yang membawa saya menjalani kehidupan saya seperti sekarang,” ujarnya.
Perubahan nyata yang dirasakan Guntur pada saat sebelum dan sesudah menjadi atlet adalah kebutuhan materi yang tercukupi. Dulu, sebelum jadi atlet, Guntur harus pergi melaut berhari-hari demi pendapatan yang tak seberapa. Kini, setelah menjadi atlet elite nasional, dirinya bisa hidup relatif lebih enak.
Namun, roda berputar. Guntur menyimpan kecemasan bilamana suatu hari dia harus berhenti jadi atlet. Usia yang tak lagi muda dengan pendidikan yang hanya setingkat SD membuat Guntur belum mendapat jaminan menjadi pegawai negeri sipil.
”Saya berharap ada perhatian dari pemerintah untuk atlet difabel seperti saya, yang semasa muda kesulitan mengenyam pendidikan,” ujar Guntur.