Jendi Pangabean: Saat di Air, Saya Menjadi Lebih Hebat
Perenang dengan kaki satu Jendi Pangabean (27) membuktikan, tak ada yang sia-sia dari sebuah perjuangan. Sempat berada di titik nadir, Jendi kini menjadi perenang andalan Indonesia. Jendi memang kehilangan satu kaki, tetapi dia mendapat ganti berupa berkah kehidupan.
Ketika berusia 12 tahun, Jendi harus kehilangan kaki kiri karena kecelakaan lalu lintas. Petaka itu terjadi tepat setelah Jendi mengikuti ujian nasional tingkat sekolah dasar.
Setelah kakinya diamputasi, Jendi sempat terpuruk. Namun, itu tidak berlangsung lama. Anak kedua dari empat bersaudara itu segera menata kehidupannya dengan melanjutkan sekolah.
Untuk berangkat sekolah di SMP Negeri 1 Rambang, Muara Enim, Jendi selalu mengandalkan temannya Erick. Jendi harus bangun lebih pagi dan menunggu temannya di depan rumah untuk berangkat bersama-sama ke sekolah. Perjalanan dari rumah ke sekolah kira-kira 10 menit dengan sepeda motor. Kalau terlambat bangun, Erick akan meninggalkan Jendi. Kedisiplinan itulah yang rupanya membentuk Jendi hingga saat ini ketika menjadi atlet renang.
Guru dan teman-teman sering mencontoh semangat saya untuk sekolah. Rasanya senang ketika apa yang kita kerjakan bisa menjadi contoh baik bagi orang-orang sekitar
Kehilangan satu kaki tidak pernah membatasi geraknya. Di sekolah, Jendi menjalankan aktivitas seperti pelajar lain. Dia tak pernah absen ikut pramuka atau olahraga, meskipun kegiatan itu sering dilakukan di luar ruang. Beruntung, teman-teman Jendi selalu mendukungnya.
”Guru dan teman-teman sering mencontoh semangat saya untuk sekolah. Rasanya senang ketika apa yang kita kerjakan bisa menjadi contoh baik bagi orang-orang sekitar,” katanya.
Selepas SMP, Jendi melanjutkan pendidikan di SMA Karya Ibu, Palembang. Selama di Palembang, Jendi tinggal di asrama Panti Sosial Bina Daksa ”Budi Perkasa”. Pada pagi hari, dia menjalani beragam kegiatan keterampilan. Siangnya, Jendi pergi ke sekolah. Biaya pendidikan ditanggung oleh orangtuanya yang masih tinggal di Muara Enim.
Jendi menuturkan, banyak hal yang berubah darinya sebelum dan sesudah menjadi atlet. ”Dulu saya bukan siapa-siapa. Saya lahir dari keluarga sederhana. Orangtua saya hanyalah buruh karet. Dulu, hidup serba sulit. Kini, sudah membaik. Saya bisa membeli kebun karet dan rumah, membiayai kehidupan orangtua dan pendidikan adik-adik,” ujarnya
Sebagai anak buruh karet, Jendi kecil hidup sederhana di Desa Sugiwaras, Kecamatan Rambang, Muara Enim, Sumatra Selatan. Jaraknya kurang lebih tiga jam dari Kota Palembang. Ketika itu, Jendi merupakan bocah aktif yang gemar olahraga, seperti renang, bulu tangkis, dan sepak bola.
Ketika duduk di bangku SMA, kesulitan ekonomi sempat menggoncang kehidupan Jendi. Ketika itu, pada 2008 harga karet turun dari Rp 15.000 menjadi Rp 5.000. Orangtua Jendi pun kehabisan biaya untuk membayar sekolah anak-anaknya.
”Ayah hanya bisa membayar uang sekolah empat bulan, dari seharusnya enam bulan. Saya harus merelakan uang jajan untuk bayar sekolah yang besarnya Rp 150.000 per bulan. Saya terpaksa tidak bisa makan di kantin karena tak punya uang,” ujar putra kedua dari empat bersaudara pasangan Akmal Yasbudaya (52) dan Misrawati (51) itu.
Saya tidak mau membuat orangtua selalu merasa sedih dengan keadaan saya
Dari peristiwa itulah, Jendi berpikir dia harus bisa keluar dari belenggu keterbatasan ekonomi. Jendi bertekad untuk hidup mandiri dan tidak menyulitkan orangtua. ”Saya tidak mau membuat orangtua selalu merasa sedih dengan keadaan saya,” katanya.
Dedikasi
Jendi sempat menggeluti olahraga tenis meja. Kemudian dia mendedikasikan kehidupan pada renang. Kebetulan, sebelum kecelakaan, Jendi sudah gemar berenang di Sungai Rambang di Kabupaten Muara Enim, tempat kelahirannya. Bagi Jendi, bakat renang sudah mengalir di tubuhnya.
Berenang membuat Jendi menjadi manusia yang sama seperti ketika dulu masih punya dua kaki. Selain itu, di dalam air, Jendi merasa lebih hebat dari orang lain. ”Di darat, orang sering melihat saya sebagai manusia dengan kekurangan fisik. Tetapi, di air saya menjadi lebih hebat. Saya bisa berenang, meskipun hanya memiliki kaki satu,” katanya.
Di dalam air, Jendi juga merasa menjadi manusia bebas. Apabila saat menjalani kehidupan sehari-hari Jendi membutuhkan tongkat atau kaki palsu untuk beraktivitas, maka di dalam air dia hanya perlu mengandalkan diri sendiri.
Sejak kecelakaan terjadi, itu pertama kalinya saya melihat ayah menangis karena bahagia, bukan lagi tangis kesedihan
Bakat renang mengantarnya meraih banyak prestasi. Jendi pertama kali meraih medali emas di Pekan Paralimpiade Nasional 2012 di Riau. Begitu mendapat emas, Jendi langsung memeluk ayahnya yang telah banyak berjasa bagi hidupnya. ”Sejak kecelakaan terjadi, itu pertama kalinya saya melihat ayah menangis karena bahagia, bukan lagi tangis kesedihan,” ujarnya.
Di tingkat Asia Tenggara, Jendi mengantongi dua emas, satu perak, satu perunggu di ASEAN Para Games Naypyidaw, Myanmar 2014. Selanjutnya, pada ajang yang sama di Singapura 2015, Jendi meraih 3 emas, 2 perak, 1 perunggu. Di Malaysia 2017, Jendi merebut lima emas, empat di antaranya merupakan rekor baru.
Dia juga pernah terpilih mewakili Indonesia dia ajang Paralimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil, dan menempati peringkat ke-12 besar dunia pada nomor 100 meter gaya punggung. Semua prestasi itu membuatnya terpilih sebagai pembawa obor terakhir yang menyalakan kaldron pada upacara pembukaan Asian Para Games 2018
Prestasi itu juga membuat Jendi mendapatkan bonus yang dipakainya untuk memenuhi kehidupan keluarga dan berinvestasi. Pemerintah juga menjamin statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Lebih dari itu, prestasi membangkitkan rasa percaya diri. Dia juga menjadi inspirasi bagi masyarakat.
“Sekarang saya lebih percaya diri. Jika orang melihat saya dengan pandangan negatif, saya tidak peduli. Apa yang sudah saya lalui ini tidak mudah. Saya pernah berada pada
titik terbawah kehidupan. Saya merasa tidak dianggap, sampai sekarang saya merasa lebih percaya diri,” katanya.
Jendi merupakan harapan Indonesia pada Asian Para Games 2018. Jendi mengatakan, dia memang kehilangan kaki satu. Tetapi, Tuhan telah mengganti kehilangan itu dengan yang lebih baik. ”Kalau saya tidak menjadi atlet, saya tidak tahu bagaimana kehidupan saya sekarang,” katanya.
Jendi Pangabean
Lahir: Sugi Waras, Muara Enim, 10 Juni 1991
Pendidikan:
- SDN 1 Sugi Waras, Muara Enim
- SMPN 1 Rambang, Muara Enim
- SMA Karya Ibu, Palembang
Prestasi:
- Pekan Paralimpiade Nasional 2012 di Riau (2 emas, 1 perak, 1 perunggu)
- ASEAN Para Games Myanmar 2014 (2 emas, 1 perak)
- ASEAN Para Games Singapura 2015 (3 emas, 2 perak, 1 perunggu)
- Paralimpiade Rio de Janeiro 2016 (Lolos 11 besar, peringkat ke-12 besar dunia di 100 meter gaya punggung)
- ASEAN Para Games Malaysia 2017 (5 emas)