Dukungan Kita Bangkitkan Semangat Mereka Setelah Kekalahan
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
Ana Widyasari (32) tidak mampu menutupi raut wajah kecewa ketika menerima medali perak di cabang tenis meja Asian Para Games 2018. Bahkan, hingga turun dari podium, ia enggan diwawancara oleh awak media dan segera menghampiri psikolog pendamping atlet.
”Medali ini saya persembahkan untuk Kota Solo,” ucapnya singkat. Ana merupakan atlet tunagrahita asal Boyolali, Jawa Tengah, yang mengikuti pelatnas tenis meja paralimpiade di Solo, Jawa Tengah, sejak awal Januari 2018.
Senin pagi (8/10/2018), Ana menjalani babak semifinal di nomor tunggal putri kelas 11, melawan Wong Ka Man dari Hong Kong. Tidak banyak mata yang tertuju pada pertandingan Ana karena sebagian besar penonton lebih fokus pada pertandingan semifinal Adyos Astan (50), atlet senior paralimpiade Indonesia yang sedang bertanding melawan Kim Young-gun di nomor tunggal putra kelas 4 pengguna kursi roda.
Meski demikian, masih ada beberapa atlet Indonesia dan pelatih yang tetap memberikan semangat kepada Ana. Salah satunya Bangun Sugito, pelatih fisik atlet tenis meja paralimpiade Indonesia. ”Ayo Ana, pasti kamu bisa!” teriaknya dari tribune penonton.
Sugito mengatakan, tidak ada satu pun anggota keluarga Ana yang hadir untuk mendukung Ana di lapangan. ”Ibunya telah meninggal dunia, sedangkan ayahnya juga perlu mengurus saudara-saudara Ana di kampung sehingga tidak bisa hadir di Jakarta,” ujarnya.
Ana, yang merupakan atlet peraih medali emas di ajang ASEAN Para Games 2017 Malaysia, akhirnya melangkah ke babak final setelah mengalahkan Wong dengan skor 3-2. Sekitar pukul 11.40, Ana melanjutkan partai final melawan Ng Mui Wui dari Hong Kong.
Pada saat final, suporter Indonesia, pelatih, hingga pemain memberikan dukungan total kepada Ana. Ana sempat unggul 2-1 atas Ng, tetapi pada set keempat Ana harus menjalani reli panjang yang sangat sengit.
Ana kalah dengan poin 13-15 dari Ng pada set keempat. Hal ini membuat Ng berada di atas angin karena mampu membalikkan keadaan. Akhirnya, Ana harus mengakui keunggulan Ng di set kelima dengan poin 5-11. Ng mengalahkan Ana dengan skor 3-2.
”Perasaan Ana sungguh campur aduk ketika kalah. Namun, ia perlu kembali bangkit untuk kembali bertanding di nomor beregu,” kata Philana Callista, psikolog atlet tenis meja paralimpiade Indonesia.
Callista menyebutkan, dukungan dari suporter, rekan atlet, hingga pelatih bisa menjadi penyemangat bagi Ana untuk bangkit dari kekalahan.
”Permasalahan yang kerap dihadapi atlet ialah ketika ia rindu dengan keluarga selama masa pertandingan dan pelatihan. Oleh sebab itu, ia perlu mencari semangat dari sosok lain, seperti suporter, rekan atlet, dan pelatih,” ucapnya.
Kekecewaan Ana memang tidak berlarut setelah turun podium. Ketika berada di tribune penonton, ia mulai bercanda tawa dengan rekan-rekan atletnya, bahkan ia tersenyum dan semringah ketika ada suporter yang mengajaknya untuk berswafoto.
Dukungan penuh keluarga
Pada partai lain, Adyos harus menerima kekalahan tiga set langsung dari Kim sehingga membuat ia hanya bisa menyumbang medali perunggu untuk Indonesia. Seusai pertandingan, Adyos segera menghampiri keluarga yang mendukungnya selama pertandingan sejak hari pertama, Sabtu, 6 Oktober.
Dwi Wahyuni (45), istri Adyos, segera memeluk suaminya sambil menitikkan air mata. Menurut dia, Adyos sudah berusaha keras pada ajang kali ini. ”Meski saya tahu, ia masih ingin terus melaju ke final,” katanya.
Dwi memberikan dukungan penuh kepada suaminya karena Adyos merupakan sosok inspirasi terbesar bagi keluarga. ”Adyos adalah tipikal orang yang bisa segera menerima kekalahan, tetapi tidak menyerah untuk selanjutnya. Ia masih terus bercita-cita menjadi paralimpian,” ujar Dwi.
Adyos sangat mensyukuri kehadiran istri dan anaknya selama Asian Para Games 2018 berlangsung. ”Istri saya sempat berpikir bahwa saya lebih mencintai tenis meja dibandingkan dirinya. Saya memang merasa bahwa jiwa saya ada di tenis meja,” lanjut Adyos yang terserang penyakit polio sejak usia 2 tahun.
Meski usia Adyos semakin menua, semangatnya tidak pernah surut selama berkarier di tenis meja. ”Saya bahkan ingin mencatat rekor sebagai pemain tertua yang bertanding di ajang multicabang. Dengan terus bertanding, saya bisa memberi motivasi dan semangat bagi atlet yunior, bahkan penyandang disabilitas lainnya,” tuturnya.
Meskipun atlet disabilitas merupakan manusia super yang telah melewati batas kemampuan manusia normal pada umumnya, mereka tetap membutuhkan sosok penyemangat untuk bisa bangkit dari kekalahan. Dukungan dari segenap masyarakat Indonesia menjadi amunisi penting bagi atlet untuk terus berjuang mengharumkan nama bangsa.