Gelora Asa Ke Puncak Dunia
Atlet-atlet Indonesia peraih emas atletik Asian Para Games tak berpuas diri. Mereka kini menatap level tertinggi, yaitu Paralimpiade Tokyo 2020. Tantangan ke puncak dunia menuntut kerja keras dan dukungan pemerintah.
JAKARTA, KOMPAS Kegembiraan Suparniyati (25), peraih emas tolak peluru klasifikasi F20 atau tunagrahita Asian Para Games 2018, tidak bertahan lama. Walau menjadi yang terbaik di Asia, atlet yang akrab disapa Parni itu, mendadak murung karena tak puas dengan penampilannya.
Pada Senin (8/10/2018) pagi, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Parni meraih emas setelah mencatatkan lemparan 10,75 meter, mengalahkan atlet Jepang, Hiromi Nakada, yang menorehkan 10,51 meter. Disusul atlet nasional lain yang mendapat perunggu, Tiwa (6,44 meter).
Setelah lomba, Parni berlari ke arah sang pelatih, Purwo Adi Sanyoto, di tribune. Keduanya berpelukan diselimuti bendera Merah Putih. Pelukan itu bertahan hingga satu menit. Suasana bahagia menyelimuti tim atletik.
Namun, 30 detik kemudian, wajah Parni mendadak datar. ”Mas, lemparan aku enggak sampai 11 meter,” cetusnya dengan nada memelas kepada Purwo.
Atlet asal Riau itu kecewa.
Meski menyumbangkan satu emas untuk Indonesia, ia gagal melampaui rekor pribadinya sekaligus Asia 11,03 meter. Rekor itu dicatatkan saat ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017.
”Mungkin karena aku grogi. Sebelum bertanding tidak bisa tidur semalam. Beda aja, di sini aku takut mengecewakan orangtua, pelatih, dan teman-teman yang sudah mendoakan,” tutur Parni yang banjir air mata kala pengibaran bendera.
Ketidakpuasan menandakan hasrat yang begitu besar dari atlet yang memiliki IQ di bawah 75 itu. Anak penjual tempe itu ingin menjadi yang terbaik, mengalahkan semua orang, juga dirinya sendiri.
Mental selalu ingin lebih baik itu ditunjukkan Parni sejak di pemusatan latihan nasional di Solo, Jawa Tengah. Menurut Purwo, Parni merupakan yang paling rajin dari rekan pelatnas lain.
”Ia tidak pernah izin latihan, kecuali benar-benar sakit. Tidak pernah mengeluh walaupun latihan cukup berat dua kali sehari. Tidak heran perjuangannya membawanya sampai ke sini,” kata pelatih yang ramah itu.
Kerja keras itu berbuah manis. Pada 2016 Parni dipanggil ke pelatnas, lemparannya waktu itu hanya berkisar 9 meter. Baru satu tahun, dia meraih emas di Kuala Lumpur dan memecahkan rekor Asia. Sekarang, hampir di setiap latihan ia mencatat lemparan di atas 11,5 meter.
Prestasi yang ditorehkan Parni saat ini tidak lepas dari usahanya untuk membahagiakan sang ibu. Sadar tidak memiliki bekal pendidikan formal yang cukup, ia mengejar olahraga sebagai jalan hidupnya.
”Satu-satunya mimpi aku, ya, ingin bahagiain Ibu. Karena Ayah sudah tidak ada. Makanya, aku hanya dengarkan pesan Ibu. Kata Ibu, kalau orang lain ngomong aneh-aneh, tutup kuping saja. Fokus sama apa yang kamu kejar,” tutur Parni.
Menuju puncak
Kemarin, setelah perayaan kemenangan Parni, ratusan penonton di GBK mendadak riuh. Dari lompat jauh T20, atlet keterbatasan intelektual lain, Rica Octavia (25), meraih emas kedua atletik. Rica dengan lompatan 5,25 meter mengalahkan atlet Malaysia, Siti Noor Radiah, yang melompat sejauh 5,18 meter.
Lompatan Rica itu sekaligus memecahkan rekor Asia yang sebelumnya dipegang Siti sejak Paralimpiade Rio de Janeiro 2016 sejauh 5,20 meter.
Sahabat sekamar Parni itu tidak pernah menyangka dapat meraih emas.
Sebelumnya, lompatan terbaiknya hanya mencapai 5,07 meter pada ASEAN Para Games 2015. ”Tidak pernah nyangka bisa berada di posisi ini. Tetapi, saya harus berlatih lebih untuk menggapai Paralimpiade,” kata atlet asal Padang itu.
Hasrat besar Parni dan Rica menjadi berkah bagi tim atletik Indonesia. Setelah menaklukkan Asia, dua atlet tunagrahita itu berencana melanjutkan perjalanan ke puncak ajang olahraga disabilitas, yaitu Paralimpiade Tokyo 2020.
”Mereka sudah melewati limit untuk ke Paralimpiade. Masalahnya hanya nomor itu akan dilombakan di Tokyo atau tidak,” kata Purwo.
Hal yang dibutuhkan Parni dan Rica saat ini adalah fokus latihan. Parni perlu mengatasi ketertinggalan dari atlet Polandia pemegang rekor dunia tolak peluru F20, Ewa Durska, dengan 13,94 meter.
Sementara Rica mengejar rekor dunia lompat jauh T20 yang juga dipegang oleh atlet Polandia, Karolina Kucharczayk dengan lompatan 6 meter.
Dilihat dari etos kerja Parni dan Rica, ketertinggalan itu bukan hal yang mustahil untuk diatasi. Yang terpenting, mereka memerlukan bantuan untuk mengukur kekuatan dengan rutin menjalani uji coba di luar negeri. ”Ya uji coba ke Eropa dan Asia itu wajib,” sebut Purwo.
Kemarin malam, sprinter nasional Sapto Yogo Purnomo (20) menambah pundi-pundi emas kontingen Indonesia dari nomor lari 200 meter klasifikasi T37 atau keterbatasan koordinasi gerak. Atlet asal Purwokerto ini mencatatkan waktu 23,76 detik.
Sapto meninggalkan pelari lain. Peraih perak berasal dari Iran, Ali Olfatnia, dengan 24,27 detik. Sementara itu, perunggu juga dari Iran, Davoudali Ghasemi, dengan 24,38 detik.
”Ini kejutan karena nomor andalan saya di 100 meter. Ini waktu terbaik saya. Sebelumnya paling cepat 24,22 detik. Tetapi, hari ini saya punya motivasi lebih untuk mengalahkan lawan-lawan lain,” kata Sapto yang juga berlatih keras supaya bisa tampil di Paralimpiade Tokyo 2020.
Kemenangan itu membuat Sapto lebih percaya diri untuk meraih emas dalam nomor yang ditargetkan, 100 meter. Di nomor itu, Sapto memiliki catatan waktu 11,47 detik, sedangkan lawan-lawannnya masih di atas 12 detik.
Setelah memastikan raihan emas, Sapto mengelilingi GBK membawa bendera Merah Putih. Kemudian, ia bersujud syukur beralaskan bendera kebangsaan. Atlet yang masa kecilnya diolok-olok karena gangguan motorik tangan kanan itu menjadi pahlawan kemenangan di GBK.
Sementara itu, atlet andalan nomor lompat jauh T45/46/47, Setiyo Budi Hartanto, harus puas mendapat perak. Lompatan Setiyo sejauh 7,1 meter belum mampu mengalahkan ketangguhan atlet China, Wang Hao, yang mencatatkan 7,53 meter.
Pada hari pertama perlombaaan, kemarin, cabang atletik menyumbangkan 3 emas, 1 perak, dan 3 perunggu. (Kelvin Hianusa)