Terlahir sebagai kaum disabilitas di daerah rawan konflik dan terorisme tidak menyurutkan semangat atlet-atlet Suriah untuk berprestasi. Mencintai kehidupan dan ingin menyebarkan cinta kasih kepada masyarakat luas memotivasi atlet-atlet Suriah tampil pada Asian Para Games Jakarta 2018.
Ketua Kontingen Suriah Alwaz Hanei mengatakan, negaranya mengirimkan empat atlet angkat berat dan lima atlet atletik untuk bersaing di Asian Para Games. ”Kami didampingi pelatih dan tim ofisial yang terdiri atas lima orang,” ujarnya di Jakarta, Minggu (7/10/2018), pada hari pertama lomba angkat berat.
Hanei menjelaskan, sejumlah atlet datang dari daerah rawan konflik dan terorisme yang disebutnya sebagai ”hot-spot area”, seperti dari Latakia dan Deir ez-Zor. Komite Paralimpiade Nasional Suriah memberikan dukungan anggaran kepada tim nasional untuk keluar dari daerah konflik dan menjalani pelatnas di Damaskus, ibu kota Suriah.
Pelatnas bergulir di Stadion Tishreen, yang berada di Abou Hamed Al Ghazali, Damaskus, Suriah. Stadion berkapasitas 12.000 penonton yang sering dipakai untuk menggelar pertandingan sepak bola ini sudah dibangun sejak 1976.
Namun, pelatnas hanya berjalan tiga pekan. Konflik dan kondisi negara yang mencekam membuat banyak atlet tidak bisa keluar dari daerah konflik. Hal itu membuat mereka kesulitan bergabung dengan pelatnas.
”Terorisme sangat mendominasi di negara kami. Namun, kami harap untuk selanjutnya atlet bisa berlatih bersama di Damaskus,” ujar Hanei.
Meskipun banyak kesulitan hidup di Suriah, para atlet dan pelatih ingin membuktikan bahwa mereka berasal dari sebuah peradaban yang mewarisi semangat cinta kasih dan kedamaian.
”Kami mencintai kehidupan ini. Kami ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kami ingin melanjutkan kehidupan, apa pun kesulitan yang sedang kami hadapi,” ujar Hanei.
Atlet atletik Suriah, Alla Abd al-Salam, mengatakan, konflik dan terorisme yang terjadi di Suriah sangat parah. ”Saking kacau dan parahnya, saya tidak bisa menjelaskan,” katanya.
Al-Salam berasal dari kota kecil di dekat Suriah. Di sana konflik sering terjadi meskipun tidak separah daerah lain. Ketika konflik pecah, atlet ini harus berhenti latihan untuk sementara.
Setelah kondisi stabil, dia berlatih kembali. Al-Salam tidak pernah merasakan kehilangan keluarga atau teman karena konflik. ”Namun, bisa jadi suatu hari rasa kehilangan menimpa saya,” ujarnya penuh kecemasan.
Al-Salam terlahir dengan kondisi fisik memiliki kekuatan otot penuh di bahu, siku, dan pergelangan tangan. Namun, dia tidak memiliki kontrol pada otot perut serta tulang belakang dan terlahir dengan kaki tidak sempurna.
Untuk beraktivitas, dia harus menggunakan kursi roda. Al-Salam punya kekuatan cengkeraman tangan yang kuat sehingga dia menjadi atlet lempar lembing dan tolak peluru pada klasifikasi F53.
Atlet-atlet Suriah datang untuk berprestasi di Asian Para Games. Spirit itu salah satunya ditunjukan oleh atlet angkat berat putri Noura Baddour. Bermain di kelas 41 kg di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Minggu, Baddour meraih perunggu dengan angkatan terbaik 91 kg. Emas diraih Cui Zhe (China) dan perak menjadi milik Ni Nengah Widiasih (Indonesia).
Begitu dinyatakan meraih medali perunggu, Baddour bersorak gembira. Pelatih kepala tim angkat berat Suriah, Ayman Jawad, menggendong tubuh anak didiknya sambil tersenyum ke arah penonton. ”Rasanya luar biasa. Terima kasih karena Indonesia mau menyelenggarakan ajang ini,” ujar Baddour.
”Di cabang ini saya bisa menunjukkan kekuatan,” kata atlet asal Latakia yang sudah berlatih selama 10 tahun itu.
Terlahir dengan kondisi kedua kaki tidak sempurna, Baddour mengandalkan kursi roda dalam beraktivitas. Namun, dia selalu merasa percaya diri dan tidak pernah merasa lemah. Menurut dia, tantangan kaum disabilitas adalah dirinya sendiri. (Denty Piawai Nastitie)