Taklukkan Kegelapan
Meski gagal meraih medali, tiga pejudo Indonesia tetap pulang dengan kepala tegak karena berhasil menaklukkan ”kegelapan” yang membatasi mereka selama ini.
JAKARTA, KOMPAS Rafli Ahnaf Shidqi (18) tetap menebar senyum setelah dibanting dan dikunci judoka Jepang peringkat ke-11 dunia, Hirai Takaaki, di kelas +60 kilogram putra. ”Saya seperti dihipnotis. Dia bermain santai, tetapi mematikan. Wajar, sih, kelasnya sudah jauh,” kata Rafli.
Hirai, yang akhirnya meraih medali perunggu, adalah pejudo dengan segudang pengalaman. Ia juara piala dunia di Sao Paulo 2005 dan meraih perak kejuaraan dunia judo buta 2015 di Seoul . Pada perempat final, Hirai kalah dari Sherzod Namozov, pejudo buta nomor satu dunia asal Uzbekistan. Namozov pulang membawa emas di kelas ini.
Bisa bertarung melawan pejudo papan atas saja telah membuat Rafli bangga. Dibandingkan dengan mereka, pengalaman Rafli sangat minim. Pemuda asal Bandung itu baru mengenal judo tahun 2014 dan menjuarai Pekan Paralimpiade Nasional 2016. Rafli pernah mengikuti kejuaraan di Turki, tetapi langsung gugur pada laga pertama setelah dikalahkan pejudo Rusia.
Rafli tidak menyangka jalan hidupnya akan membaik berkat judo. Ketika kehilangan penglihatan pada umur 8 tahun, Rafli sempat terpuruk. Perlahan ia bangkit dan menekuni atletik. Baru pada 2014 ia mengenal dan berlatih judo.
”Lewat judo ini, saya ingin mengangkat derajat keluarga,” kata Rafli. Dengan menjadi pejudo berprestasi, Rafli ingin menyampaikan pesan, seorang tunanetra mampu mengharumkan bangsa. Ia berharap tidak ada lagi diskriminasi kepada tunanetra.
Ayah Rafli, Suwantoro Edi, mengatakan, anaknya bisa membeli lemari es untuk ibunya atau telepon pintar buat adiknya dengan uang dari judo. ”Dulu dia berlatih judo tidak bilang ke saya. Setelah saya tahu dia suka, saya dukung penuh,” kata Suwantoro.
Rafli tidak menyimpan semangat itu sendirian. Pelatih judo buta Indonesia, Moch Latif, mengatakan, energi positif Rafli menyebar ke semua rekannya. ”Dia humoris, ketika suasana latihan sedang jenuh, ia teriak-teriak. Pokoknya kalau tak ada dia, tidak ramai,” kata Latif yang juga menjadi pelatih pertama Rafli.
Diskualifikasi
Selain Rafli, dua pejudo Indonesia lainnya yang tampil adalah Nur Fatimah dan Miftahul Jannah. Nur Fatimah kalah dari Ratchaniphon Thongsing (Thailand) di kelas -48 kg pada babak semifinal repechage. Dengan dukungan suporter, Fatimah sampai berteriak saat berusaha melepaskan diri dari kuncian Ratchaniphon. Namun, ia gagal.
Adapun Miftahul didiskualifikasi karena bertanding menggunakan jilbab. Federasi Judo Internasional (IJF) melarang pejudo tampil mengenakan penutup kepala dengan alasan keselamatan. Miftahul pun meninggalkan arena sambil menangis. Lawannya, Oyun Gantulga (Mongolia) dinyatakan menang.
Miftahul mengaku kecewa sekaligus lega karena bisa mempertahankan prinsipnya. ”Saya baru tahu (aturan itu) kemarin dan saya harap ke depan tidak ada larangan lagi,” katanya.
Ketua Umum Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia Senny Marbun mengatakan, IJF sudah lama membuat aturan, atlet dilarang menggunakan penutup kepala saat bertanding. Senny mengakui, ini kesalahan NPC karena pelatih sebetulnya sudah mendapatkan regulasi itu dalam bahasa Inggris.
Regulasi itu dibuat atas dasar pertimbangan keselamatan para atlet. ”Saya minta maaf atas kejadian yang memalukan ini,” kata Senny.
Menanggapi kejadian ini, Latif mengatakan, tim pelatih baru tahu Minggu (7/10) saat rapat teknis dan sempat protes. Namun, aturan tetap tak bisa dilanggar.
Dukungan
Ana Widyasari (32) tidak mampu menutupi kekecewaannya menerima medali perak cabang tenis meja. Bahkan, hingga turun dari podium, ia enggan diwawancara media dan menghampiri psikolog pendamping.
”Medali ini untuk Kota Solo,” ucapnya singkat. Ana adalah atlet tunagrahita asal Boyolali, Jawa Tengah, yang mengikuti pelatnas tenis meja Paralimpiade di Solo sejak Januari 2018.
Pada Senin, Ana menjalani semifinal di nomor tunggal putri T11 melawan Wong Ka Man (Hongkong). Tidak banyak yang menyaksikan Ana karena saat bersamaan atlet senior Adyos Astan (50) bertanding melawan Kim Young-gun di tunggal putra TT4, pengguna kursi roda.
Namun, ada beberapa atlet Indonesia dan pelatih yang tetap memberi semangat kepada Ana. Salah satunya Bangun Sugito, pelatih fisik tenis meja.
Sugito mengatakan, keluarga Ana tak bisa hadir untuk mendukung langsung. ”Ibunya telah meninggal dunia, ayahnya mengurus saudara-saudara Ana sehingga tidak bisa hadir,” katanya.
Ana, peraih emas ASEAN Para Games 2017 akhirnya lolos ke final melawan Ng Mui Wui dari Hong Kong. Saat final, dia mendapat dukungan penuh suporter Indonesia. Meski sempat unggul 2-1, Ana akhirnya harus mengakui keunggulan Ng Mui Wui.
”Perasaan Ana campur aduk ketika kalah. Namun, ia perlu kembali bangkit untuk bertanding di nomor beregu,” kata Philana Callista, psikolog atlet tenis meja. Dukungan juga sangat penting bagi Adyos, yang disaksikan keluarganya. Adyos akhirnya meraih perunggu. (DEN/DVD)