Berlari Dari Hantu Masa Lalu
Terlahir dengan kondisi fisik tak sempurna sempat membuat Sapto Yogo Purnomo kehilangan kepercayaan diri. Namun, pemuda berkarakter ceria itu mampu berdamai dengan kondisinya dan menjadi atlet muda yang bersinar.
JAKARTA, KOMPAS Secepat kilat, atlet tunadaksa Sapto Yogo Purnomo berlari meraih emas Asian Para Games 2018 dalam nomor 100 meter T37 atau keterbatasan koordinasi gerak. Atlet atletik berusia 20 tahun itu begitu mahir berlari, termasuk kabur dari masa lalunya yang gelap.
Ratusan penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (9/10/2018) malam, menjadi saksi kecepatan langkah lari Yogo. Seisi Stadion bergemuruh ketika atlet asal Purwokerto itu finis terdepan.
Perlombaan berjalan seimbang hanya pada 20 meter awal start. Setelah itu, langkah jenjang Yogo mulai meninggalkan saingan terberatnya, Davoudali Ghasali, asal Iran dan Ali al-Nakhli asal Arab Saudi.
Jarak semakin kontras menjelang finis. Yogo berjarak hingga nyaris 10 meter dari pesaing terdekat, Davoudali. Tanpa persaingan berarti, anak kedua dari tiga bersaudara itu memastikan medali emas dalam nomor andalannya itu.
Ini emas kedua Yogo setelah berjaya di nomor 200 meter T37 pada Senin.
Yogo segera mencari bendera kebangsaan. Ia membentangkan bendera selebarnya dengan kedua tangan. Kemarin, Yogo seperti terbang dengan jubah ”Merah Putih”.
Ia lalu berlari menuju tribune VIP. Di sana ia memeluk sejumlah pejabat penting, salah satunya Ketua Komite Paralimpiade Nasional Senny Marbun.
Kemarin malam Yogo begitu cepat. Ia finis dengan catatan waktu 11,49 detik, sementara Davoudali menyusul dengan 11,97 detik dan Ali 12,01 detik.
Catatan Yogo memecahkan rekor Asia milik Liang Yongbin (China) yang diraih pada Paralimpiade London 2012 dengan 11,51 detik. ”Aku juga tidak tahu karena cuma pikirin lari aja,” katanya.
Begitulah Yogo. Lari adalah keahliannya sejak dulu, termasuk ”berlari” dari masa kecilnya yang penuh hinaan. Sejak SD hingga SMP, Yogo menjadi bahan ejekan siswa-siswi di sekolahnya.
Tangan kanan Yogo yang mengalami masalah koordinasi gerak dari lahir menjadi penyebabnya. Telapak tangannya terlihat seperti sedang mencakar dan tidak bisa menutup, sedangkan sikunya susah diluruskan.
”Selalu saja menjadi bahan olok-olokan kalau ketemu teman sekolah. Saya tidak kuat. Rasanya ingin lari saja dari kenyataan itu,” ujar Yogo.
Yogo selalu bolos sekolah ketika merasa muak dengan hinaan. ”Sudah tidak terhitung saya bolos, sangat sering,” ujarnya.
Saat bolos, ia berlari menuju sungai di dekat rumahnya. Yogo hanya duduk terdiam seorang diri di sungai itu, menatap aliran air sungai dari pagi hingga siang. ”Saya tidak tahu, tetapi merasa tenang saja di sungai. Ketenangan itu tidak saya rasakan di tempat lain,” katanya.
Keseringan bolos, sang guru mengunjungi Yogo ke rumah. Namun, sekali lagi, ia kabur setiap gurunya datang. Sampai suatu hari, sang ibu mengancam akan pindah ke Jakarta apabila kelakuannya tidak berubah. Sejak itu, ia berhenti. ”Saya takut. Hanya Ibu yang saya punya. Kalau Ibu menyusul Ayah ke Jakarta, saya tidak punya siapa-siapa di Purwokerto,” ucap Yogo.
Setelah menerima keadaan, Yogo akhirnya mengenal dunia lari saat masuk SMK. Ia tertarik masuk dan berlomba dalam ajang lari disabilitas. Prestasinya terus mengalir sejak saat itu, dari merajai Pekan Paralimpiade Nasional Jabar 2016 hingga meraih dua medali emas dalam ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017.
Yogo terus berlari untuk meraih prestasi dan meninggalkan masa lalunya yang kelam. Kemarin, penyuka otomotif itu menjadi pahlawan masyarakat Indonesia. Tak ada lagi ejekan. Pujian dan bonus prestasi yang sekarang menghampirinya.
Mimpi ke Tokyo
Yogo kian percaya diri. ”Dengan emas ini, kan, sudah otomatis dapat tiket ke Tokyo, tetapi masih panjang dan berat jalan untuk menjadi juara di sana,” ujarnya mawas diri.
Persiapan untuk menuju ke Tokyo, kata Yogo, sudah harus dimulai saat ini juga. Ia tidak ingin menyia- nyiakan waktu. ”Saya juga harus menjaga kondisi tubuh agar selalu prima,” ujarnya.
Konsistensi diperlukan atlet yang baru mulai berkembang pada 2016 itu. Adapun rekor dunia dalam nomor lari 100 meter T37 dipegang oleh atlet Afrika Selatan, Charl Du Toit, dengan 11,42 detik atau berbeda 0,07 detik dari catatan waktu Yogo.
Sebelumnya, pelatih kepala atletik, Slamet Widodo, mengatakan, Yogo merupakan salah satu potensi terbaik yang pernah ditemukannya. Perkembangannya sangat pesat. Dua tahun sebelumnya, anak asuhnya itu belum bisa menyentuh 12 detik.
Selain memiliki potensi, disiplin yang ditunjukkan Yogo juga luar biasa. Setiap seminggu sebelum bertanding, ia menitipkan telepon genggamnya kepada pelatih karena tidak ingin konsentrasinya terganggu.
Pada hari kedua perlombaan, Selasa, tim atletik Indonesia total meraih 1 emas, 3 perak, dan 2 perunggu. Perak didapatkan oleh Rizal Bagus Saktiyono pada nomor 200 meter T47 atau keterbatasan tangan, Felipus Kolymau pada nomor 400 meter T20 atau keterbatsan intelektual, dan Karisma Evi pada nomor lompat jauh T42-44/61-64.
Dua perunggu diraih Endi Nurdin Tine pada nomor yang sama dengan Felipus, dan Elvin Elhuda Sesa di nomor 400 meter putri T20.
Total medali atletik sejak hari pertama lomba adalah 4 emas, 5 perak, 5 perunggu. (Kelvin Hianusa/Herpin Dewanto Putro)