Elsa Maris (32) dengan tenang menghampiri ibunya, Hazada (58), setiap berhasil menjatuhkan semua pin boling dalam sekali lemparan atau strike. Setelah menepuk tangan ibunya, ia tersenyum, lalu bersiap untuk melakukan lemparan selanjutnya.
Tanpa Hazada di sisi Elsa, rasanya tidak mungkin atlet boling 10 pin difabel Indonesia ini mampu meraih medali emas pada nomor tunggal putri kelas TPB 4 Asian Para Games 2018. Ibunya selalu berada di sisi Elsa, bahkan bergabung menjadi ofisial tim agar bisa terus berkomunikasi dengan Elsa.
”Saya selalu mendampingi Elsa sejak pemusatan latihan di Solo, Jawa Tengah, pada Januari 2018. Ia tidur di mes atlet, sedangkan saya tidur di tempat indekos setiap hari,” ucap Hazada seusai final boling nomor tunggal di Arena Boling Jaya Ancol, Jakarta, Selasa (9/10/2018).
Pada pertandingan ini, Elsa meraih skor paling tinggi atas tiga pemain lain, dengan perolehan 1.186 poin dari enam frame. Elsa mengungguli Diane Neo Pe Lin (Singapura) yang meraih medali perak dengan 1.033 poin, disusul Kim Yu-na (Korea) dengan medali perunggu setelah mendapat nilai 1.003. Atlet Malaysia, Nur Syazwani, meraih 922 poin di posisi keempat.
”Ini menjadi pertandingan pertama Elsa di Asian Para Games. Saya selalu katakan kepada Elsa agar ia jangan gugup dan tidak memperhatikan sekelilingnya, fokus saja pada permainan,” ujar Hazada.
Klasifikasi TB4 pada cabang boling diperuntukkan bagi atlet dengan keterbatasan intelektual. Sebelumnya, pada sesi latihan Jumat (5/10), Hazada mengatakan, Elsa telah bermain boling sejak usia 15 tahun. Awalnya ia tidak tahu bakat apa yang dimiliki Elsa sejak kecil.
Elsa merupakan sosok yang sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan ia hanya mendengarkan apa yang ibunya katakan.
”Dengan kondisinya yang seperti ini, saya tidak mungkin menyekolahkannya di sekolah umum. Pada tahun 2004, akhirnya Elsa masuk klub boling di Palembang dan tampil pertama kali pada Pekan Paralimpiade Nasional 2004 di Palembang,” kata Hazada.
Pelatih boling 10 pin difabel Indonesia, Waluyo, mengatakan, Elsa memang tidak mampu berkomunikasi tanpa perantara ibunya. Oleh sebab itu, ibunya juga turut didaftarkan sebagai ofisial tim agar pelatih bisa dengan mudah memberikan arahan kepada Elsa.
”Elsa yang merupakan juara dunia boling difabel 2018 memang kami targetkan untuk meraih emas. Saya tidak kesulitan memberikan arahan kepada Elsa selama ada ibunya di sisinya,” katanya.
Berharap Olimpiade
Kasih dan dukungan ibu juga menjadi modal berharga bagi petenis meja andalan Indonesia, Dian David Michael Jacobs (41). Setelah merebut medali emas di partai final nomor tunggal putra TT 10, David segera berlari memeluk ibunda tercinta, Neelce Jacobs (81), yang berada di tribune penonton.
”Ibu saya sudah jarang sekali menonton pertandingan anaknya, khususnya ketika saya sedang bertanding ke luar negeri. Khusus Asian Para Games, saya minta agar beliau bisa selalu hadir dalam setiap pertandingan saya meskipun kondisi beliau sudah tidak terlalu fit,” ujar David di Ecovention Ancol, Jakarta, Selasa.
David berharap agar ibunya diberikan umur panjang supaya masih bisa melihat ia bertanding di Paralimpiade Tokyo 2020. Sejak ayahnya meninggal pada 5 Maret 2018, David terus berjuang menjadi kebanggaan ibu serta keluarganya.
”Semoga saja saya bisa lolos kualifikasi Paralimpiade Tokyo 2020 agar ibu saya masih bisa melihat pertandingan anaknya,” kata David.
Neelce mengatakan, David meminta agar selalu didoakan pada setiap pertandingannya. ”Saya selalu mengikuti karier David sejak kecil.
Ketika ia memeluk saya tadi, ia tidak mengucapkan apa pun, tetapi saya yang mengucapkan terima kasih kepadanya. Ini adalah anugerah dari Tuhan,” katanya.
Tidak dapat dimungkiri, sosok hebat seperti ibu berperan sangat besar dan turut berjuang di balik layar kesuksesan para atlet disabilitas. Sejatinya, kasih ibu kepada atlet akan terus ada dan tak pernah usai meski karier sang atlet berakhir. (Dhanang D Aritonang)