Inspirasi dari Anak-anak Berkemampuan Spesial
Orang dengan kebutuhan khusus yang berpartisipasi di Asian Para Games 2018 tidak hanya menunjukkan bakat olahraga, beberapa dari mereka menyemarakkan ajang ini dengan menampilkan bakat seni, seperti melukis, merancang pakaian, dan membuat aneka kerajinan tangan.
Daripada bersembunyi dan meratapi diri, mereka memilih menunjukkan bakat dan potensi yang dimiliki.
Bakat seni itu ditampilkan di Zona Inspirasi yang berada di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Selama penyelenggaraan Asian Para Games 2018, yang bergulir pada 6-13 Oktober, beberapa orang dengan kebutuhan khusus menyulap tenda sederhana menjadi galeri seni.
Pelukis Dwi Putro Mulyono atau yang biasa dipanggil Pak Wi, misalnya, terlihat asyik melukis ulang karya yang pernah dibuat Hendra Gunawan (1918-1983). Karya-karya itu menjadi koleksi milik Ciputra.
Sepanjang sepekan penyelenggaraan Asian Para Games 2018, pelukis dengan gangguan mental, pendengaran, dan bicara ini telah menghasilkan 20 karya. Salah satunya adalah lukisan berjudul ”Arjuna Menyusui” yang dibuat di atas kanvas berukuran 2,5 meter x 4 meter.
Di sebelahnya, perancang busana Rafi Ridwan Abdurrahman memamerkan karya yang diberi label D2D (day to day). Meski tidak bisa mendengar, Rafi mempunyai imajinasi dan semangat besar untuk berkarya. Demikian juga kelompok tunarungu Ka-Ta (Karya Penyandang Disabilitas) yang memamerkan dan menjual kerajinan tangan, seperti tas dan aneka perhiasan.
Rafi mengatakan, dirinya merasa sangat senang bisa terlibat pada Asian Para Games. ”Setiap hari, saya bertemu dengan teman baru. Melalui Asian Para Games, kaum disabilitas bisa saling bertemu. Kami bisa saling berbagi menikmati indahnya dunia,” katanya dengan bahasa isyarat.
Shinta Ayu Handayani, ibunda Rafi, mengatakan, putranya diajak menyemarakkan Asian Para Games beberapa hari menjelang kejuaraan digelar. ”Kami menilai kaum disabilitas harus saling mendukung, merangkul, dan menguatkan. Kami sangat senang ikut ajang ini,” ujarnya.
Shinta menceritakan, putranya terlahir dengan gangguan pendengaran karena dirinya mengalami campak jerman (penyakit rubela) pada trisemester kehamilan. ”Saat tahu anak saya akan terlahir disabilitas, dunia terasa mau runtuh. Namun, saya bertekad tetap merawat dan membesarkan anak saya apa pun kondisinya,” kata Shinta.
Meski tidak bisa mendengar, Rafi menunjukkan potensi luar biasa dalam seni. Sejak usia 4 tahun, bakat alami itu sudah terlihat. Rafi senang membuat gambar pakaian dan aneka tekstur. Namun, bakat itu sempat mendapat tantangan dari masyarakat.
”Ketika anak saya mendaftar les melukis, ada guru yang menolak. Bahkan, guru tersebut belum bertemu anak saya karena kami bicara melalui telepon. Namun, dia sudah menolak karena anak saya tuli,” ujar Shinta.
Selain itu, banyak orang berkomentar negatif karena anak laki- laki dianggap tidak pantas menggambar pakaian perempuan. Tantangan demi tantangan dihadapi. ”Anak saya hidup dalam dunia yang terbatas karena dia tuli.
Dunianya sangat sunyi. Saya bertekad tidak akan membatasi lagi kehidupannya dengan melarang dia melakukan hal yang disukainya,” ujar Shinta.
Bakat alami Rafi ditambah dukungan orangtua mengantar Rafi menjadi perancang busana yang cukup dikenal. Pada usia 9 tahun, karya Rafi dipamerkan di Jakarta Fashion Week 2011. Ia juga menciptakan karya untuk America’s Next Top Model Musim 20 pada 2013.
Dia juga pernah menggelar pameran busana di Australia. Menurut Shinta, dukungan tulus kepada anak-anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan untuk membantu mereka mengembangkan potensi diri.
Christianto dari kelompok tunarungu Ka-Ta juga sangat senang bisa meramaikan Asian Para Games. Dengan bahasa isyarat, dia menjelaskan, setiap hari banyak orang datang ke stan untuk melihat-lihat atau membeli karyanya, seperti kalung, anting-anting, dan tas.
”Saya senang mendapatkan teman-teman baru di Asian Para Games. Penonton sering datang, menyapa saya. Meski saya tidak bisa mendengar, saya senang bertemu dan berbicara dengan orang baru,” ujar Christianto.
Di depan stan, Christianto menulis: ”Hi, kami tunarungu. Kami tidak bisa mendengar...sapalah kami.” (DENTY PIAWAI NASTITIE)