JAKARTA, KOMPAS - Ajang Asian Para Games 2018 akan berakhir pada Sabtu (13/10/2018). Namun, masih ada perjuangan panjang untuk mewujudkan kesetaraan sosial, fasilitas inklusif, dan perbaikan kualitas kebijakan yang dapat merangkul semua kelompok masyarakat, termasuk kaum disabilitas. Asian Para Games diharapkan meninggalkan warisan berupa terwujudnya masyarakat yang ramah disabilitas.
Aktivis gerakan sosial untuk kaum disabilitas, Bahrul Fuad, di Jakarta, Jumat (12/10), mengatakan, penyelenggaraan Asian Para Games 2018 harus meninggalkan warisan berupa kebijakan pemerintah yang lebih ramah disabilitas, seperti menyediakan layanan transportasi yang mampu menampung orang dengan kursi roda, membangun trotoar, dan bangunan yang dapat dipakai semua kelompok masyarakat.
Hal yang tidak kalah penting, ajang ini perlu dijadikan momentum perbaikan layanan publik, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga peluang pekerjaan yang terbuka untuk semua orang. Selain itu, stigma untuk kaum disabilitas juga dihapus. ”Masyarakat harus memiliki cara pandang baru agar tak lagi menyembunyikan dan menyingkirkan anak-anak difabel,” ujar Bahrul Fuad.
Konsultan Senior Disabilitas dan Inklusi pada The Asia Foundation ini mengatakan, selama Asian Para Games, semangat mewujudkan kesetaraan sosial yang menjadi roh dibuatnya ajang ini masih belum terasa. ”Perjuangan atlet difabel membuat masyarakat lebih tegar dan semangat menjalani hidup.
Masyarakat mendapatkan inspirasi dari atlet-atlet difabel. Namun, pesan utama, yakni bagaimana kita bisa membangun ruang, kesempatan, dan fasilitas untuk orang-orang dengan kebutuhan khusus belum terasa,” tutur Bahrul Fuad.
Kesimpulan sementara hasil survei yang dilakukan Tim Warisan Asian Para Games Panitia Penyelenggara Asian Para Games Indonesia (Inapgoc) menunjukkan, masyarakat Indonesia masih memandang negatif kaum disabilitas dengan menganggap mereka mempunyai kekurangan fisik dan intelektual. ”Pandangan bahwa kaum disabilitas juga mempunyai potensi belum kelihatan,” ucap Bahrul Fuad.
Hasil survei juga menunjukkan fasilitas di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, sudah ramah disabilitas.
Penelitian itu dilakukan oleh tim beranggotakan 34 ahli. Responden berjumlah lebih dari 500 penonton, atlet, ofisial, dan relawan, selama Asian Para Games bergulir pada 6-13 Oktober 2018. Nantinya hasil survei ini akan dipresentasikan dan menjadi rekomendasi pembangunan pemerintah.
”Kita harus mengubah cara pandang yang mulanya melihat kaum disabilitas dengan cara belas kasihan menjadi pemenuhan hak. Jika fasilitas sudah ramah disabilitas, orang-orang difabel dapat produktif bekerja. Pemenuhan fasilitas ramah disabilitas jangan dijadikan sebagai beban,” papar Fuad.
Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia Aria Indrawati mengatakan, pelaksanaan Asian Para Games masih menampilkan stigma negatif bagi kaum disabilitas. Selain itu, aksesibilitas tidak terpenuhi sehingga berujung kepada praktik diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, mulai dari atlet, penonton, hingga relawan.
”Stigma negatif ditunjukkan dengan iklan sosialisasi yang lebih menonjolkan kekurangan fisik atlet disabilitas daripada menunjukkan prestasi dan semangat juang atlet tersebut,” kata Aria dalam siaran pers Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas, kemarin.
Terkait aksesibilitas, menurut Aria, penyelenggara memang sudah menyiapkan akomodasi yang layak agar atlet dan tim ofisial dapat menjalankan perannya masing-masing secara maksimal. Namun, akomodasi disiapkan dalam waktu yang mepet menjelang Asian Para Games.
”Pembangunan aksesibilitas yang ramah untuk kaum disabilitas itu seharusnya dilaksanakan sejak awal dibangunnya arena olahraga sebagai persiapan Asian Games 2018. Hal itu menunjukkan bahwa kehadiran warga negara dengan disabilitas di Indonesia belum menjadi prioritas, bahkan kerap terdiskriminasi,” kata Aria menegaskan.
Shinta Ayu Handayani, orangtua Rafi Ridwan (16) yang tunarungu, mengatakan, dirinya menjumpai banyak kendala dalam memenuhi hak pendidikan bagi anaknya. ”Jangankan untuk sekolah, untuk les melukis saja pernah ditolak karena anak saya tuli,” ujarnya.
Ketua Inapgoc Raja Sapta Oktohari menuturkan, warisan Asian Para Games memang tidak bisa terlihat langsung. ”Untuk mengubah paradigma secara menyeluruh, butuh waktu. Namun, dari ajang ini setidaknya sudah tumbuh kesadaran masyarakat tentang adanya orang-orang dengan kebutuhan khusus. Kesadaran itu menjadi warisan dari Asian Para Games,” tuturnya. (DNA)