Sejumlah atlet disabilitas mencari peluang prestasi Asian Para Games 2018 di cabang baru. Mereka menjadikan prestasi sebagai cara untuk menepis diskriminasi yang muncul dari stigma sosial.
I Wayan Damai (39) yakin bisa meraih medali dari lawn bowls. Cabang yang baru ditekuninya ini memberi peluang untuk bisa tetap berprestasi setelah ia tidak lagi bertanding di balap sepeda. Setelah dipastikan meraih perunggu di nomor tunggal putra kelas B6, Rabu (10/10/2018),
Damai menuai banyak pujian dari atlet-atlet lawn bowls dari Hong Kong, Malaysia, dan Singapura. Ia dipuji karena bisa menahan laju pemain lawn
bowls paling kondang di Asia, Chunkyu Im, dari Korea Selatan dengan skor seri 20-20. Im yang meraih emas punya pengalaman 20 tahun bermain lawn bowls, sedangkan Damai baru menekuni olahraga ini awal tahun ini.
”Ini prestasi buat saya. Dari lima pertandingan, Im menang terus dan baru sekali seri melawan saya,” kata Damai.
Sebelum berkiprah di cabang lawn bowls, Damai menggeluti balap sepeda Paralimpiade. Terakhir ia berkiprah di ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017 dan meraih medali perak serta perunggu untuk klasifikasi sepeda tangan H3. Setelah ajang tersebut, atlet binaan Bali Sport Foundation itu tidak lagi bergabung di timnas balap sepeda Paralimpiade dan posisinya digantikan atlet lain.
”Saya mencari peluang baru di lawn bowls. Kebetulan tahun 2017 saya mulai berpindah ke lawn bowls, ikut kejuaraan dunia di Korea Selatan dan dapat medali perak,” katanya.
Berpindah jalur cabang olahraga juga dijalani Ni’matul Fauziah. Perempuan berusia 20 tahun yang akrab dipanggil Atul itu sebelum menekuni lawn bowls merupakan atlet atletik. Penyandang tunanetra ini sering mengikuti kejuaraan lari, tetapi kemudian dia diajak pelatihnya bergabung di lawn bowls. ”Saya ditawari latihan lawn bowls karena cabang baru itu butuh atlet untuk kelas blind,” kata Atul.
Latihan sejak Mei lalu membuahkan medali perak bagi Atul di nomor terbuka campuran kelas B1 untuk atlet buta total. Selama pertandingan, Atul didampingi dan diarahkan Dinar Shafa Hardiyati.
Julia Verawati, atlet kelahiran Medan yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, juga mencoba mencari peluang di lawn bowls. Julia yang buta sejak berumur 4 tahun semula menekuni atletik dan berkali-kali mendapatkan emas di Pekan Olahraga Paralimpiade Nasional. Namun, ketika menginjak usia 37 tahun, ia memutuskan berhenti lari.
”Setelah usia makin tua, saya memilih olahraga yang tidak terlalu menempa fisik,” kata Julia.
Ketekunan Julia membuahkan emas di nomor tunggal terbuka kelas B2 untuk penyandang low vision. Julia juga meraih emas di nomor pasangan campuran bersama Kacung.
Adaptasi emosi
Berpindah haluan membuat atlet harus menjalani adaptasi yang sulit. Bagi Damai, Atul ataupun Julia, karakter lawn bowls jauh berbeda dengan olahraga yang selama ini mereka geluti. Bagian terberat dari lawn bowls adalah atlet harus bisa mengendalikan emosinya saat bertanding. Pengendalian emosi ini dilakukan terus-menerus selama dua jam permainan.
”Kalau kita tidak bisa mengendalikan emosi, bola yang kita lempar tidak akurat. Bisa melenceng jauh atau kebablasan karena terlalu keras melempar,” kata Damai. Hal ini berbeda dari balap sepeda yang justru membutuhkan emosi meledak-ledak untuk meraih kecepatan tinggi.
Lawn bowls mirip boling, tetapi dilakukan di lapangan. Pemain menggelindingkan bola yang berat, sedekat mungkin dengan bola jack (putih). Olahraga ini tidak menguras energi, tetapi menguras pikiran.
”Rasanya loyo kayak orang stres. Habis main, saya malah sulit tidur,” kata Damai.
Hal senada diungkapkan Julia. Ia merasa lebih capek bermain lawn bowls daripada saat berlomba lari. ”Kalau lari, capeknya sebentar. Selesai lari, pendinginan, lalu sudah capeknya ilang. Kalau lawn bowls, capeknya bertahan lama,” kata Julia.
Bagi Damai, Julia, dan Atul, prestasi sesungguhnya tak hanya saat meraih medali, tetapi juga ketika mereka bisa bangkit dari stigma sosial yang memandang disabilitas itu tidak bisa apa-apa. Melalui olahraga, mereka menyebarkan semangat untuk bangkit. (Lusiana Indriasari)