Di Asian Para Games, penonton mendukung tanpa membedakan siapa dan dari negara mana atlet yang bertanding. Penonton dan atlet dalam frekuensi yang sama, saling menginspirasi.
Lebih dari 20 menit, Fanni Nugroho (18) harus antre untuk menyaksikan pertandingan final basket kursi roda putra Asian Para Games 2018 antara Iran dan Jepang di Arena Basket Senayan, Jakarta, Sabtu (13/10/2018). Fanni dan empat temannya akhirnya bisa masuk dan menyaksikan laga pamungkas yang tinggal menyisakan kuarter keempat tersebut.
Selama satu kuarter tersisa itu, warga Jakarta Selatan tersebut tak henti terkagum dan selalu memberikan tepuk tangan meriah untuk setiap aksi pemain Iran dan Jepang, terutama kala mereka harus jatuh-bangun merebut dan memasukkan bola ke dalam keranjang.
”Mereka benar-benar hebat. Walaupun ada keterbatasan, terutama fisik, mereka tetap punya semangat juang luar biasa. Kita semua yang tergolong normal patut belajar banyak dari mereka. Saya kagum,” ujar Fanni.
Pada hari terakhir pertandingan basket kursi roda Asian Para Games 2018 itu, penonton berjubel untuk menyaksikan laga perebutan perunggu antara Korea Selatan dan China serta laga perebutan emas antara Iran dan Jepang.
Bahkan, walau hampir semua tempat duduk di arena basket berkapasitas sekitar 3.000 orang itu terisi, masih ada ratusan penonton lain yang tetap berusaha masuk ke dalam gedung itu.
Para penonton itu tak peduli siapa yang tanding, yang utama adalah menyaksikan keseruan pertandingan dan juga memetik inspirasi dari perjuangan para atlet disabilitas tersebut.
Bahkan, penonton Indonesia ada yang lebih dari sekali datang menyaksikan pertandingan walaupun tidak ada laga Indonesia. Contohnya Fanni. Seumur hidup ia pertama kali menyaksikan pertandingan basket kursi roda saat menonton laga perebutan peringkat ke-9 dan ke-10 antara Indonesia dan Malaysia pada Jumat (12/10).
Namun, walaupun Indonesia tidak main lagi pada hari pamungkas gelaran basket kursi roda, Fanni bersama teman-temannya kembali menonton laga. Bahkan, mereka rela mengeluarkan kocek lumayan besar untuk membeli tiket pertandingan final, yakni Rp 100.000 per orang. Lebih-lebih, mereka membeli tiket itu untuk nonton pertandingan yang bukan tim Indonesia.
”Saya memang tak fokus untuk menyaksikan Indonesia saja. Siapa pun yang main, saya mau nonton. Karena pertandingannya seru. Selain itu, saya juga terharu dan terkesan dengan aksi atlet-atlet disabilitas tersebut. Banyak hikmah yang saya petik, terutama kita tidak boleh cepat putus asa dengan hambatan yang kita hadapi,” kata Fanni.
Asian Para Games 2018 memang bukan sekadar ajang olahraga semata. Pesta olahraga atlet disabilitas Asia ketiga itu telah menjadi wadah pendidikan untuk masyarakat Indonesia yang notabene masih belum ramah dengan disabilitas. Hal itu pula yang menginspirasi banyak orangtua untuk membawa anak-anaknya menyaksikan laga-laga sejumlah cabang.
Langkah itu dilakukan Achmad Faisal (40) saat menyaksikan final basket kursi roda antara Iran dan Jepang. Ia datang bersama istri, Ria Achmad (38), dan dua anaknya, Rainara Azhar (8) serta Riza Sastranegara (6).
”Dengan menyaksikan laga-laga di sini, saya ingin memberikan pendidikan kepada kedua anak saya bahwa di dunia ini manusia penuh dengan perbedaan.
Namun, karena perbedaan itu, kita semua harus saling menghormati, saling menghargai. Ajang ini benar-benar jadi pendidikan yang bagus untuk anak-anak daripada sekadar nasihat. Sebab, anak-anak bisa melihat langsung faktanya di lapangan,” tutur Faisal.
Kehadiran para penonton yang selalu memberikan semangat sangat dihargai oleh para atlet disabilitas. Penonton mendukung secara fair tanpa menjatuhkan mental salah satu pihak di arena. Bahkan, di arena basket kursi roda, semua tim selalu memberikan hormat kepada penonton sehabis pertandingan.
Hal itu yang sangat dirasakan pemain basket kursi roda putra Indonesia, Danu Kuswantoro. Ia belum pernah merasa begitu dihargai selama ini. Baru ketika membela Indonesia di ajang Asian Para Games 2018, ia merasakan betapa sesungguhnya masyarakat Indonesia sangat mendukung mereka.
”Dukungan para penonton itu jadi kehormatan luar biasa. Kami merasa menjadi juara walau faktanya selalu kalah saat pertandingan. Bahkan, kami merasa sudah menjadi juara minimal untuk diri sendiri karena respek penonton itu,” ujar Danu. (ADRIAN FAJRIANSYAH)