JAKARTA, KOMPAS Sepuluh lifter andalan nasional dipersiapkan untuk bersaing di kelas baru pada Kejuaraan Dunia 2018 di Ashgabat, Turkmenistan, 1-10 November. Mereka dituntut beradaptasi cepat di kelas yang baru agar bisa bersaing di kejuaraan dunia yang masuk dalam kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 itu.
Lifter andalan Indonesia mengisi kelas baru di kejuaraan dunia berdasarkan keputusan Federasi Angkat Besi Internasional (IWF). Mereka itu terdiri dari lima lifter putra dan lima lifter putri. Tim putra terdiri dari Eko Yuli Irawan yang semula berlomba di kelas 62 kilogram akan mengisi kelas 61 kg, Surahmat naik kelas dari 56 kg menjadi 61 kg, Deni dari kelas 69 kg menjadi 67 kg, Triyatno naik kelas 69 kg menjadi 73 kg, dan lifter muda Rahmat Erwin Abdullah dari 77 kg menjadi 73 kg.
Sementara tim putri terdiri dari Yolanda Putri dan Sri Wahyuni Agustiani yang sebelumnya mengisi kelas 48 kg menjadi 49 kg, Syarah Anggraini naik kelas dari 53 kg menjadi 55 kg, Acchedya Jagaddhita dari 58 kg naik ke 59 kg, serta Nurul Akmal dari +75 kg menjadi +87 kg. Tim didampingi manajer Sonny Kasiran, pelatih Dirdja Wihardja, Erwin Abdullah Daming, Muhammad Rusli, Supeni, dan ahli fisioterapi Bayu Nusa.
Deni bersyukur bisa mengisi kelas 67 kg. Ia juga tidak perlu lagi bersaing dengan Triyatno untuk mengamankan tiket ke Olimpiade karena keduanya mengisi kelas berbeda.
”Bisa dibilang sebenarnya itu kelas ideal saya. Sehari-hari saya berlatih dengan berat badan 67-68 kg, jadi tidak perlu diet. Dengan postur tubuh yang saya miliki, saya malah kesulitan kalau harus naik berat badan ke 73 kg,” ujar Deni, Senin (15/10/2018).
Bagi Surahmat, kenaikan kelas itu membawa konsekuensi harus berpacu meningkatkan jumlah angkatan. Dari pengalamannya, dibutuhkan waktu setahun untuk penyesuaian diri dengan kelas yang baru. ”Masalahnya, naiknya berat badan tidak serta-merta menaikkan jumlah angkatan. Saya harus berjuang agar lemak di tubuh bisa menjadi otot sehingga angkatan meningkat,” ujarnya.
Sementara itu, Eko yang bersaing dengan Surahmat di kelas 61 kg mulai menurunkan berat badannya yang kini mencapai 65 kg. Ia menjalani diet dengan mengurangi porsi makan. Setiap pagi, Eko menyantap 10 telur putih rebus dan segelas susu rendah lemak.
Siangnya, dia menikmati sayuran dan protein hewani. Eko jarang makan malam. Sebagai gantinya, peraih medali emas Asian Games 2018 ini minum cairan nutrisi. Selain menjalani diet, Eko juga mengurangi berat badan dengan sauna dan berlatih.
Eko yakin bisa menurunkan berat badan sesuai kategori lomba karena program yang sama pernah dijalani saat jelang Asian Games. Tantangannya, penurunan berat badan ini tidak boleh memengaruhi angkatan atau mengganggu kesehatan fisiknya.
Pertimbangan persaingan
Sonny menjelaskan, atlet dimasukkan di kelas baru dengan mempertimbangkan kondisi dan karakteristik fisik atlet serta persaingan di tingkat dunia. Ia mencontohkan perubahan kelas untuk Eko tidak terlalu jauh, dari 62 kg menjadi 61 kg.
”Kalau Eko pindah ke kelas yang lebih tinggi, lawan akan lebih berat. Selain itu, postur tubuh Eko lebih cocok ke kelas yang lebih ringan,” ujar Sonny.
Untuk lolos Olimpiade, setiap lifter harus mengikuti minimal enam kejuaraan internasional dalam waktu 18 bulan. Atlet harus mengikuti setidaknya satu kompetisi dalam setiap periode kualifikasi, yang terdiri dari 1 November 2018-30 April 2019, 1 Mei-1 Oktober 2019, dan 1 November 2019-30 April 2020. Poin pada setiap hasil perlombaan, termasuk pada kejuaraan dunia dan kejuaraan Asia, nantinya akan diakumulasi.
Pengumpulan poin untuk kualifikasi Olimpiade bersifat individu sehingga setiap atlet dituntut kompetitif. Sesama atlet nasional di kelas yang sama juga bersaing karena setiap negara hanya bisa mengirimkan satu atlet dari setiap kelas dengan maksimal empat atlet putra dan empat atlet putri per negara.
Untuk meraih tiket Olimpiade, lifter Indonesia harus menembus peringkat lima Asia atau delapan besar dunia. ”Bagi kami yang penting sekarang masuk peringkat delapan besar dulu. Kami tidak menargetkan emas karena setelah Asian Games 2018, jumlah angkatan atlet belum pulih,” kata Sonny.
Di luar proses adaptasi, ia juga dihadapkan pada tantangan keterbatasan anggaran untuk mengikuti rangkaian kejuaraan IWF. Sonny berharap pemerintah memberikan dukungan untuk kebutuhan jangka panjang ke Olimpiade Tokyo. (DNA)