Puru ajal yang diderita Muhammad Kamil (32), antara lain di tulang belakang dan paru-paru, tak membuatnya menyerah. Ia terus berlari untuk melawan si tumor ganas.
Di antara lima operasi dalam sepuluh tahun terakhir dan berbagai metode penyembuhan dari kanker, Kamil tetap menjalani olahraga lari. Setiap meter ditekuni sampai akhirnya menerobos ke lomba-lomba lari. Tahun lalu, sebelum pengangkatan tumor diafragma dan paru-paru, serta penyangga tulang leher, Kamil sukses menyelesaikan maraton.
”Secara medis, sejak Mei 2018, saya dinyatakan sembuh dari kanker. Sebulan kemudian saya mempersiapkan diri untuk maraton kedua, yakni Borobudur Marathon (18 November 2018, di Magelang, Jawa Tengah),” ujar Kamil dalam testimoni seusai lari bareng 5 kilometer untuk mempromosikan Borobudur Marathon, Sabtu (20/10/2018), di lapangan tenis Java Paragon Hotel & Residence, Surabaya, Jawa Timur.
Menyelesaikan lari 5 kilometer, Kamil bukan yang terdepan dengan waktu 26 menit. Namun, ia juga bukan yang finis terakhir. ”Saya menikmati setiap kilometernya,” katanya.
Kenikmatan berlari juga dirasakan Ari Nugroho (47). Ia bahkan menjadikan olahraga lari sebagai ”terapi” untuk sakit gula atau diabetes yang dideritanya.
Sejak enam bulan lalu, seusai shalat Subuh, Ari mendedikasikan waktu untuk berlari. Mulai 1 kilometer, 2 kilometer, hingga saat ini mampu 5 kilometer untuk sekali latihan. Dalam seminggu, Ari berlari tiga kali dan diselingi renang sekali dengan porsi 1.000 meter.
”(Hasilnya) Sejak dua bulan lalu, saya diperkenankan lepas dari insulin,” kata Ari. Memang, bukan berarti ia sudah lepas dari diabetes, melainkan ada progres positif dalam kesehatan tubuhnya.
Amelia Callista, pendiri komunitas olahraga Girls To Go, membingkai kesaksian itu dan merasa bahwa para penyintas adalah juara kehidupan. Dalam ajang lari, terutama Borobudur Marathon, menjadi juara bukan berarti seperti atlet pemenang yang berdiri di podium.
”Mengalahkan diri sendiri dengan catatan waktu lebih baik itu juga juara,” katanya.
Hal senada diutarakan Layla Basori, pelari trail. Ia berlari sejak tiga tahun lalu. Setahun berlari di jalan, Layla mencoba jalur alam atau trail. Pada awalnya, Layla fobia atau takut ketinggian. Namun, setelah menyelesaikan lomba trail di Bromo-Tengger-Semeru, kecemasan itu bisa diatasinya.
”Dari ketinggian terlihat betapa indah alam kita. Rasa takut hilang dan kini malah ketagihan berlari di ketinggian,” katanya.
Rian Krisna, praktisi lari, menambahkan, setiap ajang lari sesungguhnya adalah pelajaran hidup tentang diri sendiri. Misalnya, jika belum lama berlari, amat disarankan tidak masuk lomba maraton. Untuk lari panjang seperti ini, sebaiknya minimal mengikuti empat kali lomba lari 5 kilometer, lalu empat kali 10 kilometer, dan empat kali separuh maraton. (BRO)