Dua tahun menuju Olimpiade Tokyo 2020 menjadi momentum penting bagi dunia angkat besi. Demi lolos, lifter harus menembus babak kualifikasi dengan sistem baru.
JAKARTA, KOMPAS Perjuangan panjang lifter menuju Olimpiade Tokyo 2020 dimulai pekan depan pada Kejuaraan Dunia Angkat Besi IWF 2018. Kejuaraan di Ashgabat, Turkmenistan, pada 1-10 November itu sudah menerapkan sistem dan kategori baru.
Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) bekerja sama dengan Federasi Angkat Besi Amerika Setikat (USAW) dan Badan Anti-Doping Amerika Serikat (USADA) akan menerapkan sistem antidoping secara daring untuk pertama kali di ajang ini demi memastikan kompetisi adil.
Untuk pertama kali pula, kategori lomba baru sesuai dengan hasil ratifikasi IWF, pada 6 Juli 2017, akan diterapkan pada Kejuaraan Dunia. Kategori lomba yang baru terdiri dari 10 kategori putra dan 10 kategori putri. Dari jumlah tersebut, 7 kategori putra dan 7 kategori putri akan dipakai pada Olimpiade 2020.
Kejuaraan Dunia 2018 juga menawarkan persaingan yang lebih sengit karena sembilan negara yang sejak September 2017 mendapatkan larangan berlomba karena kasus doping, termasuk China, Rusia, dan Kazakhstan, sudah bisa tampil.
Lifter China yang absen pada Kejuaraan Dunia 2017 karena doping akan tampil. Di kelas putra 67 kg, misalnya, akan diisi dua lifter China, salah satunya pemegang gelar juara dunia 2013 dan 2015, Chen Lijun.
Ini tantangan bagi lifter Indonesia, Deni, yang mengisi kelas 67 kg. Dia juga akan bersaing dengan lawan tangguh, seperti Doston Yokubov (Uzbekistan), pemegang gelar juara dunia 2017 yang sebelumnya mengisi kelas 69 kg, dan peraih medali emas 62 kg Olimpiade Rio 2016, Figueroa Mosquera Oscar Albeiro dari Kolombia.
Terkejut
Lifter Inggris, peraih medali emas Commonwealth Games 2018, Emily Muskett, terkejut dengan perubahan drastis pada angkat besi. ”Saya pikir itu akan mengakibatkan kegemparan,” ujarnya kepada BBC Sport.
Sebelumnya, Muskett adalah lifter kelas 69 kg putri. Dengan ada perubahan kategori lomba, Muskett punya dua pilihan, yaitu menurunkan berat badan agar dapat bersaing di kelas 64 kg atau meningkatkan berat badan untuk mengisi kelas 76 kg.
Kejuaraan Dunia juga akan memainkan kelas 71 kg. Namun, bagi lifter yang mengincar Olimpiade 2020, seperti Muskett, kategori itu tidak terlalu menarik karena 71 kg tidak dimainkan di Tokyo. ”Sekarang saya terjebak di tengah,” katanya.
Menurut Muskett, IWF seharusnya lebih banyak melibatkan atlet dalam pengambilan keputusan. Muskett mendukung usaha IWF memastikan kompetisi adil. Selanjutnya, dia berharap para petinggi IWF bisa memastikan angkat besi dimainkan pada Olimpiade Paris 2024.
Kualifikasi
Perubahan lain di cabang angkat besi adalah sistem kualifikasi menuju Tokyo 2020. Dalam sistem kualifikasi ini, setiap atlet harus mengikuti setidaknya enam kejuaraan yang terbagi dalam tiga periode waktu kualifikasi selama 18 bulan.
Poin kualifikasi pada setiap kejuaraan akan diakumulasi. Hanya 98 atlet putra dan 98 atlet putri yang bisa bersaing di Tokyo 2020. Tiap kategori lomba hanya bisa diisi 14 atlet dengan kriteria menempati posisi delapan besar dunia atau lima besar di kejuaraan tingkat benua.
Bagi tim angkat besi Indonesia, perubahan sistem menuju Tokyo 2020 ini menjadi peluang sekaligus tantangan. ”Kami melihat ini jadi peluang karena selama ini jumlah angkatan lawan sering tidak terpantau.
Mereka yang mengikuti babak kualifikasi bisa saja orang yang berbeda dengan mereka yang tampil di Olimpiade,” ujar pelatih kepala tim angkat besi Indonesia, Dirdja Wihardja.
Dirdja merujuk pada Olimpiade Rio 2016, di mana setiap negara menentukan atlet yang akan tampil sesuai kuota yang diperoleh. Untuk Tokyo 2020, kualifikasi langsung per atlet melalui peringkat.
Dengan adanya aturan setiap lifter wajib mengikuti minimal enam kejuaraan, tim ”Merah Putih” jadi bisa mengukur kekuatan lawan.
Namun, aturan jumlah kejuaraan juga menjadi tantangan bagi lifter Indonesia. Berdasarkan pengalaman, atlet Indonesia biasanya hanya mengikuti satu hingga dua kejuaraan per tahun karena keterbatasan anggaran. (DNA)