”El Clasico”, Konfrontasi Sepanjang Hayat
Estadio Da Luz Lisbon, 4 Juli 2004. Final Piala Eropa antara tuan rumah Portugal dan Yunani. Saya duduk di bagian tengah tribune utama yang hanya dibatasi pagar serat kaca bening setinggi pinggang orang dewasa dengan garis pinggir lapangan.
Dari sebuah sudut dekat pembatas tersebut, tiba-tiba seorang pemuda dengan kupluk merah melompati pagar dan berlari ke arah Luis Figo, kapten Portugal. Sejumlah petugas lapangan mencoba mengejar pemuda nekat tersebut yang akhirnya berhasil mendekati Figo dan langsung melemparkan bendera klub Barcelona yang mengenai wajah gelandang elegan tersebut. Wasit menghentikan laga dan pemuda itu digelandang ke luar lapangan.
Insiden tersebut tak banyak mendapat sorotan media karena lebih fokus pada kesedihan rakyat Portugal. Esok paginya, halaman utama surat-surat kabar dipenuhi dengan berita kalahnya Portugal 0-1 oleh Yunani yang secara mengejutkan tampil sebagai juara Eropa. Televisi dan koran-koran lokal meratapi kegagalan ”Selecao” yang favorit juara dengan skuad terbaik era ”generasi emas” pimpinan Figo.
Meski tidak mencuat sebagai momen yang menghebohkan di Euro 2004, insiden pelemparan bendera klub Barcelona ke wajah Figo itu adalah salah satu tonggak rivalitas paling pahit dalam sejarah sepak bola modern di antara dua klub utama Spanyol, Real Madrid dan Barcelona. Bagi pendukung Barca, sebutan populer Barcelona FC, Luis Figo adalah pengkhianat yang kemudian menjadi lambang kebencian klub kebanggaan dan ikon Catalonia tersebut terhadap ”kekuasaan sentral” yang direpresentasikan oleh klub Real Madrid.
Figo datang ke Camp Nou pada 1995 setelah tampil gemilang bersama Sporting Lisbon dan membawa Portugal memenangi gelar juara dunia U-20. Meski hanya bermain selama lima musim (sampai 2000), dia sejatinya sangat dicintai publik Catalonia dan fans Barcelona terutama oleh kelompok garis kerasnya yang menyebut diri mereka ”Boixos Nois”.
Saat mendengar kabar bahwa yang membeli Figo adalah rival bebuyutan Real Madrid, patah hati berubah menjadi kemarahan.
Namun, pada Juli 2000, hati fans Barca remuk redam mendengar kabar Figo dijual dengan harga fantastik 56 juta dollar AS (kala itu rekor dunia transfer pemain). Saat mendengar kabar bahwa yang membeli Figo adalah rival bebuyutan Real Madrid, patah hati berubah menjadi kemarahan. Seperti kata pepatah, ”satu-satunya manusia yang bisa menyakiti kita amat dalam adalah orang yang kita cintai”, seperti itu pulalah perasaan fans Barca pada Figo.
Dari idola menjadi pengkhianat yang tak termaafkan. Dua tahun sebelum insiden di Estadio Da Luz, pada laga el clasico di Camp Nou, 23 November 2002, Figo sedang berancang-ancang mengambil sepak pojok. Tiba-tiba dari sudut kurva yang ditempati kelompok ”Boixos Nois” terlontar sebongkah kepala babi dan mendarat dekat kakinya.
Tak lama kemudian pemain kelahiran Almada tersebut harus dievakuasi ke luar lapangan karena dia dihujani lemparan botol, pemantik api, dan kaleng minuman. El clasico ini berubah menjadi kerusuhan dan wasit menghentikan laga selama 16 menit sebelum bisa dimulai kembali.
Pengkhianat besar bagi Barcelona, pahlawan bagi Real Madrid. Bagi fans ”Los Merengues”, Luis Figo adalah sosok pengganti Alfredo di Stefano, salah satu tokoh sentral pada awal rivalitas sepak bola paling terkenal sejagat raya yang populer dengan sebutan el clasico tersebut. El clasico sendiri telah berlangsung hampir satu abad dan merupakan salah satu rivalitas yang paling rumit dan kompleks dalam sejarah olahraga karena bercampur aduk dengan unsur politik, separatisme, pemberontakan, dan penyalahgunaan kekuasaan negara.
Mereka saling membenci satu sama lain dengan intensitas yang sungguh mengguncang orang luar.
Phil Ball, penulis buku Morbo: The Story of Spanish Football (2011), mengungkapkan, rivalitas pahit el clasico hanya bisa diungkapkan dengan kalimat: ”mereka saling membenci satu sama lain dengan intensitas yang sungguh mengguncang orang luar”.
Dipicu persaingan wilayah
Dengan bahasa yang mengalir jernih, Ball menuliskan risetnya tentang sejarah pahit el clasico yang dimulai sejak era ideologi politik Falangist dengan aktor utamanya Jenderal Francisco Franco meski akarnya jauh telah meresap ke dalam kebudayaan Spanyol sejak dahulu kala. Menurut Ball, akar dari rivalitas ini adalah persaingan wilayah yang dipicu oleh kebijakan sentralisasi pemerintahan Spanyol.
”(Kota) Madrid dibangun dan dipertahankan sebagai pusat sentralisasi, secara fisik berada di tengah-tengah daratan Spanyol. Kota ini tak punya pelabuhan, bukan di pertemuan dua sungai, mendidih di musim panas, membeku di musim dingin,” tulis Ball.
Oleh karena itu, kemudian bisa dimengerti jika kewilayahan kemudian menjadi dasar persaingan klub-klub sepak bola di seluruh Spanyol. Persaingan kewilayahan kemudian memasuki fase paling keras selepas berakhirnya Perang Sipil pada 1939 dan berkuasanya kelompok Nasionalis di bawah pimpinan Jenderal Franco. Diktator dengan julukan ”El Generalisimo” tersebut berusaha mempersatukan kembali negeri Spanyol yang terpecah dengan cara brutal lewat intimidasi bahkan pembunuhan kaum anti-nasionalis.
Gerakan separatisme yang kemudian muncul di sejumlah wilayah, utamanya Basque dan Catalonia, merupakan duri dalam daging bagi Franco. Catalonia adalah wilayah yang paling aktif dengan gerakan separatisme ini dan klub Barcelona menjadi salah satu tulang punggung gerakan ini, sampai sekarang.
Pada saat bersamaan, sepak bola juga telah menjadi ujung tombak ekspresi budaya wilayah, sementara Franco menunggangi sepak bola sebagai propaganda rezim kekuasaannya. Dia kemudian menyadari klub Barcelona harus dihentikan perannya sebagai simbol dan kebanggaan Catalonia dengan menjadi pendukung Real Madrid. Franco bukanlah penyuka apalagi penikmat sepak bola, tetapi dia dengan culas menyadari Real Madrid bisa dipakai sebagai kendaraan untuk memuluskan perjalanan rezimnya.
Ball mengungkapkan, sejarah membuktikan bahwa Franco melakukan intervensi sistematik terhadap sepak bola Spanyol. Salah satu yang fenomenal adalah dia melarang penggunaan bahasa lokal. Khusus kepada klub Catalonia, FC Barcelona diharuskan menggunakan singkatan Spanyol menjadi Barcelona CF. Meski terasa sepele, Franco secara simbolis telah menyatakan masyarakat etnis Catalonia tidak diterima dalam tata kemasyarakatan negara Spanyol di bawah rezimnya.
Salah satu intervensi Franco yang paling fenomenal adalah saat Real Madrid mendatangkan Alfredo di Stefano. Kala itu, Di Stefano sebenarnya juga diminati Barcelona, bahkan klub Catalonia itu telah melakukan pendekatan lebih dulu. Namun, Franco ”main mata” dengan pemandu bakat Barca, Josep Samiter, yang punya hubungan spesial dengan Franco dalam urusan perempuan dan gaya hidup.
Bersama Real Madrid, Di Stefano menikmati masa kejayaannya dengan mencetak 226 gol, merengkuh delapan gelar liga, lima gelar Eropa dan sejumlah gelar lain.
Perbandingan Gelar dan Piala
Kompetisi | Real Madrid | Barcelona |
La Liga | 33 | 25 |
Copa del Rey | 19 | 30 |
Supercopa de Espana | 10 | 13 |
Champions League | 13 | 5 |
UEFA Cup Winners\' Cup | 0 | 4 |
Europa League | 2 | 0 |
UEFA Super Cup | 4 | 5 |
Club World Cup | 3 | 3 |
Total | 84 | 85 |
Lewat tangan kekuasaan Franco pulalah, Di Stefano (yang sebelumnya berkewarganegaraan Argentina dan Kolombia) akhirnya mendapat kewarganegaraan Spanyol. Tidak sampai di sana, Franco juga memberikan status warga negara Spanyol kepada pemain Ceko, Kubala, dan pemain Hongaria, Ferenc Puskas, untuk memastikan Real Madrid tetap mendominasi persepakbolaan Spanyol.
Konfrontasi selamanya
Lebih lanjut Ball melukiskan betapa bahkan setelah era Franco, rivalitas antara Real Madrid dan Barcelona selalu sulit dijelaskan dengan kata dan kalimat. Dalam enam dekade terakhir, pertemuan di antara dua tim ini, dalam kompetisi apa pun, selalu diwarnai hal-hal spesial dengan aroma saling membenci yang tercium tajam.
Meski demikian, di antara dua klub dengan reputasi paling moncer di muka Bumi ini punya perbedaan yang sangat dalam jika menilik sejarah dan tradisinya. El Real adalah klub yang dibangun dengan tradisi kekuasaan pusat yang pongah dan fondasi keuangan yang bermantra: ”pendapatan dan keuntungan finansial sama pentingnya dengan prestasi dan gelar juara”. Real Madrid membangun akademi yunior dengan prinsip ”siapa terbaik bisa bertahan”, bukan membuat si lemah menjadi kuat dan menjadi penyintas.
Barcelona berada pada ekstrem yang berbeda. Dibangun memang dengan cita-cita dan semangat perlawanan terhadap kekuasaan pusat (Madrid). Berbeda dengan El Real, Barcelona dibangun dengan fondasi pengelolaan keuangan yang unik dan menyertakan kelompok pendukung dalam aktivitas finansial. Akademi Barcelona juga berlandaskan pada pengembangan bakat dan melahirkan bintang dari sumber daya yang tadinya ”bukan siapa-siapa”.
Ciri khas unik Barcelona dalam pengembangan pemain menemukan momentumnya pada dekade 1960-an di era Johan Cruyff yang punya filosofi ”total football” dan memercayakan kekuatan timnya pada pilar-pilar muda yang mereka lahirkan dari akademi.
Pada 1988, Cruyff kembali ke Camp Nou sebagai manajer dan mencatatkan tinta emas sebagai era paling gemilang bersama ”The Dream Team”-nya dengan merebut empat gelar liga dan membawa Barcelona untuk pertama kalinya merebut gelar Eropa.
Cryuff juga melahirkan sejumlah bintang yang di kemudian hari menjadi pilar-pilar kesuksesan klub maupun negara di mana mereka berada. Di antaranya Ronald Koeman, Romario Faria, dan Pep Guardiola.
Hari Minggu (28/10/2018) mendatang, el clasico kembali hadir. Inilah pertemuan ke-178 di antara dua klub hebat Spanyol tersebut di ajang La Liga, yang selalu akan menjadi tonggak penting. Di semua kompetisi, mereka akan bertemu untuk ke-239 kalinya. Pada bentrokan terakhir di Camp Nou, mereka bermain imbang 2-2 dalam salah satu laga paling fenomenal. Barca gagal mengulang penampilan bernas mereka pada laga tandang di Bernabeu saat mereka membekap tuan rumah tiga gol tanpa balas.
”Head to Head” Sepanjang Sejarah
Kompetisi | Jumlah Laga | Madrid Menang | Barca Menang | Imbang |
La Liga | 177 | 72 | 70 | 35 |
Copa del Rey | 34 | 12 | 15 | 7 |
Champions League | 8 | 3 | 2 | 3 |
Kompetisi Lain | 20 | 8 | 6 | 6 |
Total | 238 | 95 | 93 | 50 |
Dalam head to head kedua tim, di La Liga, Madrid masih sedikit lebih unggul sementara Barca unggul di Copa del Rey. Barcelona mengalami banyak kemajuan dalam perseteruan dengan Madrid saat Pep Guardiola—yang merupakan anak didik langsung dari Cruyff dalam taktik dan strategi—memegang kendali pada musim panas 2008.
Di tangan Pep, Barca memenangi 12 laga el clasico, empat imbang dan empat kalah. Leo Messi dan kawan-kawan juga memenangi semifinal Liga Champions 2010-2011 melawan Madrid, kala pertama kedua tim bertemu di kompetisi akbar tersebut sejak 2002.
Di Camp Nou hari Minggu mendatang, Barcelona kehilangan jimat mereka, Messi, yang cedera tangan dan harus istirahat tiga pekan. Sementara Real Madrid untuk pertama kali dalam beberapa musim terakhir bertanding tanpa Cristiano Ronaldo (pindah ke Juventus) dan mengalami pekan terburuk dalam 17 musim terakhir.