Kuncinya Akuntabilitas
Kemampuan cabang olahraga mengelola anggaran dengan transparan dan sesuai rencana menjadi modal dasar untuk mendapatkan kepercayaan calon sponsor.
JAKARTA, KOMPAS Kementerian Pemuda dan Olahraga mendorong cabang-cabang olahraga memperbaiki akuntabilitas penggunaan anggaran supaya rencana program bapak angkat bisa berjalan.
Program sponsor pemusatan latihan nasional itu akan melibatkan badan usaha milik negara dan perusahaan swasta, yang menuntut pengelolaan anggaran yang akuntabel.
Berkaca dari pengalaman pada 2011-2014, perusahaan yang menjadi bapak angkat kehilangan kepercayaan pada cabang dan menghentikan dukungan karena tidak ada laporan penggunaan dana.
Padahal, kehadiran perusahaan bapak angkat mewujudkan rencana cabang olahraga untuk pemusatan latihan dan uji tanding di luar negeri.
”Ide bapak angkat dulu muncul karena keterbatasan anggaran saat kita menjadi tuan rumah SEA Games 2011. Jadi, Menteri Pemuda dan Olahraga dan Menteri BUMN membuat kesepakatan yang mengajak perusahaan BUMN membantu,” kata pengamat olahraga Djoko Pekik Irianto saat dihubungi dari Jakarta, Senin (12/11/2018).
Djoko yang kala itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris Kemenpora mengatakan, perusahaan menarik diri karena tidak ada akuntabilitas dari cabang. Dalam kerja sama bilateral antara Menpora dan Menteri BUMN, tidak ada aturan penyerahan laporan akuntabilitas penggunaan dana dari cabang.
”Saat program bapak angkat jalan, perusahaan mulai mempertanyakan akuntabilitas dari cabang. Karena memang tidak diatur, mereka mulai kehilangan kepercayaan,” ujar Djoko.
Kondisi itu dipersulit dengan kerja sama yang bersifat jangka pendek. Dalam kerja sama itu, perusahaan BUMN tidak diminta untuk terus membantu cabang setelah SEA Games berakhir. Akibatnya, hanya beberapa perusahaan yang bertahan hingga akhirnya hilang total pada 2014.
Untuk itu, Djoko mengusulkan, Kemenpora menyiapkan mekanisme untuk memastikan akuntabilitas cabang. Mekanisme itu harus dalam bentuk perjanjian antara Kemenpora, Kementerian BUMN, dan perwakilan pengurus cabang. “Juga tidak perlu ada jangka waktu. Fokusnya ke pembinaan olahraga, bukan hanya SEA Games 2019 atau Olimpiade Tokyo 2020,” lanjutnya.
Di sisi lain, skema bapak angkat pada 2011 menghadirkan dilema bagi cabang kecil yang tidak populer. Kala itu, perusahaan BUMN diperbolehkan memilih sendiri cabang yang akan dibantu. Alhasil terjadi ketimpangan bantuan karena perusahaan cenderung mencari olahraga populer yang memiliki sorotan publik lebih besar.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Kurash Indonesia (PBKI) Lukman Husain menuturkan, skema bapak angkat harus memperhatikan cabang olahraga yang kurang populer seperti kurash. “Kalau yang dikasih dana besar hanya cabang seperti bulu tangkis, cabang seperti kami ya tidak akan maju,” pungkasnya.
PBKI sangat membutuhkan bantuan dari bapak angkat untuk berprestasi di SEA Games 2019. Sebab, mereka tidak akan menjadi cabang prioritas pada tahun depan. Adapun, pada Asian Games 2018, PBKI hanya mendapat alokasi Rp 4,5 miliar dari permintaan awal Rp 17,5 miliar. Namun dengan dana terbatas mereka mampu meraih satu perunggu.
Kepercayaan sponsor
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto, kemarin, mengatakan, Kemenpora sedang berusaha membangun lagi kepercayaan BUMN ataupun swasta agar bersedia kembali membantu pelatnas.
Pemerintah mendorong cabang untuk lebih akuntabel. Kemenpora akan menerbitkan petunjuk teknis ketat, antara lain berisi apresiasi dan sanksi dalam penggunaan anggaran.
”Cabang yang bisa menggunakan anggaran dengan akuntabel dan punya prestasi baik tidak tertutup kemungkinan dukungan anggarannya ditingkatkan.
Sebaliknya, cabang yang tidak akuntabel dan prestasi buruk tidak tertutup kemungkinan dukungan anggarannya dikurangi hingga dihentikan,” ujar Gatot.
Menurut Gatot, saat ini sebagian besar cabang masih buruk dalam pelaporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
Berdasarkan survei Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada sampel delapan cabang mengenai penggunaan anggaran tahap pertama (sebesar 70 persen) pada Maret 2018, hanya satu cabang yang laporannya sudah baik, yakni Pengurus Pusat Federasi Panjat Tebing Indonesia (PP FPTI).
Tujuh cabang masih tak akuntabel karena penggunaan anggaran mereka tak sesuai antara proposal saat pengajuan anggaran dan pelaksanaannya.
Contoh, ada anggaran untuk ikut kejuaraan A justru dipakai ikut kejuaraan B. Ada pula anggaran untuk ikut kejuaraan justru tak dipakai dan dialihkan buat keperluan lain.
”Hal seperti itu tidak boleh terjadi lagi saat mendapatkan anggaran dari BUMN ataupun swasta. Itu karena kalau ada satu saja kasus seperti itu, kepercayaan sponsor akan hilang. Imbasnya tak hanya pada satu cabang, tetapi juga bisa ke semua cabang,” ujar Gatot.
Oleh karena itu, Kemenpora tidak sembarang dalam meminta bantuan BUMN ataupun swasta. Mereka akan memastikan ada timbal balik kepada sponsor, antara lain cabang bisa berprestasi dan turut mempromosikan merek dagang sponsor terkait.
Untuk itu, nantinya, Kemenpora memfokuskan dulu atlet atau nomor pertandingan yang berprestasi untuk dapat bantuan BUMN ataupun swasta. Acuannya adalah prestasi atlet atau nomor pertandingan itu di Asian Games/Asian Para Games 2018.
Adapun dana dari BUMN ataupun swasta diprioritaskan untuk membantu atlet atau nomor pertandingan mengikuti rangkaian pertandingan untuk lolos ke Olimpiade 2020. ”Nantinya, anggaran Kemenpora bisa difokuskan untuk pengembangan atlet pelapis agar lebih berprestasi di SEA Games 2019 dan ASEAN Para Games 2020,” tutur Gatot.
Gatot menyampaikan, proses pendekatan hingga mendapatkan kepastian dukungan BUMN ataupun swasta paling cepat sekitar dua bulan. ”Kami optimistis BUMN ataupun swasta mau mendukung kami. Sebab, kepercayaan mereka kepada dunia olahraga nasional sudah muncul kembali seiring prestasi yang cukup baik diraih Indonesia saat Asian Games/Asian Para Games lalu,” ujarnya.
FPTI kompeten
Ketua II Bidang Pembinaan Kompetisi dan Prestasi PP FPTI Wahyu Pristiawan mengutarakan, sejatinya, mewujudkan cabang yang akuntabel bukan hanya kewajiban cabang melainkan juga Kemenpora. Dalam artian, Kemenpora harus tegas dan perhatian kepada cabang.
Sudah jadi rahasia umum, banyak cabang tak jujur dalam membuat proposal pengajuan anggaran. Indikasinya, di proposal, mereka nyatakan sanggup memberikan prestasi. Faktanya, rekam jejak prestasi mereka maupun kondisi atletnya tidak memungkinkan untuk meraih target di proposal.
Tak pelak, sering kali, penggunaan anggaran tersebut tak sesuai antara yang ada di proposal dengan yang diimplementasikan. ”Hal itu terjadi juga karena mereka tidak punya perencanaan yang matang. Kemenpora juga sering kali tidak mendampingi cabang-cabang seperti itu,” ujarnya.
PP FPTI memang sudah merancang program pembinaan jangka panjang sejak awal 2017 atau ketika akan memulai pelatnas pada Februari 2017. Untuk itu, ketika Satlak Prima dibubarkan dan cabang akan menerima langsung dana pelatnas sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional, mereka sudah siap untuk membuat proposal yang jelas dan rinci.
”Pembuatan proposal itu juga harus dilakukan dengan perencanaan matang oleh orang-orang yang kompeten,” kata Wahyu.
Dia menceritakan, pembuatan proposal PP FPTI atas rancangan pelatih kepala Caly Setiawan yang lulusan S3 sains dari Universitas Colorado, Amerika Serikat. Caly dibantu oleh staf manajer, asisten manajer, pelatih, dan asisten pelatih di FPTI. Kini, cabang panjat tebing pun usah siap menyambut program bapak angkat.