Lari Sesuai Batas Diri
Latihan bertahap untuk mempersiapkan diri mengikuti lomba lari menjadi syarat mutlak supaya pelari bisa mendapat manfaat positif dari olahraga itu. Pelari pantang memaksa diri.
MAGELANG, KOMPAS Olahraga lari memang terkesan sederhana. Namun, tanpa persiapan matang, lari bisa memicu risiko cedera parah. Untuk itu, pelari patut menyadari batas kemampuan diri dan tidak memaksakan ego menyelesaikan rute lomba apabila tubuh telah memberikan sinyal tanda tak mampu.
Pelatih sekaligus pegiat lari asal Jakarta, Riefa Istamar, mengatakan, lari sejatinya olahraga hobi. Tujuan melaksanakan hobi adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Untuk itu, patutnya setiap pelari berprinsip ”lari cantik” alias berlari dengan bahagia saat finis ataupun tidak finis.
”Dengan begitu, orang tersebut bisa mendapatkan manfaat lari dengan optimal,” ujar Riefa dalam acara Bincang Komunitas Lari Menjelang Borobudur Marathon 2018 di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (15/11/2018).
Sebaliknya, pelari dilarang keras memaksa diri, baik memaksa ingin cepat melebihi kecepatan rata-ratanya maupun memaksa finis. Jika hal itu dilakukan, lari yang dilakukan justru akan menyiksa diri.
Dampaknya, diri tidak bahagia saat lari ataupun saat finis. Yang ada, tubuh terlalu lelah. Kondisi itu sangat berbahaya bagi pelari. ”Tak tertutup kemungkinan hal itu bisa memicu cedera, bahkan dampak lebih fatal,” kata Riefa.
Berlari tanpa bahagia seperti itu, menurut Komite Penyelenggara Borobudur Marathon 2018 Agus Hermawan, mengindikasikan ada yang salah pada si pelari. Kesalahan karena kurang latihan ataupun pemanasan.
”Tanpa persiapan matang, tubuh pasti tak akan sanggup. Kalau dipaksa, tentu hasilnya bisa berdampak parah,” kata pelari yang pernah finis di Tokyo Marathon (Jepang), Berlin Marathon (Jerman), dan Gold Coast Marathon (Australia) itu.
Agar tubuh sanggup menuntaskan lari, lanjut Agus, pelari perlu melakukan persiapan yang tidak singkat. Apalagi, saat akan mengikuti lomba lari jarak jauh, seperti 10K, setengah maraton, dan maraton (42,195 kilometer).
Prinsipnya, pelari tidak boleh memaksa diri untuk ikut 10K, setengah maraton, ataupun maraton apabila latihannya belum mencukupi.
Pelari perlu mempersiapkan diri secara bertahap sesuai program latihan untuk kategori lomba yang akan diikuti. Untuk ikut lari setengah maraton ataupun maraton, misalnya, pelari butuh waktu berlatih minimal 12-16 pekan (3-4 bulan) menjelang kejuaraan.
Latihan sedikitnya 3-5 kali dalam sepekan. Jarak lari yang harus ditempuh saat persiapan sekitar 30-40 kilometer per pekan.
Itu pun tidak melulu latihan lari dengan berbagai variasi interval atau tempo, melainkan juga dibarengi latihan kekuatan dan daya tahan. Di samping itu, pelari juga butuh asupan nutrisi yang bagus dan istirahat yang cukup, tidur 7-8 jam.
Sebagai pelari rekreasi, hal itu memang tidak mudah, tetapi harus tetap dijalani. ”Itu tak gampang, apalagi mereka yang tinggal di pinggiran Jakarta dan kerja di Ibu Kota, yang berangkat subuh pulang malam, misalnya,” ujar Agus.
Sadar diri
Prinsip dasar berlari dengan persiapan dan tanpa memaksa diri itu diterapkan oleh Vina Basyuni (31), peserta kategori maraton pada Borobudur Marathon 2018 yang akan berlangsung hari Minggu (18/11). Tahun lalu, pada keikutsertaan pertama di Borobudur Marathon, pelari asal Timika, Papua, itu mengikuti kategori setengah maraton.
Vina mengisahkan, tahun lalu dirinya berlatih intensif sekitar 3-4 bulan. Latihan diisi dengan latihan dasar, seperti penguatan otot, daya tahan, hingga kecepatan. Lari pun dilakukan bertahap 5K, 7K, 10K, dan maksimal 15K. ”Waktu itu saya tidak dipaksa latihan 21K. Justru 21K baru saya lakukan saat hari pertandingan,” ujarnya.
Tahun ini, untuk mengikuti kategori maraton, Vina mempersiapkan diri dengan serius. Dia lima kali mengikut lomba setengah maraton dan trail 21K. ”Saya juga tidak akan memaksa diri. Yang penting saya bisa finis saja,” ujarnya.
Selain peserta, panitia lomba pun dituntut lebih mawas diri. Direktur Perlombaan Borobudur Marathon 2018 Andreas Kansil mengatakan, mereka mengerahkan petugas medis dan keamanan yang besar untuk antisipasi korban jiwa.
Petugas medis terdiri dari 16 mobil ambulans dan 9 sepeda motor medis. Setiap mobil ada satu sopir, satu dokter, dan dua hingga tiga perawat. Di sepeda motor medis ada satu dokter dan satu perawat.
Mobil ambulans bersifat menunggu, sedangkan motor medis bergerak menghampiri pelari jika ada yang kelelahan. Stasiun air juga ada di setiap kilometer 2,5 pada setiap kelas lomba.
Petugas keamanan ada ribuan personel, terdiri dari petugas kepolisian, dinas perhubungan, dan 350 marshal. ”Semua yang kami lakukan adalah antisipasi dini. Namun, semuanya balik kepada pelari.
Mereka juga harus kontrol kesehatan, jaga kondisi tubuh, dan sadar dengan batas diri. Apalagi sebagian besar dampak fatal lari adalah serangan jantung yang memicu kematian akibat memaksakan diri,” kata Andreas. (DRI)