Regenerasi atlet di SEA Games 2019 niscaya menurunkan prestasi olahraga nasional. Pengorbanan itu harus dibayar dengan jaminan kesuksesan di Olimpiade Tokyo 2020.
Kisah manis regenerasi atlet ditampilkan Jepang di Asian Games 2018. Keputusan ketua kontingen Jepang, Yasuhiro Yamashita, menurunkan mayoritas atlet pelapis berusia muda menghasilkan 75 medali emas, 56 medali perak, dan medali 74 perunggu.
Negeri ”Matahari Terbit” finis di peringkat kedua, tepat di bawah China. Prestasi mereka meningkat dari Asian Games sebelumnya yang hanya di peringkat ketiga dengan 47 medali emas, 77 medali perak, dan 76 medali perunggu.
Prestasi luar biasa itu tidak jatuh dari langit. Hal ini bermula dari pembinaan jangka panjang. Pembinaan Jepang menghasilkan atlet utama dan pelapis yang kualitasnya sama baik.
Di cabang renang yang merupakan lumbung medali, Jepang sempat kehilangan salah satu perenang terbaiknya, peraih emas Olimpiade 2016, Rio Kaneto (30). Ia memutuskan pensiun pada awal tahun sebelum Asian Games 2018.
Pada nomor spesialisasi Rio, 200 meter gaya dada, yuniornya, Kanako Watanabe (22), unjuk gigi. Kanako menyabet emas Asian Games 2018.
Kemenangan Kanako tidak mengejutkan. Saat Asian Games sebelumnya, ia meraih emas mengalahkan Rio. Keduanya bergantian menggapai prestasi tertinggi.
Di cabang senam, tim Jepang juga dirombak total dengan mengganti 9 dari 10 atlet utama dari tim putra dan putri. Atlet utama difokuskan tampil ke Kejuaraan Senam Dunia di Doha, Qatar, akhir Oktober 2018.
Walaupun tampil dengan pelapis, Jepang mengantongi 4 perak dan 3 perunggu. Mereka mampu bersaing dengan penguasa senam Asia, China, yang tampil dengan tim elite.
Keberhasilan regenerasi atlet Jepang menginspirasi Kemenpora untuk menerbitkan aturan yang mewajibkan atlet pelapis muda tampil di SEA Games 2019. Sementara atlet senior fokus disiapkan untuk kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020.
Namun, kondisi pembinaan di Jepang dan Indonesia jauh berbeda. Di Indonesia, kualitas atlet elite dengan pelapis sangat timpang. Contohnya, atletik yang hampir selalu jadi lumbung emas Indonesia di SEA Games.
Namun, sejak 2011 sampai 2017, tumpuan emas hanya dari pelari Agus Prayogo (33) dan Triyaningsih (31), serta di dua edisi terakhir, atlet lompat jauh Maria Londa (28), atlet tolak peluru Eki Febri (26), dan atlet jalan cepat Hendro Yap (28).
”Perbedaan kualitas elite dan pelapis masih jauh. Jika aturan regenerasi ditetapkan, prestasi di SEA Games hampir pasti akan menurun drastis,” kata pengamat olahraga Djoko Pekik.
Pengorbanan
Dengan waktu kurang dari satu tahun, sangat sulit menaikkan kualitas atlet pelapis. Apalagi di tengah keterbatasan dana olahraga untuk SEA Games.
Djoko menilai, pengorbanan prestasi di SEA Games harus dibayar dengan kesuksesan atlet menembus Olimpiade. Setidaknya, dua kali lipat dari Olimpiade 2016 dengan 28 atlet.
Untuk itu, pemerintah harus total dalam membuat aturan. ”Atlet elite juga harus dilarang mengikuti kejuaraan daerah. Mereka harus fokus total ke program Olimpiade. Ini momentum. Tidak apa-apa SEA Games kita korbankan kalau bisa lebih baik di Olimpiade,” ujar Djoko.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengatakan, pihaknya menyadari kemungkinan penurunan prestasi di SEA Games. ”Prestasi, ya, memang seharusnya di Olimpiade, bukan di SEA Games,” katanya.
(Kelvin Hianusa)