Sepak Bola Mengangkat dari Titik Nol
Masa lalu yang kelam kerap membuat mereka terpinggirkan dari lingkungan sosial dan sunyi dalam keterpurukan. Lewat sepak bola, mereka merintis jalan untuk bangkit dari titik nol, mengikis stigma, dan berbenah demi hidup lebih baik.
Rasa penasaran Samsul Rizal (26) dalam empat tahun ini akhirnya terbayar. Bersama tujuh orang lainnya, laki-laki asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu terpilih menjadi pemain tim nasional Indonesia untuk Homeless
World Cup 2018 di Zocalo Capitalino, Mexico City, Meksiko, pada 13-18 November.
Pada Homeless World Cup (HWC) edisi tiga tahun terakhir, Rizal selalu gagal lolos seleksi. Bukannya frustrasi, hattrick kegagalan itu justru menambah motivasinya. Dia ingin membuktikan diri layak mewakili Indonesia pada kejuaraan sepak bola jalanan tingkat dunia tersebut.
Bagi Rizal, HWC merupakan jembatan emas pembuktian diri bagi orang-orang terpinggirkan seperti dirinya. Dia merupakan mantan pencandu narkoba jenis ganja dan sabu sejak di sekolah menengah pertama.
Bermula dari coba-coba di lingkungan pertemanan, Rizal semakin kecanduan narkoba. Pada 2010, dia diciduk polisi karena kepemilikan narkoba. Dia dinyatakan bersalah di pengadilan dan divonis 5,5 tahun penjara.
Hukuman yang diterimanya pada usia 17 tahun itu membuatnya kian terpuruk. Pendidikannya berakhir sebelum lulus SMA. Rizal kecewa karena dianggap sebagai bandar, bukan korban penyalahgunaan narkoba. Sebab, secara hukum, umurnya saat itu belum masuk kategori dewasa.
”Ketika itu saya merasa tidak ada keadilan di negeri ini. Seperti berada di titik nol, frustrasi, dan tidak berdaya. Narkoba menghancurkan hidup saya,” ujarnya saat peluncuran timnas Indonesia untuk HWC 2018 di Rumah Cemara, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (18/10/2018).
Setelah keluar dari penjara, Rizal mulai menata hidupnya. Namun, status sebagai pengguna narkoba dan mantan narapidana membuatnya dikucilkan.
Dia mencoba bergaul dalam komunitas yang bukan pencandu, tetapi ditolak.
”Saya sempat berpikir sudah tidak bisa bermanfaat bagi orang lain sehingga dijauhi oleh (masyarakat di) lingkungan sekitar,” ujarnya.
Dalam keterpurukan itu, Rizal bertemu dengan komunitas Aksi NTB. Komunitas itu menjadi tempat berkumpul para korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif (napza) yang berjuang untuk pemenuhan hak-haknya.
Lewat komunitas Aksi NTB, Rizal mengenal dan mengikuti Liga Perubahan yang merupakan pintu masuk menuju HWC. Dia menjalani seleksi ketat bersama orang-orang termarjinalkan dari daerah lain, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Bali. Kengototan Rizal berbuah manis tahun ini. Dia terpilih dari 80 peserta seleksi yang digelar April lalu.
Masuk skuad timnas Indonesia untuk HWC bukan sekadar kebanggaan dan pembuktian diri mewakili negara di tingkat dunia. Lebih dari itu, Rizal memaknainya sebagai motivasi untuk terus berbuat kebaikan bagi orang- orang di sekitarnya.
”Saya ingin mengumpulkan teman-teman yang dulu pernah pakai narkoba dan sakau bersama. Mereka punya hak untuk direhabilitasi dan berkesempatan melanjutkan hidup lebih baik,” ujarnya.
Satu-satunya perempuan
Misi pembuktian diri juga diusung Eva Dewi Rahmadiani (35), satu-satunya perempuan di timnas Indonesia untuk HWC 2018. Orangtua tunggal bagi ketiga putrinya itu punya kenangan pahit karena statusnya sebagai pengguna narkoba dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Cibiran tetangga sudah tak asing di telinga Eva. Dia berusaha tetap tegar. Namun, dia menyayangkan karena orang-orang yang mencibir itu hanya termakan omongan orang lain tanpa bertanya kepadanya.
”Saya lebih suka jika mereka bertanya langsung. Jadi, saya bisa jelaskan mengenai penularan dan pencegahannya. Sebenarnya mereka menjauhi saya karena tidak betul-betul mengetahui tentang saya,” ujarnya.
Eva semakin jengkel karena stigma dan pengucilan itu berimbas kepada anak ketiganya yang berusia 7 tahun. Buah hatinya itu sempat dijauhi teman- temannya di sekolah.
”Anak saya bilang enggak ada yang mau berteman dengannya. Dia pun sempat enggak mau sekolah. Awalnya saya berpikir itu hal biasa. Mungkin dia sedang berantem dengan teman-temannya,” kata Eva.
Namun, dugaan Eva itu keliru. Dia mendapat informasi dari saudaranya bahwa sejumlah orangtua siswa di sekolah anaknya mengetahui statusnya sebagai pengguna narkoba dan ODHA.
”Saya jelaskan kepada orangtua siswa lainnya soal status saya. Anak saya juga negatif HIV. Saya motivasi anak saya untuk tetap bersekolah,” ujarnya.
Eva mengaku menggunakan narkoba sejak SMA. Saat itu dia menggunakan jarum suntik yang dipakai bergantian bersama teman-temannya. Pada 2010, atau sekitar 10 tahun setelah lulus SMA, dia baru mengetahui positif HIV.
”Beberapa teman saya yang dulu sama-sama menggunakan jarum suntik untuk narkoba sudah meninggal karena HIV/AIDS. Akhirnya saya memeriksakan diri dan hasilnya positif,” ujarnya.
Eva mengaku sangat termotivasi untuk tampil pada HWC 2018. Itu karena pada penyelenggaraan sebelumnya, timnas Indonesia hanya mengirimkan tim untuk kategori laki-laki.
”Saya ingin tunjukkan perempuan Indonesia juga bisa berkontribusi dalam HWC. Jadi, laki-laki dan perempuan punya kesempatan sama,” kata Eva yang kini juga menjadi sukarelawan di Rumah Cemara.
Manajer timnas Indonesia untuk HWC 2018, Yana Suryana, mengatakan, tahun ini Indonesia ikut dalam kategori campuran. Pada keikutsertaan sebelumnya, 2011-2017, Indonesia mengirimkan tim kategori putra.
Pada HWC tahun lalu di Oslo, Norwegia, timnas Indonesia meraih peringkat kelima. Prestasi terbaik timnas di ajang ini terjadi saat menembus
babak semifinal pada 2012 di Meksiko.
HWC 2018 diikuti 500 pemain dari 63 dari 47 negara. Meski di ajang kali ini hanya menempati peringkat ke-10 klasemen akhir, tim Indonesia dianugerahi Richard Ishmail Fair Play Award, penghargaan bagi tim yang bermain sportif dan bersih. Penghargaan ini merupakan yang pertama diraih Indonesia dalam keikutsertaannya di HWC.
”Dalam sebuah turnamen, prestasi pasti penting. Namun, yang jauh lebih penting, setelah HWC ini, pemain dapat mengubah diri menjadi lebih baik dan termotivasi untuk bermanfaat bagi masyarakat,” kata Yana.
(Tatang Mulyana Sinaga)