Menyemai Pengetahuan di Tengah Rutinitas Latihan
Di balik prestasi atlet nasional di Asian Para Games 2018, hampir pasti ada cucuran keringat saat menempa diri dalam latihan. Bagi sebagian atlet, rutinitas yang menguras tenaga dan pikiran itu tidaklah cukup. Mereka juga memburu pengetahuan hingga jenjang yang tinggi.
Atlet bulu tangkis Paralimpiade, Leany Ratri Oktila (26), mampu mempersembahkan dua medali emas dan satu perak bagi ”Merah Putih” dari ajang Asian Para Games 2018.
Di balik prestasi itu, Ratri sangat jarang beristirahat sehari penuh. Selain berlatih di pemusatan latihan nasional, ia juga sedang menjalani pendidikan S-2 Sastra Bahasa Indonesia di Universitas Veteran, Solo.
”Ya, saya menjalani dua rutinitas itu bersamaan. Senin sampai Sabtu saya latihan dari pagi hingga malam. Hari Minggu, saat teman istirahat, saya mengerjakan tugas dari kampus,” tutur atlet asal Riau itu.
Tugas tersebut merupakan kompensasi dari dosen atas ketidakhadiran Ratri di kampus karena waktunya tersita untuk menjalani pelatnas. ”Saya buat tugas, lalu kirim lewat e-mail. Untungnya dosen dan teman selalu membantu,” katanya.
Rutinitas itu selalu dilakukannya sejak pelatnas mulai Januari 2018. Ratri mengaku hal itu memang berat. ”Dijalani saja karena, kan, suka pendidikan dari kecil. Dulu sebelum umur 21 tahun sudah dapat sarjana.
Sekarang mau lebih lagi di pendidikan. Apalagi S-2 ini, kan, beasiswa,” kata atlet yang mengalami selisih tulang di paha karena kecelakaan motor itu.
Ratri menjalani program pendidikan S-2 dalam setahun terakhir. Selanjutnya, ia akan berusaha menyelesaikan S-2 sekaligus mempersiapkan diri ke Paralimpiade Tokyo 2020.
Sementara itu, bagi pelari tunadaksa Karisma Evi Tiarani (17), pendidikan sama pentingnya dengan prestasi dalam olahraga. Selama pelatnas di Solo, ia terus mengikuti materi pelajaran sekolah.
”Kalau pelatnas lama kayak sekarang, pasti jadi jarang masuk sekolah. Kalau sudah gini, nyusul materi pelajarannya jadi susah,” ujarnya.
Dengan pelatnas jangka panjang, Evi hanya ke sekolah ketika ada ujian. Hal itu membuatnya harus belajar di sela-sela pelatnas. Kondisi semakin sulit karena pelatnas memiliki jadwal latihan dua kali sehari, pagi dan sore. Evi harus menyisihkan waktunya beristirahat pada siang dan malam untuk belajar.
Namun, ia tidak mengeluh. Evi tetap rajin belajar sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap orangtua. ”Dulu orangtua melarang ke atletik karena disuruh fokus sekolah. Tetapi, lama-lama orangtua membiarkan karena saya bisa menjalani keduanya dengan lancar,” ujarnya.
Terbukti saat pelatnas berjalan, Evi tetap bisa lulus ujian dan naik kelas dari kelas XI ke kelas XII di SMA 8 Surakarta. Ia pun sukses meraih emas di
nomor 100 meter klasifikasi T42/T63 atau keterbatasan kaki pada Asian Para Games 2018.
Bonus untuk pendidikan
Setelah mendapat emas, Rabu (10/10/2018), di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Evi bertekad kembali fokus bersekolah menyelesaikan SMA. Setelah itu, ia baru akan fokus menatap ASEAN Para Games di Manila.
Bahkan, ketika ditanyakan soal bonus Rp 1,5 miliar, atlet asli Boyolali tersebut mengatakan akan menyisakan untuk tabungan pendidikan. ”Buat umrah keluarga.
Sisanya untuk tabungan sekolah,” ujar Evi yang bertekad meneruskan jenjang pendidikan ke universitas sebagai persiapan saat kelak pensiun dari atlet.
Evi saat ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Sang ayah sudah tidak produktif karena faktor usia dan ibunya merupakan ibu rumah tangga.
Peraih emas nomor lari 100 meter dan 200 meter T37 atau keterbatasan koordinasi gerak dalam Asian Para Games, Sapto Yogo Purnomo (20), juga bertekad untuk kuliah.
Manusia tercepat di Asia dalam nomor 100 meter T37 itu belum memastikan jurusan yang akan diambil. ”Ya, lihat dulu nanti. Saya ingin fokus mengejar Paralimpiade Tokyo 2020 dulu. Setelah itu baru akan kuliah,” katanya.
Salah satu tujuan Sapto kuliah adalah agar dapat meningkatkan kualitas ketika menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Adapun Sapto akan mendapatkan jabatan PNS sebagai hadiah meraih emas di ASEAN Para Games 2017.
Atlet atletik Paralimpiade, Nanda Mei Sholihah (19), juga sangat peduli dengan pendidikan. Saat ini, Nanda telah mencapai semester 3 di Universitas Sebelas Maret Solo. Ia mengambil jurusan pendidikan.
”Aku cita-citanya mau jadi guru nanti. Enggak tahu kenapa dari dulu suka saja sama kehidupan sekolah,” tutur atlet klasifikasi T47 atau keterbatasan tangan itu. Nanda yang sudah masuk pelatnas sejak 2013 itu mengaku sering melewatkan bangku sekolah karena berlatih.
Oleh karena itu, ia ingin kembali lagi merasakan kehidupan sekolah dengan menjadi guru. (Kelvin Hianusa)