Taipan sekaligus politikus Murdaya Widyawimarta Poo kembali terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Golf Indonesia (PGI) untuk masa bakti 2018-2022. Murdaya terpilih sebagai calon tunggal yang kemudian disetujui oleh mayoritas peserta Musyawarah Nasional, Kamis (29/11/2018) malam, di Grand City, Surabaya, Jawa Timur.
Calon lain, Muchdi Purwoprandjono, dinyatakan tidak memenuhi syarat. Musyawarah sempat diwarnai walk out dari Pengurus Provinsi Jawa Barat. Namun, musyawarah tetap berjalan, bahkan bisa berakhir lebih cepat sehari dari yang direncanakan.
Mudaya akan meneruskan program kerja yang untuk memajukan golf di Indonesia, serta meloloskan atlet ke Olimpiade Tokyo 2020. Berikut ini wawancara Kompas dengan Murdaya.
Apa rencana jangka pendek dan jangka panjang Anda?
Saya berterima kasih kepada pengurus provinsi, kabupaten/kota, klub. Akhirnya (musyawarah) yang dipimpin Pak Agus Suhartono (mantan Panglima TNI) sebagai Ketua Panitia Penyelenggara sehingga secara mayoritas memilih saya sebagai calon tunggal untuk Ketua Umum PGI 2018-2022. Setelah saya mengalami sebagai Ketua Umum PGI 2014-2018, ternyata tidak mudah memimpin golf. Untuk menjadi pegolf perlu bertahun-tahun, dari kecil sampai dewasa. Sedikitnya sepuluh tahun baru bisa kelihatan.
Jadi ini melanjutkan program saya terdahulu, yakni sepuluh tahun rencana ke depan. Saya mau meneruskan karena di Indonesia ada harapan atlet-atlet kita berprestasi di nasional, Asia, dan internasional. Pegolf kita amat maju dengan disiplin kepelatihan, dengan high performance coach. Setelah empat tahun ini, saya ingin meneruskan dan menuntaskan program itu.
Apakah ada target jangka pendek mengingat golf dipertandingkan di Olimpiade Tokyo 2020? Apakah ada strategi agar Indonesia bisa tembus?
Terus terang saja, untuk Olimpiade, yang saya harapkan bukan dari pegolf amatir. Memang ada pegolf amatir kita (Naraajie Emerald Ramadhan Putra) yang sempat mencapai ranking ke-52 dunia (per 29 November 2018 Naraajie di posisi ke-87 peringkat dunia pegolf amatir). Namun, untuk Olimpiade yang diharapkan adalah pegolf pro yang segelintir, dan itu sebenarnya di luar dari kewenangan pembinaan PGI. Kami berharap mereka bisa menembus ranking di atas 300 dunia profesional sehingga bisa ikut kualifikasi untuk Olimpiade.
Salah seorang pegolf profesional terbaik Indonesia, Danny Masrin, ada di ranking ke-947 dunia, bagaimana peluangnya?
Nah, itu. Ya, memang sulit. Jadi, begini, kalau membicarakan golf, Indonesia sangat ketinggalan. Negara lain termasuk Filipina yang meraih emas di Asian Games Jakarta-Palembang 2018, dan Thailand, memulai puluhan tahun lebih awal. Itulah mengapa ada program sepuluh tahun sehingga yang amatir beberapa tahun mendatang bisa masuk dan bersaing di level profesional di PGA Tour bahkan Olimpiade. Di Asian Games 2018, kita memang kalah bersaing dari Filipina, Jepang, China, dan Thailand.
Kekurangan apa yang membuat golf Indonesia sulit maju, tetapi sesungguhnya sudah diketahui dan bisa diatasi dengan cepat?
Pengalaman empat tahun ini, dengan pelatih yang bagus, fasilitas cukup, pusat latihan fisik, gizi, mental, berbagai perlengkapan, dan pertandingan, merupakan jalan tercepat untuk perbaikan. Namun, golf tidak bisa dipaksakan untuk lebih cepat.
Ada strategi menjadikan provinsi-provinsi sebagai kantong-kantong golf?
Dari dulu sudah begitu, tetapi hanya sedikit, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Itu masih sedikit dan akan ditingkatkan. Pengurus provinsi lainnya saya yakin telah menyadari, bahwa perkembangan golf masih ada harapan.
Apakah prasarana dan sarana golf masih kurang baik dari segi kuantitas dan kualitasnya?
Tidak. Salah satu keunggulan Indonesia adalah bisa menyelenggarakan turnamen golf sepanjang tahun. Lapangan sudah berkualitas internasional. Jumlah cukup. Jadi tidak perlu dikhawatirkan. Cuma, manusianya, terlambat sepuluh tahun.
Apakah karena golf masih dianggap sebagai cabang olahraga untuk masyarakat elite sehingga kurang mendapat animo dari masyarakat umum?
Indonesia itu penduduknya 260 juta jiwa. Meskipun sedikit animo masyarakat terhadap golf, kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk tadi, ya, menjadi besar angkanya. Namun, bagaimana dengan keinginan untuk bermain golf, menjadi juara atau pemenang golf.
Mungkin ada rencana memopulerkan golf ke sekolah?
Pegolf junior kami perhatikan juga. Mereka rata-rata didorong oleh orangtua melalui klub-klub. Nah, perlu lebih intensif lagi pertandingannya. Untuk di sekolah-sekolah, pengalaman kami, yang seolah menolak untuk mengenal dan bermain golf bukan siswa-siswi, melainkan pengelola sekolah. Jadi, mungkin perlu terobosan menjadikan golf sebagai cabang olahraga ekstrakurikuler selain yang sudah ada, terutama sepak bola, basket, voli, bulu tangkis, dan tenis meja.