Olimpiade Tokyo 2020 memberi tantangan besar kepada para atlet panjat tebing Indonesia. Meski telah mendominasi dunia di nomor kecepatan pada sejumlah seri Piala Dunia ataupun kejuaraan internasional lainnya, Olimpiade 2020 menuntut atlet juga menguasai nomor lead dan boulder.
Bukan hal mudah bagi seorang atlet yang sudah terbiasa berlatih di nomor speed untuk menguasai nomor lead dan boulder. Pasalnya, nomor speed yang mengutamakan kecepatan tidak terlalu menuntut kelenturan, kekuatan, dan juga daya tahan (endurance).
”Kalau untuk lead dan boulder itu sangat dibutuhkan kekuatan otot-otot, kelenturan, dan terutama endurance. Itu semua yang saya sekarang tidak punya sehingga harus berlatih lagi,” ujar Sabri, atlet spesialis speed, saat Kejuaraan Nasional Panjat Tebing di kompleks Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (30/11/2018).
Sabri yang menjadi mitra sekaligus rival Aspar Jaelolo dalam mencetak waktu tercepat di nomor speed menyadari kemungkinan dirinya tidak masuk ke pelatnas 2019. Dia pun bersiap berlatih sendiri di tempat asalnya, Kalimantan Utara.
Namun, dia khawatir dengan kondisi ketidaktersediaannya poin-poin volume model baru di tempat asalnya. ”Kalaupun saya berlatih sendiri, kalau dengan volume-volume jadul (zaman dulu), ya, saya akan tetap ketinggalan. Ini jadi masalah besar buat saya dan atlet-atlet Kaltara,” papar Sabri.
Hal senada disampaikan Pangeran Septo Wibowo Siburian, atlet pelatnas 2018 yang juga kesulitan untuk menaklukkan tantangan boulder dan lead. Dua nomor itu membutuhkan kejelian membaca jalur pemanjatan.
”Soal jalur, kami di pelatnas sudah lama enggak berlatih jalur karena kalau speed, kan, sudah jelas jalurnya. Makanya, kemampuan membaca jalur juga agak hilang, belum lagi pengenalan poin-poinnya.
Waktu Kejuaraan Asia di Jepang, kami kaget karena poin-poinnya sangat variatif dan kami enggak tahu di mana titik pegangannya,” ujar Septo, atlet kelahiran Sumatera Utara yang pindah ke Kalimantan Timur sejak kecil itu.
Panjat dinamis
Menurut Seto, atlet pelatnas 2018 yang sebelumnya spesialis di nomor boulder, kesulitan terbesar lead dan boulder adalah teknik pemanjatan dinamis. ”Kami terbiasa di latihan dengan teknik panjat statis, sedangkan di lead dan boulder itu sering kali dibutuhkan teknik panjat dinamis, kami harus melompat dan kemudian mencengkeram poinnya, Untuk itu, dibutuhkan tidak hanya kekuatan otot-otot jari dan tangan, tetapi juga kemampuan mengatur keseimbangan saat melompat,” ujar atlet kelahiran Sleman,9 November 2000, itu.
Pelatih tim panjat tebing DI Yogyakarta, Sultoni Sulaiman, menjelaskan, pelatihan di nomor lead dan boulder memang agak tertinggal dengan speed karena di nomor speed itu banyak kejuaraannya. ”Speed itu juga kelihatan sekali naiknya (kemampuan atlet) karena ukurannya, kan, waktu, sedangkan boulder dan lead itu kelihatan naiknya pas kompetisi. Walaupun memang bisa dilihat dari latihan, hasil sebenarnya, ya, dari kompetisi dan try out,” paparnya.
Sultoni menilai, kekurangan banyak atlet Indonesia di boulder dan lead adalah pengetahuan soal media panjatnya atau poin-poin volumenya. ”Kondisi pegangannya itu benar-benar enggak kelihatan. Jadi, kalau belum pernah pegang, ya, pas kompetisi harus meraba-raba dulu. Untuk endurance juga memang masih kurang,” ujarnya.
Untuk teknik panjat dinamis, Sultoni menjelaskan, di latihan sebenarnya juga sering dilatihkan. ”Akan tetapi, masalahnya, ya, di volume itu tadi sehingga atlet sering kali kaget begitu dipegang kok tidak ada pegangannya. Idealnya, kan, begitu kita melompat untuk meraih poin volume itu, kita sudah tahu di mana bagian yang harus dipegang,” ujarnya.
Sultoni menambahkan, pada kejuaraan-kejuaraan dunia, para atlet panjat sekarang ini dituntut menguasai teknik panjat dinamis. Mereka harus melompat dari poin satu ke poin lain. Karena itu, penguasaan teknik panjat dinamis dan penguasaan volume-volume paling terkini menjadi keharusan bagi para atlet Indonesia jika ingin sukses di Olimpiade 2020. (OKI)