SOUTHAMPTON, MINGGU Southampton FC menghentikan rekor 22 laga tidak terkalahkan Arsenal lewat kemenangan 3-2 di Liga Inggris, Minggu (16/12/2018) malam. Sentuhan ”tangan besi” ala manajer Unai Emery tidak cukup menjaga tren positif Arsenal.
”The Gunners” tampil tidak seperti biasa di laga yang digelar di Stadion St Mary’s, Southampton, itu. Mereka kurang terorganisasi, khususnya di lini belakang, menyusul absennya duo palang pintu Sokratis dan Shkodran Mustafi. Bek Laurent Koscielny, yang tampil perdana di Liga Inggris musim ini seusai cedera panjang, gagal menutup krisis di pertahanan Arsenal.
Hal lain yang disorot di laga itu adalah keputusan Emery untuk kembali membangkucadangkan Mesut Oezil, pemain bergaji termahal sepanjang sejarah Arsenal dengan nilai kontrak Rp 286 miliar per musim. Emery lebih memilih menurunkan Henrikh Mkhitaryan sejak menit pertama ketimbang Oezil.
Hal itu mempertegas retaknya hubungan Oezil dan Emery. Sepanjang musim ini, Oezil hanya empat kali bermain penuh 90 menit. Ia lebih sering duduk di bangku cadangan atau ditarik keluar pada babak kedua laga Arsenal. Oezil pun dikabarkan tidak lagi betah di klub yang dibelanya sejak 2013 itu.
Sejumlah klub, seperti Manchester United dan Inter Milan, berminat menampung salah satu gelandang kreatif terbaik di era modern itu.
”Di bawah asuhan Emery, manajer yang kerap muak dengan label pemain bintang, Oezil mengalami situasi antitesis. Ia bukan lagi kesayangan di tim”, bunyi ulasan media Inggris, The Independent, menganalisis hubungan dingin Emery dan Oezil.
Emery seolah ingin memperlihatkan kediktatorannya di Arsenal dengan mencopot label bintang di Oezil. Ia menunjukkan dirinya ”bos” sesungguhnya di The Gunners. Tiada yang lain. Alasan yang sama mendorongnya memecat fisioterapis klub, Collin Lewin, dan melepas gelandang Jack Wilshere.
Lewin, Wilshere, dan Oezil dianggap sebagai pendukung utama rezim eks Manajer Arsenal Arsene Wenger. Mereka kesulitan beradaptasi dengan gaya totaliter Emery, yaitu sepak bola kompak dan menekan.
Gaya itu menuntut stamina prima, kerja keras, dan pengorbanan pemain untuk konstan menekan pemain lawan saat kehilangan bola. Di bawah rezim Emery, para pemain Arsenal digenjot latihan fisik dua kali lipat ketimbang era Wenger.
Dua hal kunci itu menjadi kelemahan Oezil, pemain yang dikenal sebagai raja asis di Liga Inggris. Pemain yang melewati rekor legenda MU, Eric Cantona, sebagai pengemas 50 asis tercepat di Liga Inggris itu lemah dalam hal stamina dan enggan menekan lawan, apalagi merebut bola. Ia merasa tugas utamanya hanyalah mendesain gol, bukan membantu pertahanan.
”Silakan kamu putuskan. Main dengan cara saya atau tidak sama sekali (tampil),” tukas Emery saat menarik keluar Oezil di laga kontra Chelsea, Agustus lalu. Oezil, yang musim ini mengemas empat gol dan dua asis, tampak kesal diganti ketika itu.
”Ia (Oezil) butuh menunjukkan bahwa dirinya juga mau bekerja keras ketika kehilangan bola. Jadi, bukan hanya ketika memegang bola. Itu satu-satunya cara kembali ke tim (utama). Emery telah jelas menunjukkan, reputasi (status bintang) bukan hal penting,” tutur Martin Keown, mantan pemain Arsenal.
Hubungan dingin Emery dengan pemain bintang bukan hal asing. Di klub lamanya, Paris Saint-Germain, ia sempat ”perang dingin” dengan Neymar Jr.
Saat itu, Emery memilih hengkang karena Neymar lebih didukung petinggi klub dan fans ketimbang dirinya. ”Emery tidak tahu caranya menangani bintang.
Baginya, tidak ada bintang di kamar ganti. Ia menganggap Neymar dan (Christopher) Nkunku (pemain muda PGS) sama. Padahal, keduanya berbeda. Itu sebabnya ia ada di Arsenal,” kata Dominique Severac, pengamat sepak bola Perancis, kepada L’Equipe. Pada laga lain, Chelsea bertahan di empat besar setelah menang 2-1 atas Brighton & Hove Albion. (JON)