Pebasket putra asal Bali mulai jarang terdengar di dunia bola basket nasional. Setelah melahirkan bakat terbaik hingga dekade 2000-an, Pulau Dewata seperti tertidur. Kehadiran IBL Pertamax 2018-2019 di Denpasar menyadarkan, Bali sudah jauh tertinggal.
Saat ini hanya nama Ponsianus Nyoman Indrawan, atau Komink, yang muncul ketika membicarakan pebasket nasional asal Bali. Pada usia 33 tahun, Komink masih menjadi ikon basket Bali.
Kondisi itu cukup kontras dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Bali cukup subur menelurkan pemain basket papan atas. Mulai dari I Made ”Lolik” Sudiadnyana, Riko Hantono, hingga tiga bersaudara Cokorda Raka Satrya Wibawa, Cokorda Rai Adi Pramartha, dan Cokorda Anom Indrajaya.
Denpasar menjadi tuan rumah seri ketiga IBL, 14-16 Desember, bukan tanpa alasan. Selain antusiasme penonton yang tinggi, IBL ingin melecut gairah basket di Bali dan mendorong munculnya tim lokal.
”Kami ingin turut membangun basket di luar Jawa, apalagi Bali pernah punya bakat-bakat hebat. Semoga bisa membantu peningkatan prestasi di Bali, terutama agar ada tim asli Bali di IBL,” kata Direktur IBL Hasan Gozali.
Momentum kehadiran IBL tepat. Itu karena pebasket tingkat SMA di Bali mulai menunjukkan potensi besar dengan berprestasi pada dua turnamen yang diselenggarakan Dinas Pemuda dan Olahraga Bali.
SMAN 1 Denpasar merebut juara Piala Kadispora, Oktober 2018, dan tim elite Denpasar menjadi juara Piala ASW untuk KU-14 pada Desember. Keduanya mengalahkan tim asal Pulau Jawa di final.
Pebasket pelajar itu perlu diberi wadah lanjutan. Selama ini, pembinaan di Bali berjalan di tingkat pelajar, tetapi terhenti karena tidak memiliki tujuan.
Menurut Komink, sudah waktunya ada tim putra asal Bali di IBL, kompetisi tertinggi untuk putra, seperti yang dilakukan tim putri Merpati Bali pada Piala Srikandi. Kehadiran Merpati Bali membawa pengaruh positif, yakni munculnya pemain Bali menjadi penggawa timnas.
”Kalau ada tim lokal, anak-anak latihan basket tidak bingung harus ke mana. Mereka jadi punya tujuan. Sekarang terlalu jauh kalau mereka mau bermain untuk Stapac atau Pelita Jaya,” kata pemain Pelita Jaya itu.
Tidak mudah membentuk tim basket di liga tertinggi. Komink menyadari, harus ada dukungan Pemprov Bali, juga orang yang ”gila” basket. ”Tidak bisa hanya satu orang. Kan, bisa jual nama Bali, seperti di sepak bola ada Bali United,” ucapnya.
Wiwin, sapaan Cokorda Raka, menyadari regenerasi basket di Bali melambat. Talenta muda kekurangan kompetisi. Dalam satu tahun, maksimal hanya tiga kompetisi untuk pelajar. Nyaris tidak ada kompetisi tingkat universitas.
”Saya pernah melatih di Depok, pemain saya tidak pernah lengkap saat latihan. Mereka bilang selalu ada pertandingan setiap minggu. Kontras dengan yang terjadi di Bali,” kata mantan pemain nasional itu.
Untuk mengatasi kekurangan kompetisi, Wiwin yang saat ini bekerja di Dispora Bali berinisiatif membuat Piala ASW dan Piala Kadispora. Menurut Wiwin, kompetisi usia muda harus diperbanyak sambil menunggu kehadiran tim lokal di IBL untuk menjaga minat basket di Bali tetap hidup.
Merosotnya minat setidaknya terlihat dari lapangan basket di SMAN 2 Denpasar, yang menjadi saksi Wiwin, adik-adik, dan rekan-rekannya mengangkat piala, kini sudah musnah berganti menjadi lahan parkir. (Kelvin Hianusa)