Berharap Klub Memiliki Kaki
Pembinaan usia dini adalah salah satu syarat klub sepak bola profesional yang kerap diabaikan. Kompetisi usia muda perlu menjadi perhatian serius untuk meningkatkan kualitas sepak bola nasional.
Sepanjang 2018, para pengurus Liga Kompas mendapat kabar gembira karena banyak alumnus liga pendidikan usia 14 tahun itu diterima menjadi pemain tim U-16 dari beberapa klub Liga 1.
Salah satu cita-cita Liga Kompas untuk menyumbangkan pemain berkualitas ke klub profesional mulai terlihat hasilnya.
Namun, kegembiraan itu berubah menjadi kegamangan saat mengetahui klub-klub Liga 1 itu hanya mengandalkan proses seleksi terbuka untuk merekrut pemain buat tim U-16.
Tidak ada yang salah dalam proses seleksi terbuka. Namun, yang mengkhawatirkan adalah banyak klub tidak memiliki akademi internal atau liga usia remaja internal untuk membina para pemain usia dini (usia 8-12 tahun) dan pemain usia remaja (13-18 tahun).
Sebagian besar klub hanya berharap mendapat pasokan pemain dari sekolah sepak bola (SSB) dan liga-liga remaja yang hanya ada di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Hal itu terasa ironis karena pembinaan usia dini merupakan salah satu syarat bagi klub untuk mendapat lisensi sebagai klub profesional dari AFC.
Syarat pembinaan usia dini merupakan satu dari lima syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi klub profesional. Keempat syarat lainnya adalah syarat infrastruktur, syarat personal dan administrasi, syarat hukum dan legalitas, serta syarat keuangan.
Lima syarat yang ditetapkan oleh AFC itu sebenarnya juga sudah diadopsi oleh PSSI dan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Namun, syarat pembinaan usia dini selalu diabaikan oleh PSSI dan BOPI.
Dampaknya, sebagian besar klub juga tidak memperhatikan pembinaan usia dini mereka. Nyaris tidak ada lagi kompetisi antar-SSB di sejumlah kota yang diselenggarakan oleh klub-klub elite Liga 1 atau Liga 2.
Kompetisi usia muda di tingkat kota semacam itu pernah digelar klub-klub pada era perserikatan. Dari kompetisi lokal itu, para pemandu bakat mencari pemain berbakat untuk mengisi formasi tim usia remaja.
Dengan kompetisi lokal, banyak bibit pemain yang muncul. Pada era 1980-an sampai dengan 1990-an, Indonesia tidak pernah kekurangan stok pemain bagus di semua lini. Indonesia (bersama Thailand) saat itu mendominasi Asia Tenggara dan bisa bersaing di tingkat Asia meskipun bukan menjadi yang terbaik.
Jika kompetisi lokal serupa digelar lagi oleh klub Liga 1 dan Liga 2, akan terdapat 42 liga lokal di seluruh Indonesia. Para pemain berbakat dari berbagai pelosok akan bermunculan.
Klub-klub Liga 1 dan Liga 2 dapat merekrut pemain remaja terbaik dari kompetisi internal untuk dipadukan dengan tim U-16 dan tim U-19. Jika masih kurang, klub dapat membuka ruang proses seleksi terbuka.
Etika
Saat merekrut pemain dari seleksi terbuka, klub profesional perlu memperhatikan etika yang ada. Para pemain itu dididik dan dimatangkan oleh SSB sehingga jika ingin merekrut pemain dari SSB, sebaiknya memberi kompensasi finansial.
Selama ini banyak klub yang merekrut pemain untuk tim U-16 mensyaratkan surat pengunduran diri dari SSB asal pemain. Dengan demikian, klub tidak perlu memberi kompensasi apa pun kepada SSB. Ini cara yang sungguh tidak beretika.
SSB di Indonesia hidup dari iuran uang sekolah para pemain. Kekurangan dana adalah hal biasa. Jika klub profesional memberi kompensasi finansial atas setiap pemain yang direkrut dari SSB, SSB akan memiliki keuangan lebih sehat dan dapat membina pemain lebih optimal.
”Selama ini SSB menjadi pemasok utama pemain remaja bagi klub profesional karena mereka tidak memiliki liga internal. Namun, penghargaan klub profesional bagi SSB hampir tidak ada.
Ini yang membuat banyak SSB sulit menghasilkan pemain berkualitas unggul sehingga pemain yang masuk ke klub juga tidak berkualitas unggul,” kata Hadi Rahmaddani, dosen Olahraga Universitas Negeri Jakarta dan pemandu bakat Liga Kompas Gramedia.
Selain kompetisi internal klub, PSSI melalui asosiasi provinsi dan asosiasi kota yang ada di sejumlah daerah juga perlu menggelar kompetisi usia dini. Kompetisi itu perlu digelar dalam format liga, bukan turnamen, agar ada kepastian jadwal pertandingan sepanjang tahun.
Dengan kepastian jadwal pertandingan, semua SSB dapat menerapkan segitiga pembinaan, yaitu latihan-pertandingan-evaluasi. Jika segitiga pembinaan itu dijalankan secara rutin, kemampuan pemain akan terus meningkat seiring waktu.
Pemain harus dimatangkan melalui ketiga proses itu. Jika hanya latihan tanpa kepastian jadwal laga, kemampuan pemain remaja tidak akan terasah.
Piala Suratin yang digelar PSSI di beberapa daerah tidak cukup untuk pembinaan usia dini. Format turnamen membuat hanya tim terbaik yang mendapat lebih banyak kesempatan bertanding. Tim lebih lemah akan tersisih sehingga kesempatan berlaga mereka terbatas.
Kemunculan liga remaja yang tidak digelar PSSI menunjukkan federasi belum banyak berbuat untuk pembinaan usia muda. Jika dibiarkan, Indonesia akan selalu kekurangan pemain berkualitas pada usia dewasa.
Dari hasil timnas Indonesia pada Piala Asia U-19 dan Piala Asia U-16 2018 yang menembus perempat final, terlihat para pemain remaja memiliki potensi besar, tetapi kurang terasah dengan kompetisi sejak usia dini.
Saat menghadapi persaingan yang lebih keras di level elite Asia, Indonesia sulit meraih hasil terbaik. Kurangnya pengalaman bertanding sejak usia dini membuat pemain Indonesia kalah dalam berbagai hal.
PSSI perlu mengubah cara pandang dalam pembinaan sepak bola. Kompetisi usia muda harus mendapat porsi perhatian dan anggaran yang paling besar. Aturan perekrutan pemain remaja dari SSB ke klub juga perlu disusun dengan tegas.
Hasilnya tidak akan instan. Indonesia mungkin bisa melihat perubahan dalam 15 tahun ke depan jika dimulai dari sekarang. Jika tidak segera dimulai, kualitas sepak bola Indonesia bakal stagnan dan bahkan menurun jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Timor-Leste dan Filipina yang saat ini terus berbenah.