Pemberian dana pelatnas langsung kepada pengurus cabang olahraga dinilai sebagai keputusan tepat dan didukung para pengurus cabang. Hanya saja, kebijakan itu harus terus dimatangkan, terutama dalam sistem pertanggungjawabannya agar tidak berlarut-larut dan justru membuat penganggaran tahun berikutnya tertunda.
Sejak akhir tahun 2017, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga mengubah pola penganggaran untuk pemusatan latihan nasional (pelatnas) cabang olahraga. Sebelumnya, anggaran pelatnas tersebut disalurkan dari pemerintah ke cabang olaharga melalui Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima). Pola itu kemudian diubah, anggaran pelatnas diberikan dari pemerintah langsung ke cabang.
Kebijakan itu didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional yang terbit pada 20 Oktober 2017. Adapun Satlak Prima telah dibubarkan. Fungsi pengawasan penggunaan anggaran pelatnas dilakukan oleh KONI Pusat.
Hasilnya cukup positif. Anggaran yang turun ke cabang menjadi lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada lagi kabar ada cabang berteriak karena anggaran untuk honor dan uang saku atlet terlambat dicairkan. Rata-rata anggaran tersebut diterima cabang sekitar Januari-Februari 2018.
Dampaknya, program pelatnas bisa berjalan lancar. Cabang bisa membeli peralatan latihan dan tanding dengan segera. Pemusatan latihan ataupun uji coba pertandingan, terutama di luar negeri, juga bisa cepat terwujud.
Perubahan itu harus diakui berdampak positif pada performa atlet. Sebagai tuan rumah, Indonesia bisa berbicara banyak dalam prestasi di Asian Games dan Asian Para Games 2018.
Di Asian Games, Indonesia berada di peringkat keempat dengan perolehan 31 medali emas, 24 perak, dan 43 perunggu. Pada Asian Para Games, Indonesia di peringkat kelima dengan 37 medali emas, 47 perak, dan 51 perunggu. Semua hasil itu melampaui target yang dicanangkan.
Mayoritas pengurus cabang puas dengan kebijakan itu. Apalagi dengan kebijakan baru itu, mereka lebih leluasa mengelola anggaran guna memenuhi kebutuhan pelatnas.
Mereka tak perlu lagi mengajukan permohonan setiap ingin membeli peralatan, atau saat ingin melakukan pemusatan latihan dan ikut kejuaraan di luar negeri. Mereka cukup mengajukan proposal anggaran pelatnas dalam satu tahun.
”Ya, lebih enak sekarang. Anggaran sepenuhnya kami yang pegang. Jadinya, program yang ada bisa langsung dijalankan. Jika ada kekurangan, mungkin anggarannya saja yang masih terbatas,” ujar Komisi Bidang Pembinaan Prestasi dan Target PB Perbakin Sarozawato Zai di Jakarta, November lalu.
Belum sempurna
Dalam pelaksanaannya, kebijakan itu belum sepenuhnya sempurna. Yang paling mencolok adalah dalam sistem laporan pertanggungjawaban (LPJ) penggunaan anggaran tersebut.
Selama ini mungkin cabang sudah pengalaman dalam membuat proposal rencana kegiatan sebab hal itu pernah dilakukan saat masih ada Satlak Prima.
Namun, mereka belum berpengalaman dalam membuat LPJ penggunaan anggaran. Apalagi, tidak semua pengurus cabang memiliki staf dengan keahlian khusus di bidang akuntansi guna membuat LPJ yang akuntabel.
Tak pelak, kegaduhan baru terjadi pada akhir tahun anggaran. Proses LPJ penggunaan anggaran itu cenderung lambat. Hingga awal Desember, baru 25 cabang dari 40-an cabang yang berpartisipasi di Asian Games yang telah menyampaikan LPJ.
”Ini pengalaman baru untuk kami. Jadi, kami harus sangat hati-hati dalam menyusun laporan karena kami juga tidak mau ini jadi temuan (oleh Badan Pemeriksa Keuangan). Apalagi pelaporannya harus detail. Di sisi lain, tidak ada pendampingan melekat dari Kemenpora selama ini,” kata Sekretaris Jenderal Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia Pribadi.
Akibat keterlambatan itu, cabang belum bisa mengajukan proposal anggaran pelatnas 2019. Otomatis, hal itu akan membuat proses penganggaran tahun berikutnya tidak bisa cepat sejak awal tahun (Januari). Apalagi, pengalaman 2018, proses pengajuan proposal, verifikasi, perbaikan, hingga dana itu cair bisa memakan waktu 1-2 bulan.
Kemenpora tentu tak boleh menutup mata terhadap persoalan ini. Sebab, LPJ penggunaan anggaran cabang juga menjadi bagian yang diaudit BPK terkait dengan tata kelola penggunaan anggaran Kemenpora. Hal ini karena anggaran pelatnas yang diterima cabang berasal dari APBN yang dikelola Kemenpora.
Jika LPJ penggunaan anggaran cabang bermasalah, hal itu juga akan berdampak negatif terhadap penilaian tata kelola keuangan Kemenpora.
Adapun BPK dua kali tidak memberikan pendapat atau disclaimer kepada Kemenpora pada 2015 dan 2016. Penilaian cukup baik terjadi pada 2017, BPK memberikan predikat wajar dengan pengecualian kepada Kemenpora.
”Buruknya penilaian tata kelola keuangan Kemenpora akan berdampak negatif terhadap dunia olahraga secara keseluruhan. Sebab, hal itu bisa membuat anggaran Kemenpora sulit ditingkatkan lagi,” kata Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto.
Ironisnya, di tengah kesibukan pemeriksaan LPJ dari sejumlah cabang itu, dugaan kasus korupsi justru mendera Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Mulyana. Padahal, bidang itu terkait langsung dengan penganggaran pelatnas.
Kasus dugaan korupsi yang menjerat Mulyana dan sejumlah anggota stafnya itu memang tidak terkait dengan dana pelatnas. Kasus yang ditangani KPK itu terkait dana bantuan bagi Komite Olahraga Nasional Indonesia.
Kini, Kemenpora memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat. Kasus korupsi itu jelas menyita perhatian Kemenpora. Sementara belum semua cabang menyampaikan LPJ. Apalagi, LPJ yang sudah masuk juga masih banyak yang perlu diperbaiki.