Menanti Hasil Rencana Matang
Indonesia berpeluang untuk pertama kali mengirim pesenam ke Olimpiade di Tokyo, Jepang, pada 2020. Untuk itu, perencanaan program yang kurang efektif dan pendanaan minim saat Asian Games tidak boleh terulang.
Tahun 2018 menjadi masa yang melelahkan sekaligus membahagiakan bagi dunia senam Indonesia. Sempat diremehkan pada Asian Games 2018 karena prestasi yang terpuruk sejak 2000-an, senam mengejutkan semua orang, termasuk pengurus, pelatih, dan atlet sendiri, dengan raihan 1 perak dan 1 satu perunggu.
Rifda Irfanaluthfi dan Agus Adi Prayoko mencatatkan sejarah baru dengan menjadi dua pesenam pertama Indonesia yang meraih medali di Asian Games.
Pada 24 Agustus, Agus terlebih dulu meraih perunggu dalam final nomor kuda-kuda lompat putra. Pada petang harinya, Rifda yang menjadi tumpuan berhasil menyabet perak dalam final nomor senam lantai putri.
Di balik manisnya prestasi, sejumlah masalah merintangi perjalanan pesenam. Masalah awal berasal dari minimnya anggaran yang diberikan Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk persiapan pelatnas.
Cabang olahraga Olimpiade yang memperebutkan 18 emas ini hanya mendapat Rp 7,5 miliar dari Kemenpora, dari proposal awal Rp 29 miliar. Padahal, cabang lain, seperti bridge, yang bahkan tidak dilombakan di SEA Games, mendapatkan dana dua kali lipat.
Permintaan senam dianggap tidak realistis oleh tim verifikasi proposal karena prestasi yang belum terbukti. Pertimbangannya adalah masih kesulitan berprestasi di Asia Tenggara.
Program awal senam pun berantakan. Rencana Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani) membawa 10 atlet artistik ke Amerika Serikat untuk berlatih selama 90 hari dibatalkan. Program diubah menjadi latihan 45 hari ke Rusia.
Namun, program itu pun tidak terwujud sempurna. Pesenam hanya berlatih di Rusia selama sekitar 20 hari, itu pun saat sebulan sebelum hari lomba.
Rifda bersama pelatih Eva Novalina Butar Butar lalu memilih berlatih sendiri di Doha, Qatar. Rifda dinilai lebih mampu menjaga fokus di Doha dengan sendirian berlatih di arena senam berstandar dunia.
Saat itu, dengan program yang penuh spontanitas, tidak ada satu pun yang yakin pesenam nasional mampu meraih medali Asian Games. Bahkan, pelatih dan PB Persani hanya membebani satu atlet, Rifda, untuk bisa menembus final atau delapan besar.
Dengan kondisi demikian, PB Persani patut berterima kasih kepada perjuangan Rifda dan Agus yang tampil maksimal dalam kondisi cedera kaki, juga sedikit dewi fortuna karena ketidakhadiran sembilan atlet utama Jepang yang sedang dalam persiapan menuju Kejuaraan Dunia Doha 2018.
Jalan berliku
Kini, tugas lebih berat menanti Rifda dan Agus. Mereka ditargetkan PB Persani untuk menjadi pesenam pertama Indonesia yang melaju ke Olimpiade. Target utama adalah Olimpiade Tokyo 2020.
Menatap target itu, PB Persani harus bergerak cepat untuk merencanakan program karena kualifikasi utama ke Tokyo akan digelar pada Oktober 2019 dalam kejuaraan dunia di Stuttgart, Jerman.
Perjalanan Rifda dan Agus untuk lolos dari Stuttgart akan sangat berliku karena harus mengejar kualitas dan bersaing dengan pesenam elite dunia.
”Kami sudah siapkan proposal ke Kemenpora untuk program 4-6 bulan di luar negeri. Program untuk Rifda dan Agus ini kemungkinan dimulai Maret atau April. Tempatnya Rusia atau Amerika Serikat,” kata Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PB Persani Dian Arifin.
Untuk lolos dari Stuttgart, Rifda dan Agus harus masuk 20 besar dalam nomor all-around atau meraih tiga besar pada nomor alat.
Kesempatan terbesar Rifda adalah dari all-around. Berkaca dari Kejuaraan Dunia 2018, kemampuan Rifda masih tertinggal dari pesenam elite dunia. Dia masih berada di peringkat ke-57 dari 148 pesenam yang mengikuti nomor all-around.
Rifda pun harus membenahi kemampuan palang bertingkat untuk menambah nilai all-around. Atlet DKI Jakarta itu belum mampu melampaui nilai 11,000. Padahal, juara dunia di Doha, Nina Derwael, sudah mencapai nilai 15,200.
Sementara itu, Agus berpeluang lolos dari nomor kuda-kuda lompat. Tantangannya adalah dia harus masuk tiga besar. Saat Asian Games, Agus mampu mencapai nilai 14,350. Berkaca dari Kejuaraan Dunia, dia membutuhkan nilai lebih dari 14,650 untuk menembus tiga besar.
Atlet asal Surabaya ini masih harus menambah setengah putaran lagi pada gerakannya. Namun, hal itu tidak mudah mengingat umur Agus yang akan 30 tahun pada 2019.
Pesenam nasional juga patut mewaspadai lonjakan atlet yang akan jadi pesaing pada Kejuaraan Dunia 2019. Dalam tren sebelumnya, jumlah atlet Kejuaraan Dunia yang sekaligus kualifikasi Olimpiade akan berlipat ganda dari kejuaraan sebelumnya.
Benahi perencanaan
Persoalan sebelum dan saat Asian Games tidak boleh terulang lagi. Baik Kemenpora maupun PB Persani harus memiliki perencanaan matang dalam mengawal pesenam menuju Tokyo.
Realisasi komitmen Kemenpora yang akan memprioritaskan Olimpiade Tokyo 2020 patut ditunggu. Tentu senam yang berpotensi mengirimkan wakil harus menjadi salah satu prioritas dalam pendanaan 2019.
PB Persani pun harus berbenah terkait manajemen program pesenam. Setelah program awal gagal, seharusnya PB Persani memiliki rencana cadangan yang lebih konkret. Namun, rencana cadangan itu meleset dan hampir mengorbankan prestasi.
Penetapan skala prioritas sangat penting untuk menatap Olimpiade 2020. Tidak perlu fokus pada 10 atlet, seperti Asian Games, jika memang tidak semua berpotensi. Alangkah baiknya dengan dana minim, PB Persani memilih atlet prioritas.
Hal lain yang tak kalah penting adalah manajemen kondisi atlet. Cederanya Rifda dan Agus menjelang Asian Games 2018 tidak boleh lagi terulang. Meski cedera bukan sesuatu yang direncanakan, dengan manajemen kondisi, program latihan, dan suplemen tepat, kemungkinan cedera atlet bisa diminimalisasi.
Dengan manajemen perencanaan yang matang, prestasi akan datang dengan sendirinya untuk senam Indonesia. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada yang terkejut di kemudian hari.