Rawan Salah Guna Anggaran
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat KONI bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kinerja. Sejauh ini, pengurus KONI bungkam.
JAKARTA, KOMPAS Sumber pendanaan Komite Olahraga Nasional Indonesia yang berasal dari dana bantuan pemerintah berpotensi disalahgunakan. Apalagi, sistem birokrasi di lembaga itu yang identik dengan ”satu komando” membuat tindakan penyalahgunaan wewenang bisa saja terulang.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aristo Pangaribuan, mengatakan, kultur birokrasi olahraga di Indonesia memungkinkan budaya korupsi tumbuh subur.
”Lihat saja yang terlibat (dugaan korupsi) adalah Deputi Kemenpora, Sekjen KONI, dan Bendahara KONI. Itu level pejabat administrasi paling atas,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, akhir pekan lalu.
Salah satu contoh kultur birokrasi satu komando adalah Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI) yang dibentuk KONI dibubarkan karena keputusannya tidak sejalan dengan Ketua Umum KONI.
BAORI merupakan lembaga independen yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa olahraga prestasi. ”Ini baru contoh kecil. Kultur birokrasi seperti ini terjadi berulang-ulang,” ujarnya.
Agar kasus dugaan korupsi tidak terulang, menurut Aristo, perlu ada perbaikan menyeluruh sehingga fungsi organisasi KONI berjalan dengan baik. Salah satunya dengan melakukan uji kompetensi anggota.
”Susah kalau olahraga tidak dikelola profesional dan diurus oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi,” katanya.
Menurut Aristo, praktik korupsi di lingkungan Kemenpora adalah pemberian fee untuk pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga karena mengalokasikan dana bantuan untuk KONI. Apalagi, sumber pendanaan pemerintah merupakan modal utama KONI dalam menjalankan kegiatan.
Meskipun sistem administrasi keuangan negara sudah dibuat sebaik mungkin, dari perencanaan anggaran, verifikasi administrasi, hingga laporan pertanggungjawaban, kasus korupsi penyalahgunaan wewenang akan berulang apabila budaya korupsi tidak diperangi dan kultur birokrasi tidak diperbaiki.
Terungkapnya kasus ini mendorong perbaikan di tubuh KONI. Peran dan fungsi KONI dinilai belum optimal. Tak jarang, KONI membuat program yang kurang perlu, antara lain pelatihan mental atlet di markas militer sebelum ikut kejuaraan multicabang.
”Sejak pemisahan KONI dan KOI pada 2011, peran KONI seperti tidak jelas. Hal itu perlu dievaluasi agar KONI terasa manfaatnya untuk cabang,” ujar Kepala Bidang Pembinaan PB Percasi Kristianus Liem.
Komisi Bidang Pembinaan Prestasi dan Target PB Perbakin Sarozawato Zai sepakat perlu perbaikan di tubuh KONI, terutama agar diisi orang-orang yang paham olahraga dan memiliki integritas.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengatakan, kasus korupsi yang melibatkan Kemenpora dan KONI menjadi pelajaran besar untuk memperbaiki diri, terutama dalam menyalurkan uang ke pihak ketiga. Kemenpora akan lebih terbuka dalam penyaluran anggaran dan tidak begitu saja menerima setiap proposal pengajuan dana.
Terhadap setiap proposal yang masuk, Kemenpora akan meminta pendapat publik, termasuk dari pengurus cabang. ”Akan ada pengawasan publik terhadap pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang diusulkan,” kata Gatot.
Perkembangan kasus
Hingga Jumat (21/12) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan 12 orang dan menyita uang tunai yang diduga terkait korupsi dana bantuan bagi KONI. Lima orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara KONI Jhonny E Awuy, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenpora Adhi Purnomo, dan staf Kemenpora Eko Triyanto.
Berdasarkan penelusuran Kompas, setidaknya ada dua kali pencairan dana bantuan bagi KONI tahun ini, salah satunya sebelum Asian Games dan Asian Para Games 2018.
Pada 10 Desember, KONI mengajukan proposal ”Dukungan KONI Pusat dalam Rangka Pengawasan dan Pendampingan Seleksi Calon Atlet dan Pelatih Atlet Berprestasi”. Proposal itu ditandatangani Hamidy.
Anggaran sebesar Rp 21 miliar akan dipakai untuk tiga kegiatan utama, yaitu penyusunan instrumen dan pengelolaan basis data berbasis Android bagi atlet dan pelatih berprestasi, penyusunan evaluasi atlet Asian Games dan Asian Para Games 2018, serta penyelenggaraan diskusi untuk penyusunan buku pendukung pengawasan dan peningkatan prestasi olahraga.
Setelah diverifikasi, Kemenpora menyetujui bantuan Rp 17,9 miliar pada 14 Desember. Dalam rekomendasi, tim verifikasi meminta Deputi IV sebagai penanggung jawab program mempertimbangkan kembali usulan mengingat tahun anggaran 2018 segera berakhir.
Namun, pada 17 Desember anggaran tetap dicairkan. ”Sudah menjadi kewenangan Deputi IV selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dan asisten deputi selaku PPK untuk mencairkan anggaran,” kata seorang pegawai Kemenpora. Keesokan harinya, KPK melakukan penangkapan pejabat dan pegawai di lingkungan Kemenpora.
Berdasarkan Pasal 36 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, KONI mempunyai tugas, antara lain membantu pemerintah membuat kebijakan nasional dalam pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi di tingkat nasional.
”Pemberian bantuan dana dari Kemenpora ke KONI sudah sesuai aturan, antara lain proposal sudah diperiksa dan disetujui tim verifikasi. Hal ini menjadi masalah karena ada aliran dana yang kembali ke pihak pemberi bantuan,” ujar staf tersebut.
Sementara itu, KONI bungkam dengan kasus yang melibatkan dua pejabat teras ini. Ketua Umum KONI Tono Suratman dan Wakil Ketua Umum Bidang Pembinaan Prestasi dan Organisasi Suwarno tidak bersedia memberi keterangan meski telah berulang kali dihubungi wartawan Kompas sejak kasus itu terungkap. Keduanya sempat menjawab panggilan telepon seluler, tetapi tidak bersedia memberi keterangan. (DNA/DRI/E13)