Hibah Harus Transparan
JAKARTA, KOMPAS - Transaksi pengusulan anggaran hingga persetujuan hibah antara cabang, KONI, dan Kemenpora harus lebih transparan guna meminimalisasi penyalahgunaan anggaran olahraga.
Untuk memperkecil peluang penyalahgunaan anggaran, proses pengajuan hibah ke Kementerian Pemuda dan Olahraga hingga proses persetujuannya harus dilakukan lebih transparan.
Selama ini, proses hibah itu hanya diketahui oleh dua pihak, cabang olahraga atau KONI sebagai pihak yang mengajukan permohonan dan Kemenpora selaku pemberi hibah.
Pengamat olahraga sekaligus mantan Ketua Komisi Bisnis Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Fritz E Simanjuntak, Kamis (27/12/2018), mengatakan, sudah menjadi rahasia umum dana hibah memiliki celah besar untuk disalahgunakan.
Salah satu kunci untuk meminimalisasinya adalah ada proses pengajuan dan persetujuan hibah yang lebih terbuka antara pengusul dan pemberi hibah.
Caranya, lanjut Fritz, cabang olahraga, KONI, dan Kemenpora harus punya basis teknologi bersama untuk transaksi hanya lewat digital. Bahkan, dalam rapat pengajuan dan persetujuan hibah itu perlu pula disiarkan langsung kepada publik.
”Semua itu tujuannya agar ada kontrol bersama. Tidak ada lagi yang ditutup-tutupi,” ujar Fritz.
Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani) Dian Arifin mengatakan, sejauh ini masalah anggaran antara cabang olahraga dan Kemenpora memang belum terbuka. Keputusan jumlah anggaran hanya satu arah dari Kemenpora saja.
Contohnya, pada pengajuan proposal anggaran 2018. Tim verifikasi proposal Kemenpora tidak berdialog dengan PB Persani terkait dengan jumlah permintaan anggaran pelatnas. Saat itu, tim verifikasi langsung memberikan jatah anggaran tanpa mempertimbangkan proposal atau pembicaraan lebih lanjut.
”Padahal, saat itu kami minta Rp 29 miliar, tetapi oleh tim verifikasi tidak dilihat proposalnya. Kami langsung dikasih jatah Rp 7 miliar dan atlet juga langsung dibatasi 10 orang. Padahal, kami minimal harus ada 12 atlet,” kata Dian.
Untuk itu, menurut Dian, ke depannya Kemenpora harus lebih terbuka saat penganggaran pelatnas. Jika memungkinkan, pembagian dana langsung dibicarakan bersama semua cabang. Hal ini untuk menghindari kecurigaan dengan cabang lain yang dapat anggaran lebih besar.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengakui bahwa transaksi hibah selama ini tidak terlalu terbuka. Akibatnya, manfaat dari hibah itu tidak benar- benar terasa untuk dunia olahraga, terutama pengembangan cabang dan atlet.
”Kami akan mengevaluasi cara yang ada sekarang. Ke depan, setiap ada pengajuan hibah, terutama oleh KONI ke Kemenpora, kami akan lakukan uji publik, dalam hal ini program hibah itu akan dibicarakan kepada cabang. Dengan begitu, ada kontrol bersama terhadap program dan anggaran hibah itu,” kata Gatot.
Lebih mandiri
Selain itu, Fritz menilai, cabang-cabang olahraga dan KONI juga harus lebih mandiri dalam keuangan. Selama ini mereka sangat bergantung pada pemerintah. Kondisi itu membuat pemerintah kian berkuasa atas cabang dan KONI, sebaliknya cabang serta KONI tidak memiliki nilai tawar yang kuat.
Hal tersebut yang membuat pemerintah bisa mengatur cabang dan KONI. ”Fenomena kekuasaan itu bisa memicu terjadi korupsi, antara lain permintaan kickback (pembayaran kembali) kepada cabang dan KONI terhadap anggaran yang sudah diberikan pemerintah kepada mereka,” ujar Fritz.
Indikasi ”Kickback”
Mantan manajer tim nasional trilomba (triatlon) untuk Asian Games 2018, yang juga Ketua Umum Pengurus Provinsi Federasi Triatlon Indonesia (FTI) Jawa Timur, Armando van Kempen, menyatakan tidak tertutup kemungkinan ada indikasi kickback itu.
”Semua orang sudah tahu. Setiap cabang harus menyetor anggaran pelatnas sebanyak 20 persen kepada Deputi IV. Pas Asian Games, kami menolak itu dan kami dipersulit mendapatkan dana,” ungkapnya.
Kejadian itu, kata Armando, dimulai pada Desember 2017 saat memasuki penyerahan proposal anggaran untuk Asian Games 2018. Pengurus Pusat FTI diminta mengembalikan sebesar 20 persen dari total anggaran Rp 3,5 miliar kepada oknum-oknum pejabat di Deputi IV.
Oknum itu pun berencana mengajarkan cara membuat surat pertanggungjawaban. Namun, PP FTI yang saat itu diketuai Mark Sungkar menolak permintaan pengembalian dana. (DRI/KEL)