Ole Gunnar Solskjaer yang Memesona
Saya bukan penggemar Manchester United tapi penyuka berat Ole Gunnar Solskjaer. Juga Eric Cantona, Ryan Giggs, Paul Scholes dan tentu saja si bengal Roy Keane.
Saya bukan penggemar Manchester United tapi penyuka berat Ole Gunnar Solskjaer. Juga Eric Cantona, Ryan Giggs, Paul Scholes, dan tentu saja si bengal Roy Keane.
Sebagai penggemar sejati Liverpool, seteru abadi ”ManYoo”, saya kagum pada militansi pemain-pemain hebat ini, apalagi jika sedang berhadapan dengan ”The Reds”. Jika bertemu Liverpool, para legenda ini tampil luar biasa mengerahkan segala kemampuannya, kalau perlu patah kaki, bahkan mati di lapangan hijau. Sebagai ”musuh”, saya sungguh mengagumi mereka.
Para legenda Old Trafford itu bermain kala mereka memiliki manajer terhebat sepanjang sejarah, Sir Alex Ferguson. Di tangan Fergie—pangilan Sir Alex—, United menapaki era emas dan merajai Liga Inggris hampir selama dua dekade sejak 1992.
Gol sontekan Solskjaer di detik akhirlah yang membawa kembali United ke ”tanah terjanji”.
Lewat tangan dingin dan mulut tajam Fergie pula, United mengibarkan kembali kejayaan mereka di Eropa dengan merebut gelar Liga Champions pada 1999 setelah di laga puncak mengalahkan raksasa Jerman, Bayern Muenchen, di Camp Nou, Barcelona. Gol sontekan Solskjaer di detik akhirlah yang membawa kembali United ke ”tanah terjanji”. ”And Manchester United reach the promised land....” teriak pembawa acara siaran langsung televisi kala itu.
Tahun 1999 itu pula United menancapkan tonggak paling bersejarah dengan merebut treble, tiga gelar mayor, setelah sebelumnya memenangi Liga Primer dan Piala FA. Setelah 1999, masih di bawah kepemimpinan Fergie, United tetap merajai Liga Primer tetapi tidak pernah lagi mencapai puncak sebaik 1999 yang fantastik.
Sir Alex Ferguson kemudian mundur sebagai manajer pada 2013 dan ”menunjuk” penggantinya, David Moyes. Sejak itu, United berganti-ganti pelatih hingga terakhir mengontrak Jose Mourinho pada musim panas 2016. Namun, sejarah mencatat, sejak Fergie pensiun, United bukan lagi tim yang ditakuti lawan, bahkan saat mereka tampil di Old Trafford, ”Teater Impian” yang dulu selalu menjadi mimpi buruk bagi lawan, bahkan para raksasa Eropa sekalipun.
Di musim pertama bersama Mourinho yang menjuluki diri ”The Special One”, United memang merebut dua gelar, Liga Europa dan Piala Liga. Meski demikian, musim kedua United menjalani kompetisi dengan susah payah dan finis di posisi kedua dengan selisih poin yang jauh dari Manchester City.
Musim ketiga Mourinho di Old Trafford kemudian berubah menjadi malapekata. Karakternya yang arogan dan cenderung konfrontatif dengan siapa pun, termasuk dengan kalangan media, tidak pernah membawa kenyamanan bagi para pemain, staf, dan pemilik. Pria Portugal yang mengawali karier sebagai penerjemah di klub Barcelona itu berseteru dengan Antony Martial, kemudian dengan Paul Pogba, bintang asal Perancis yang sukses di Piala Dunia 2018.
Perseteruan diam-diam dengan sejumlah pemain juga membuat suasana latihan dan ruang ganti menjadi sangat tidak nyaman. Mourinho kerap mencela secara terbuka para pemain. Sejumlah pernyataannya tentang para pemain bahkan sudah mengarah kepada penghinaan.
United kemudian menjalani start terburuk dalam satu dekade terakhir pada awal musim 2018-19 dan mengalami lima kekalahan dalam 17 laga pertama. Kekalahan pada 16 Desember atas tuan rumah Liverpool kemudian menjadi hari terakhir Mourinho bersama ”The Red Devil”. Mourinho dipecat dan manajemen menunjuk Ole Gunnar Solskjaer sebagai pelatih sementara.
Rekor Mourinho Bersama Manchester United (Liga Primer)
2016-17 | 2017-18 | 2018-19 | |
Menang | 18 | 25 | 7 |
Imbang | 15 | 6 | 5 |
Kalah | 5 | 7 | 5 |
Poin | 69 | 81 | 26 |
Poin per laga | 1,82 | 2,13 | 1,52 |
Selisih gol | +25 | +40 | 0 |
Finis di posisi | 6 | 2 | - |
Sempat diragukan
Ole Gunnar Solskjaer bukanlah orang asing di Old Trafford. Legenda asal Norwegia itu pahlawan bagi United. Selain gol emas di Camp Nou, bintang yang dijuluki ”Pembunuh Berwajah Bayi” itu tampil 366 kali bersama ”Setan Merah” dan mencetak 126 gol sepanjang karier.
Meski lebih banyak bangkit dari bangku cadangan dan mendapat predikat ”super sub”, Solskjaer adalah sosok yang sangat loyal kepada Fergie dan menikmati peran sebagai pemain pengganti istimewa yang kerap mencetak gol kemenangan.
Setelah pensiun pada 2007, Ole Gunnar Solskjaer dipercaya menangani tim cadangan United sebelum hijrah menangani Molde pada 2011. Ayah dua anak kelahiran 26 Februari 1973 itu kemudian kembali ke Inggris Raya menangani klub Cardiff pada 2014 dan mendapatkan memori pahit saat klub asal Wales itu terdegradasi dari Liga Primer di pengujung musim. Ole Gunnar Solskjaer kemudian kembali ke kampung halaman, Norwegia, menangani Molde.
Rekor kepelatihan yang tidak gemerlap sempat membuat banyak kalangan ragu saat dia dipanggil kembali ke Old Trafford untuk sementara waktu menggantikan posisi Mourinho. Namun, keraguan segera sirna. Hanya kurang lebih empat hari untuk mempersiapkan tim, Ole Gunnar Solksjaer mendapatkan dua kemenangan beruntun dalam petualangan terhebatnya bersama tim utama United, menang 5-1 atas Cardiff (Sabtu, 22/12) dan 3-1 atas Huddersfield (Rabu, 26/12).
Bayang-bayang pahit kekalahan di Anfield langsung sirna. Skuad United seolah menemukan kembali jati dirinya sebagai tim solid, efektif, tajam, dan paling penting, sebuah kesatuan bermain bola dengan riang, dengan passion. Faktor-faktor inilah yang hilang sejak awal musim 2018-2019 di bawah kendali Mourinho yang sudah kehilangan elan kepemimpinannya di Old Trafford. ”Para pemain berhenti berlari untuk Jose,” ujar Alan Shearer, legenda Inggris setelah kekalahan United di Anfield.
Pada akhirnya, para pemain United menemukan kebebasan untuk bermain bola sesuai dengan karakternya. Hal yang tidak terjadi sebelumnya sejak musim panas 2016. ”Di bawah siapa pun manajer dan situasinya, inilah seharusnya bagaimana United bermain bola,” ujar pemain belakang Luke Shaw selepas kemenangan 5-1 di Cardiff.
”Dia (Solksjaer) mengatakan, kami harus bermain lebih ke depan, lebih mengancam dan berbahaya bagi pertahanan lawan dan lebih banyak berlari. Kami harus bersaing di semua lini dan itulah yang kami lakukan hari ini,” ujar gelandang Nemanja Matic. ”Skuad bermain dengan energi yang besar dan sangat menikmati laga,” kat gelandang serang Jesse Lingard. ”Dia ingin kami bermain dengan lebih positif terhadap bola,” ujar Marcus Rashford seperti dikutip The Guardian.
Revitalisasi aset
Sebenarnya apa yang diperintahkan Solskjaer adalah hal-hal prinsip paling standar dalam permainan sepak bola modern. Namun, dia merevitalisasi semua aset yang dipunyai United untuk kembali berlari kencang dengan determinasi penuh. Para pemain yang ”disingkirkan” Mourinho lebih karena alasan subyektif dikembalikan ke posisinya. Yang paling krusial tentu saja Paul Pogba.
Selama 2018, pemain yang direkrut dengan memecahkan rekor klub sebesar 89 juta pound sterling didepak dari tim utama, dipanggil lagi, dijadikan kapten, dicabut ban kaptennya, dikecam secara terbuka, dan terakhir dibangkucadangkan lagi. Di Anfield, pahlawan ”Les Bleus” di Rusia 2018 itu duduk di bangku cadangan pada laga yang menjadi tugas terakhir Mourinho.
Bagi Solskjaer, Pogba adalah aset yang harus segera kembali diberi peran. Dia dikembalikan ke tim utama saat bertandang ke Cardiff. ”Pogba pemain dengan kualitas prima. Dia bisa bermain di posisi nomor 6 atau 8 bahkan 10,” ujar Solskjaer dalam jumpa pers sebelum laga.
Benar saja, Pogba kembali menemukan kebahagiaan di lapangan hijau. Di Cardiff, Pogba lebih bermain ke depan, posisi nomor 8 dan 10. Dia mendapatkan tendangan bebas untuk membuka gol yang dicetak Rashford. Mantan pemain Juventus itu juga memasok umpan kepada Ander Herrera dan Lingard sebelum mereka mencetak gol ke gawang Etheridge. Dia menjadi man of the match.
Tiga hari kemudian di Old Trafford, Pogba kembali menunjukkan kelasnya sebagai bintang. Pemain berusia 25 tahun itu mencetak dua gol ke gawang Huddersfield. Pogba juga pemain yang paling banyak menyentuh bola (117), paling banyak melakukan umpan akurat (90), dan paling banyak melakukan tembakan ke gawang (5).
Dengan sejumlah pemain kunci yang juga direvitalisasi, Solskjaer tidak hanya mengembalikan passion dan kegembiraan serta kebebasan kepada tim, tapi juga ketajaman dan determinasi.
Dengan sejumlah pemain kunci yang juga direvitalisasi, Solskjaer tidak hanya mengembalikan passion dan kegembiraan serta kebebasan kepada tim, tapi juga ketajaman dan determinasi. Pola yang dimainkan pun tidak berubah, tetap dengan 4-3-3, menggeser perimeter Pogba lebih ke depan (posisi 8 atau 10 di belakang striker). Para bek sayap, Luke Shaw, Ashley Young, atau Diego Dalot, didorong untuk memanfatkan lebar lapangan untuk membantu tiga pemain depan bermain lebih mengalir, hal yang tidak pernah terjadi saat Mourinho masih memegang kendali.
Di garis pinggir, Solskjaer duduk bersama asisten Mike Phelan yang sudah dekat dikenalnya saat Fergie masih memegang kendali. Bersama Michael Carrick yang kini purnawaktu sebagai asisten, mereka bergantian memberi instruksi kepada Pogba dan kawan-kawan. Asisten lain, Kieran McKenna, juga sesekali memberi nasihat teknis. Sebuah kerja sama tim yang kompak ini nyaris tak terlihat saat Mourinho berada di kotak teknis. Sejak asisten Rui Faria mundur musim lalu, Mourinho adalah pemimpin yang kesepian sekaligus otoriter di garis pinggir.
Dua kemenangan dengan delapan gol tentu hasil yang membuat kubu United kembali ke jalur yang benar. Sebagai tim Inggris paling sukses di kancah domestik, posisi di luar empat besar pastilah bukan tempat mereka sebenarnya. Masih tersisa setengah musim yang bergejolak untuk mengembalikan posisi United ke empat besar, bahkan secara matematis mereka masih bisa mengejar Liverpool sang juara paruh musim.
Secara tradisi, Cardiff dan Huddersfield memang bukan lawan sepadan United dan enam poin total adalah hal wajar. Dua laga ke depan United pun Solskjaer belum akan mendapatkan rintangan berarti karena hanya melawan Bournemouth dan Newcastle United. Baru pada 13 Januari, mereka ditunggu salah satu kandidat juara, Tottenham Hotspur di Wembley. Di stadion keramat pasukan timnas Inggris ”Three Lions” itulah ujian sesungguhnya bagi Solskjaer akan menanti.
Seperti saat menjadi pemain, Solskjaer tidak terlalu peduli dan menikmati statusnya sebagai super sub, pengganti nan istimewa. Kini pun dia menjalani peran sebagai super sub tanpa bermimpi menjadi pelatih tetap. Sebagai pemain pengganti, sebagai pelatih sementara, Solskjaer tetap memesona dan skuad United yakin mereka akan kembali minimal ke zona Liga Champions bersama pria Norwegia yang rendah hati dan murah senyum tersebut.