Saatnya Susun Standar Pelatihan Catur
Dunia catur Indonesia bergairah dengan kemunculan Samantha Edithso. Namun, untuk melahirkan banyak pecatur elite, Indonesia perlu membenahi sistem pelatihan pecatur muda melalui standardisasi kurikulum.
Keberhasilan Samantha Edithso menjadi juara dunia catur cepat dan juara dunia catur klasik pada kategori putri U-10 membuat dunia catur Indonesia sangat bergairah pada 2018. Indonesia membuktikan, negeri ini memiliki pecatur-pecatur muda yang berbakat menjadi juara dunia.
Samantha adalah bocah genius dengan IQ 146 yang kemampuan caturnya ditemukan secara tidak sengaja di sekolahnya, di Bandung. Samantha yang semula tak dapat bermain catur langsung diketahui bakatnya dalam tiga kali latihan. Hanya dalam beberapa bulan latihan, dia bisa mengalahkan pelatihnya di sekolah.
Selanjutnya, Samantha banyak belajar melalui bahan-bahan di internet. Pengetahuannya juga diperkaya melalui pelatihan- pelatihan singkat yang digelar Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi). Samantha juga belajar dengan menganalisis permainan lawan-lawan yang dia temui pada berbagai kejuaraan internasional.
Selain Samantha, para pecatur muda Indonesia lainnya juga berlatih catur dengan cara yang sangat bervariasi. Ada yang berlatih di sekolah-sekolah catur, tetapi banyak juga yang belajar melalui pelatih-pelatih privat yang ada di sejumlah kota di Indonesia.
Para pelatih itu memiliki standar pelatihan yang berbeda-beda. Mereka biasanya para pecatur alam yang terasah dalam berbagai kompetisi, bukan pecatur yang ditempa sekolah catur.
Konsekuensinya, sebagian besar pelatih catur Indonesia tidak memiliki standar kurikulum saat mengajar para pecatur muda. Mereka mengajar berdasarkan pengalaman mereka bertanding selama bertahun-tahun.
Pola itu tidak selalu buruk. Sebagian menghasilkan pecatur yang bagus. Namun, kualitas pecatur muda yang mereka hasilkan menjadi sangat variatif. Ada yang sangat bagus, tetapi banyak juga yang kurang bagus.
Hal itu yang menyebabkan hanya sedikit pecatur Indonesia yang muncul sebagai pecatur unggul di tingkat internasional. Kondisi tersebut berbeda dengan India, China, dan Vietnam, yang mengorbitkan belasan hingga puluhan pecatur muda setiap tahun.
Ketiga negara tersebut juga memiliki banyak pecatur bergelar grand master (GM) dan bahkan beberapa GM super yang memiliki rating di atas 2.600. Di Indonesia, jumlah GM yang masih hidup hanya tiga orang, dan yang masih aktif bertanding catur hanya GM Susanto Megaranto.
Tiga negara raksasa Asia dalam dunia catur tersebut memiliki pola pembinaan yang berbeda. India, misalnya, sangat bergantung pada campur tangan pemerintah kabupaten atau kota untuk membina para pecatur mudanya. Di sisi lain, China mengandalkan pembinaan dari pemerintah pusat.
Setiap pecatur muda dilatih dalam sekolah catur atau oleh pelatih privat, tetapi semua pelatih memiliki kurikulum pelatihan yang terstandar. Fondasi permainan dibangun dengan benar agar setiap pecatur muda tumbuh sebagai pecatur yang hebat saat dewasa.
China, misalnya, menjadi juara Olimpiade Catur 2018 dan mematahkan dominasi negara-negara Eropa Timur. India juga menempatkan beberapa pecatur mudanya menjadi juara dunia kelompok umur.
Jika Indonesia hanya memiliki Samantha sebagai juara dunia kelompok umur dalam 29 tahun terakhir, India memiliki banyak juara kelompok umur dalam kurun waktu yang sama.
Kurikulum pembinaan
Untuk mengatasi ketertinggalan itu pada masa depan, Indonesia perlu melakukan pembinaan pecatur muda dengan cara yang sistematis. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyusun kurikulum pelatihan catur yang terstandar.
Kurikulum itu dapat bermaterikan prinsip-prinsip pembukaan, pertahanan, serangan, dan materi-materi lain yang diperlukan. Kurikulum itu harus diajarkan kepada para pelatih, baik pelatih privat maupun pelatih di sekolah catur.
Standardisasi pelatih, atau jika memungkinkan diikuti dengan sertifikasi, mutlak diperlukan untuk menanamkan fondasi permainan catur yang benar dan kuat bagi para pecatur muda. Pelatihan bagi pelatih harus diikuti oleh para pelatih catur dan menjadi syarat sebelum mereka boleh melatih.
Setiap pelatih berhak menciptakan variasi pelatihan, tetapi mereka harus memiliki standar pelatihan yang harus diberikan kepada para pecatur muda.
Enam bulan lalu, Ketua Umum PB Percasi Utut Adianto mengatakan, standardisasi kurikulum pelatihan itu cukup sulit untuk disusun di Indonesia.
”Standardisasi semacam itu memang penting, tetapi bakal sulit untuk diterapkan karena banyak pelatih di Indonesia sudah bertahun-tahun melatih dengan cara mereka sendiri. Pasti bakal terjadi banyak penolakan,” kata Utut.
Namun, kini Percasi sedang menyiapkan standardisasi kurikulum untuk pelatihan catur di Indonesia. Beberapa pecatur senior diundang untuk menyusun kurikulum pelatihan catur.
”Kurikulum itu diharapkan dapat diterapkan di sekolah-sekolah catur yang mulai tersebar di beberapa kota di Indonesia. Percasi ingin agar para pecatur Indonesia memiliki fondasi permainan yang benar dan kuat,” kata Eka Putra Wirya, anggota Dewan Pembina Percasi.
Selain menyusun kurikulum pelatihan catur, Percasi juga berusaha memasyarakatkan kembali olahraga catur dengan membuka ekstrakurikuler catur di beberapa sekolah pada 2019. Salah satu sekolah yang bekerja sama dengan Percasi untuk memasyarakatkan catur adalah sekolah BPK Penabur di Jakarta Barat.
Jika program itu berhasil, ekstrakurikuler catur dapat ditawarkan ke sekolah-sekolah lain. Jika catur semakin diminati, bibit-bibit pecatur unggul akan muncul sejak usia muda dan dapat membuat Indonesia mampu bersaing lagi di tingkat internasional.
”Jika banyak sekolah membuka ekstrakurikuler catur, banyak pecatur muda akan muncul ke permukaan dan memudahkan Percasi mencari pecatur terbaik yang akan diorbitkan di tingkat internasional,” kata Kristianus Liem, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Percasi.