Hitung Untung-Rugi Olimpiade 2032
Euforia kesuksesan menggelar Asian Games dan Asian Para Games 2018 melahirkan mimpi besar Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. Namun, Olimpiade membutuhkan biaya sangat besar dan tak sedikit tuan rumah yang kesulitan finansial.
Asian Games dan Asian Para Games 2018 memang telah berakhir. Namun, rasa bangga, haru, dan kagum melihat putra-putri bangsa meraih medali dan mengibarkan bendera Merah Putih di podium juara masih terasa. Kemegahan panggung raksasa, kemeriahan acara, serta kehadiran penonton dan pengunjung yang membeludak di kompleks olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta, juga masih segar dalam ingatan.
Kesuksesan pesta olahraga antarnegara se-Asia itu kemudian membubungkan mimpi yang lebih tinggi, yaitu Indonesia jadi tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade 2032. Tingginya antusiasme masyarakat, warisan infrastruktur, dan keberadaan arena olahraga berstandar global dinilai menjadi modal berharga menyelenggarakan pesta olahraga dunia.
Kepastian Indonesia akan mengajukan diri menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach di Istana Kepresidenan Bogor, Sabtu (1/9/2018). Hadir pula dalam pertemuan itu Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia Erick Thohir.
Dengan mengajukan diri, Indonesia akan bersaing dengan beberapa negara yang lebih dulu menegaskan kesediaan mereka menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. Kandidat pertama yang resmi mengajukan diri adalah India. Diikuti Korea Selatan dan Korea Utara yang secara resmi mengajukan pencalonan bersama. Selanjutnya, Jerman, Australia, dan China.
Meski waktunya masih beberapa tahun lagi untuk melakukan penawaran resmi, negara-negara yang ingin menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 sudah menyiapkan tim khusus dan melakukan langkah-langkah strategis untuk meyakinkan mereka siap.
Biro Olahraga Shanghai, misalnya, memilih perusahaan riset lokal untuk melakukan studi kelayakan kota dan fasilitas olahraga untuk menyelenggarakan Olimpiade di Shanghai, China. Studi kelayakan ini menelan biaya hingga 92.100 dollar AS (sekitar Rp 1,3 miliar).
Berdasarkan laporan South China Morning Post, Pemerintah China memang berencana untuk mengembangkan fasilitas di Shanghai sehingga kota ini dapat menyelenggarakan lebih banyak acara internasional.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Langkah riil apa yang sudah dilakukan negara ini untuk jadi tuan rumah Olimpiade? Sampai saat ini sepertinya belum ada langkah konkret yang diambil pemerintah untuk mewujudkan mimpi membawa Olimpiade ke Indonesia.
Erick Thohir beberapa kali mengingatkan agar tim penawaran Olimpiade dengan dukungan dana tahun jamak segera dibentuk. ”Olimpiade 2024 adalah penentuan (kandidat). Tolong ingatkan pemerintah, kapan bentuk tim penawaran?” ujar Erick saat menghadiri diskusi akhir tahun yang diselenggarakan oleh Komunitas Olahraga Indonesia (KORI) di Jakarta, Senin (10/12).
Pemilihan tuan rumah Olimpiade 2032 dijadwalkan IOC akan dilakukan pada 2025. Berkaca dari penyelenggaraan Asian Games 2018, persiapan untuk menyelenggarakan ajang multicabang olahraga yang besar bisa memakan waktu bertahun-tahun.
”Sistem keuangan negara yang kita jalani sekarang memang impossible untuk kemajuan olahraga nasional. Perlu ada diskusi antarlembaga pemerintah, seperti Kemenpora, Kementerian Keuangan, kejaksaan, dan kepolisian. Jangan sampai setelah jerih payah, lalu diperiksa (polisi),” ujar Erick.
Komisi Pengembangan Olahraga Komite Olimpiade Indonesia Harry Warga Negara mengatakan, tim penawaran terdiri dari perwakilan lembaga pemerintah dan nonpemerintah. Tim ini bertugas antara lain melobi negara-negara di Asia untuk mendukung Indonesia sebagai tuan rumah Olimpiade 2032.
Anggota Komisi X DPR, Noor Achmad, mengatakan, dirinya setuju agar Olimpiade 2032 diselenggarakan di Indonesia. ”Sudah saatnya kita menunjukkan punya kemampuan di event internasional,” ujarnya.
Namun, untuk menyelenggarakan Olimpiade, perlu ada aturan khusus terkait sistem anggaran. Ketersediaan anggaran itu sendiri juga krusial.
Asian Games diikuti 45 negara, sementara peserta Olimpiade lebih dari 200 negara. Biaya pada Olimpiade Rio 2016 mencapai 10,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 140,26 triliun dengan kurs Rp 13.233 pada 2016). Nilainya berkali lipat biaya Asian Games 2018 yang sekitar Rp 4,5 triliun dari usulan awal Rp 8,7 triliun.
Menurut Erick, anggaran yang dibutuhkan untuk Olimpiade besarnya empat kali lipat dari Asian Games. ”Saya tidak tahu nanti siapa presidennya saat itu. Namun, jika tak siap, ya, jangan (jadi tuan rumah). Daripada kita dipermalukan,” kata Erick, November lalu.
Menghitung manfaat
Sebelum mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade, Indonesia memang perlu menghitung untung-rugi membawa ajang olahraga itu ke negara ini. Selain dibutuhkan anggaran besar, sejarah mencatat tak selamanya Olimpiade membawa manfaat bagi negara yang disinggahi.
Contohnya, hanya enam bulan setelah Olimpiade Rio de Janeiro 2016, stadion olahraga yang dibangun megah sudah rusak parah karena tak ada biaya perawatan.
Penyelenggaraan Olimpiade yang bertepatan dengan resesi ekonomi Brasil membuat masyarakat menderita karena setelah Olimpiade, pihak berwenang terlambat membayar gaji guru, pekerja rumah sakit, dan uang pensiun. Selain itu, tingkat kriminalitas, seperti pembunuhan dan perampokan di Rio de Janeiro, juga meningkat.
Organisasi non-pemerintah, Amnesty International, seperti dikutip Inside The Games, mengatakan: ”Sayangnya, warisan yang dijanjikan Olimpiade untuk mencapai kota yang aman bagi semua orang tak terwujud, dan sebagai gantinya warisan pelanggaran hak asasi manusia terjadi.”
Pertimbangan dampak Olimpiade serta kewajiban membayar tagihan yang besar untuk menggelar pesta olahraga ini membuat beberapa kota dunia mundur sebagai tuan rumah. Calgary di Kanada, misalnya, menarik diri dari daftar kandidat Olimpiade Musim Dingin 2026. Demikian juga Sion di Swiss dan Graz di Austria memutuskan mundur karena kurangnya dukungan publik ataupun politik.
Erick mengatakan, penyelenggaraan Olimpiade memang tidak selamanya memberikan keuntungan ekonomi. ”Kita tidak bisa selamanya berpikir bisnis, tetapi harus orientasi pelayanan ke masyarakat.
Membangun infrastruktur itu memang rugi. Olimpiade tak hanya berarti ajang olahraga, tetapi juga pembangunan infrastruktur dan fasilitas untuk masyarakat,” katanya.
Dalam pertemuan terbatas dengan wartawan olahraga, Presiden IOC Thomas Bach, September lalu, mengatakan, pihaknya menyambut baik pencalonan diri Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. Menurut dia, kesuksesan Asian Games Jakarta-Palembang melebihi ekspektasinya.
Untuk menyelenggarakan Olimpiade, ujar Bach, pemerintah setempat punya tanggung jawab untuk membuat rancangan pembangunan, menentukan pembangunan fasilitas olahraga dibuat sementara atau permanen, dan memastikan penggunaan fasilitas yang sudah dibangun. Hal ini untuk menghindari ada arena olahraga yang mangkrak setelah Olimpiade.
”Pemerintah punya kekuatan untuk menentukan apakah saat ini lebih baik menggunakan anggaran untuk membangun fasilitas atau lebih mengutamakan uang untuk membayar dokter dan perawat di rumah sakit. Apabila pemerintah yang menunda rencana warisan (Olimpiade) hingga ada stabilitas ekonomi, saya
sepenuhnya dapat mengerti,” ujar Bach.
Kini, di tengah prestasi olahraga Indonesia yang sebagian besar belum masuk level elite Asia, niat menjadi tuan rumah Olimpiade perlu dipertimbangkan matang-matang. Menjadi tuan rumah, untuk sekadar menjadi penonton, tentu tidak elok.