Warisan Besar Schumacher
Michael Schumacher yang masih terbaring koma merayakan ulang tahun ke-50 hari ini, 3 Januari. Pebalap legendaris itu meninggalkan banyak warisan penting yang mengubah wajah Formula 1.
Formula 1 telah melahirkan banyak pebalap legendaris sepanjang 69 tahun eksistensinya. Namun, tiada yang terhebat dan lebih berpengaruh dari Michael Schumacher, mantan pebalap asal Jerman yang pada Kamis ini tepat berusia setengah abad. Totalitas, etos kerja, dan kecintaannya pada balapan telah mengubah wajah F1 seperti kita kenal saat ini.
Tujuh gelar juara dunia,
91 kemenangan balapan, dan 22 rekor lainnya di F1 adalah bukti kedigdayaan mantan pebalap tim Scuderia Ferrari dan Mercedes AMG Petronas yang pensiun pada 2012 itu. Namun, pengaruhnya lebih dari sekadar angka. Karakter, sikap mental, dan daya juangnya terus menjadi warisan yang menghidupi para pebalap F1 generasi sekarang, seperti Lewis Hamilton, Max Verstappen, dan Sebastian Vettel.
Tengok saja komentar Hamilton, pebalap Mercedes yang disebut-sebut pebalap terhebat di F1 dewasa ini. Alih-alih menonjolkan prestasi dan kehebatannya di lintasan balap, pebalap yang tahun ini melewati sejumlah rekor legenda F1 lainnya, Alain Prost, itu justru menyebut nama Schumacher setelah meraih gelar juara dunia kelimanya, Desember lalu.
”(Pebalap F1) terhebat sepanjang masa? Saya kira, status itu masih milik Michael. Ia adalah seorang genius di F1, khususnya dalam hal membangun tim-tim yang dibelanya. Saya bahkan pernah membayangkan menjadi dirinya di sebuah gim komputer. Saya selalu menjadi penggemarnya,” ujar Hamilton, seperti dikutip Sky Sports, 4 Desember lalu.
Tanpa Schumacher, Hamilton bisa jadi tidak akan sesukses saat ini dan meraih empat gelar juara dunia terakhirnya bersama Mercedes. Schumi—sapaan Schumacher—adalah peletak fondasi era kejayaan Mercedes, tim F1 terkuat saat ini yang menyapu semua gelar juara dunia pebalap dan konstruktor dalam setengah dekade terakhir. Schumi, yang sempat pensiun pada 2006, kembali ke F1 pada 2010 untuk mengembangkan tim Mercedes yang saat itu baru saja ”terlahir kembali”.
Schumi, yang semestinya menikmati masa pensiunnya, kembali ke F1 atas ajakan Ross Brawn, mantan direktur teknik dan mitra kerjanya di tim Benetton dan Ferrari. Schumi dan Brawn memang seolah sulit terpisahkan.
Brawn, yang kini menjabat Managing Director of Motorsport F1, selalu mengikuti Schumi ke mana pun ia berpindah tim. Begitu pun sebaliknya. Brawn menyukai Schumi karena empati dan etos kerjanya di atas rata-rata pebalap biasanya.
Pantang mengeluh
Pada masa sebelum tes mobil F1 dibatasi dan belum seketat sekarang, Schumi kerap melahap ratusan lap untuk uji coba pengembangan mobil. Ia bahkan melakukan itu hari Senin ketika hampir semua pebalap F1 lainnya beristirahat memulihkan energi yang terkuras setelah melewati tiga hari balapan yang melelahkan.
Setiap pebalap F1 rata-rata kehilangan bobot hingga 4 kilogram setelah balapan karena harus mengatasi tingginya tekanan gaya gravitasi (G-force) dan panasnya suhu lintasan.
”Jika kami membutuhkannya untuk tes mobil, saya akan menelepon Michael dan berkata, bisakah kamu datang besok? Dia selalu menjawab, jam berapa saya tesnya? Tidak pernah dia menolak. Adapun satu dua pebalap lainnya akan mencari-cari alasan, entah ingin bertemu dengan anak-anaknya, ingin menghadiri perayaan ulang tahun, dan lain-lain.
Anda tidak akan pernah menemui penolakan macam itu dengan Michael karena ia tahu yang kami minta adalah penting,” tutur Brawn dikutip dari majalah F1 Racing.
Tatkala banyak tim F1 memiliki pebalap khusus uji coba, Ferrari dan Mercedes pernah mengalami masa-masa di mana yang melakukan tugas melelahkan itu adalah pebalap utamanya, Schumacher. Proaktifnya Schumi dalam tes uji coba itu berkontribusi besar dalam pengembangan mobil balap terkait uji coba ban, paket aerodinamika baru, atau komponen mekanik lainnya.
Tak heran, Ferrari sempat berjaya dan sangat dominan, seperti Mercedes saat ini, pada kurun 2000-an. Pada masa itu, Schumi dikenal sebagai pebalap yang sangat ngotot dan bahkan nekat. Baginya, gelar juara dan podium tertinggi hal yang tidak bisa ditawar. Schumi rutin melecut diri agar tetap di puncak, mengoleksi banyak trofi dan rekor.
Seperti kebanyakan olahragawan hebat, Schumi juga diliputi kontroversi dan tidak jarang dihujat akibat kengototannya. Pada 1995, ia dicaci karena menyenggolkan mobilnya ke kendaraan rival terberatnya, Damon Hill, pada balapan terakhir di seri Australia. Keduanya gagal finis, tetapi Schumi menjadi juara dunia untuk kali kedua bersama Benetton. Itu dikenang sebagai balapan paling kontroversial dalam F1.
Agresivitas Schumi kian menjadi pada 1997. Ia sengaja menabrakkan Ferrari-nya ke mobil Williams, tim terkuat saat itu, yang dikendarai Jacques Villeneuve di Seri Jerez. Schumi terbukti bersalah dalam sidang Federasi Otomobil Internasional.
Schumi didiskualifikasi. Semua poin dan kemenangan yang diraih pada musim itu digugurkan. ”Ya Tuhan, kami harus bersaing dengan makhluk macam apa itu?” ungkap Brawn menirukan pernyataan para pebalap F1 saat itu tentang Schumi.
Semangat menembus batas Schumacher itu berbuah manis bagi Ferrari. Pada 2000, tim Italia itu meraih gelar juara dunia pebalap bersama Schumi setelah berpuasa gelar selama 21 tahun. Ferrari, yang lama mati suri, pun mengalami masa kejayaan dan dominasi pada era itu hingga 2006 menyusul pensiunnya Schumacher dan disusul hengkangnya Brawn.
Mental petarung
Meski tidak lagi membalap, sebagian dari diri Schumi masih ada di lintasan F1. Semangat, karakter, dan etos kerjanya diwarisi para pebalap muda F1 generasi saat ini. Kenekatannya, misalnya, kini direpresentasikan oleh pebalap Force India, Esteban Ocon.
Pebalap 22 tahun itu kerap ugal-ugalan di lintasan, bahkan menyenggol mobil rekan setimnya karena terinspirasi keberanian Schumi. ”Dia (Schumi) adalah gladiator. Ia selalu berjuang demi posisinya di lintasan,” ungkap Ocon.
Mental petarung serupa terlihat pada pebalap muda berbakat, Max Verstappen. Putra dari mantan pebalap F1, Jan Verstappen, itu kerap disebut ”Schumi muda” karena gaya membalapnya yang berani dan tak kenal kompromi. Seperti halnya Schumi pada era 1990-an, Max tidak segan mengintimidasi rival-rivalnya yang jauh lebih berpengalaman, seperti Kimi Raikkonen.
Schumi juga dikenal sebagai perintis pentingnya faktor kebugaran bagi pebalap F1. Pada era 1980-an, bukan hal aneh melihat pebalap F1 berlemak atau tengah mengisap cerutu menjelang start balapan, seperti Keke Rosberg, juara dunia 1982.
Namun, pemandangan itu tak lagi terlihat sejak kehadiran Schumi di lintasan F1 pertengahan 1990-an. Mulai saat itu, para pebalap F1 berbondong-bondong meniru jejak Schumi yang membawa pelatih pribadi dan alat-alat kebugaran ke paddock alias garasi tim di lintasan balap.
Kebugaran fisik tinggi sangat vital karena menikung di lintasan dengan kecepatan tinggi menghasilkan tekanan G-force hingga 3,1. Tekanan gravitasi sebesar itu bisa membuat orang normal pingsan dalam sekejap karena harus menanggung beban hingga tiga kali lipat dari bobot tubuhnya.
Alasan itu membuat Ocon kerap bersepeda di ketinggian dengan oksigen rendah, yaitu Font-Romeu, Perancis. Wilayah berketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut itu kerap dipakai sebagai pusat latihan para atlet Olimpiade.
”Michael tahu, kebugaran itu setara waktu lap. Ia menciptakan dasar batasan baru di F1,” ujar Pat Symonds, mantan teknisinya di Benetton.
Karakter empatik berupa perhatian dan kehangatan Schumi dengan para kru timnya direplikasi para pebalap F1 saat ini, salah satunya Vettel. Pebalap Ferrari itu sengaja belajar bahasa Italia dan kerap menghadiahi para kru mekanik dengan replika helm dan bersenda gurau dengan mereka untuk membangun hubungan emosional. Adapun Hamilton tidak jarang membawa krunya bermain boling. Mereka sadar, tanpa para teknisi tak akan ada setelan mobil bagus untuk naik podium.
Atas dedikasi dan jasa besar Schumi itu, tim Ferrari membuka pameran khusus ”50 Tahun Schumacher”. Pameran itu digelar di Museum Ferrari di Maranello, Italia, mulai 3 Januari ini.
Sayang, Schumi tidak bisa membuka pameran itu. Dia masih mengalami kelumpuhan motorik dan kognitif menyusul kecelakaan saat bermain ski di Pegunungan Alpen, 29 Desember 2013.
Sebelum tragedi tersebut, Schumi sempat berkomentar tentang ”warisannya” bagi F1 yang membuatnya bangga dan bahagia. ”Saya kira, saya telah menjadi pionir bagi generasi pebalap saat ini. Membalap bukanlah melulu soal talenta, melainkan juga bagaimana bekerja dengan tim Anda, memaksimalkan potensi.
Tidak hanya potensi Anda, tetapi juga memaksimalkan mobil dan tim Anda. Dengan itu, Anda bisa menembus batas di F1,” tutur sang Gladiator F1.