Dua Formula Mengejar Prestasi
Piala Asia dan Piala Dunia FIBA menanti tim nasional bola basket Indonesia pada 2019-2023. Apabila tidak serius bersiap dari sekarang, tim basket Indonesia hanya akan menjadi tim penggembira.
Prestasi tim nasional bola basket Indonesia cukup baik pada 2018. Anak asuh Fictor ”Ito” Roring itu mampu menembus perempat final Asian Games dan babak kualifikasi Piala Asia FIBA. Masalahnya, perkembangan kualitas permainan tim nasional masih belum terlihat signifikan.
Di Asian Games 2018, untuk pertama kali sepanjang sejarah, timnas bola basket Indonesia masuk delapan besar. Namun, di perempat final itu, Arki Dikania Wisnu dan rekan-rekan kalah 63-98 dari China yang kemudian meraih medali emas.
Kekalahan itu wajar. China adalah tim terkuat di Asia saat ini. Mereka memiliki dua pemain NBA dalam tim Asian Games, yaitu Zhou Qi asal Houston Rockets dan Ding Yanyuhang asal Dallas Mavericks.
Persoalannya, timnas Indonesia hanya menang sekali selama Asian Games 2018, saat melawan Thailand, di fase grup. Indonesia nyaris tidak lolos grup karena kalah dua kali dari Mongolia yang ditundukkan Thailand dan Korea Selatan. Kemudian, timnas kalah lagi dari Suriah dan Jepang saat laga perebutan peringkat kelima hingga kedelapan.
Tiga bulan seusai Asian Games, Desember 2018, Indonesia berhasil menembus babak kualifikasi Piala Asia 2021. Timnas bertemu Thailand, Singapura, Malaysia, Makau, dan Guam di babak prakualifikasi.
Meski lolos, timnas sempat kalah melawan Malaysia pada laga perdana. Kekalahan itu cukup mengejutkan karena kualitas permainan timnas selalu berada satu tingkat di atas Malaysia.
Dua penampilan di bawah standar itu seharusnya memecut timnas. Pada 2019 hingga 2023, serangkaian turnamen besar menanti. Pertama, timnas harus menjalani kualifikasi Piala Asia dimulai November 2019.
Di kualifikasi, lawan seperti Australia, China, dan Filipina sudah menanti untuk memperebutkan 16 tiket dari total 24 tim.
Setelah itu, Indonesia akan menjadi tuan rumah pada Piala Dunia FIBA 2023, bersama Filipina dan Jepang. Meski peluang berprestasi kecil, timnas tentunya tidak ingin dipermalukan di rumah sendiri.
Tim Indonesia perlu segera berbenah memperkuat diri karena lawan yang menanti sangat tangguh, seperti tim raksasa Amerika Serikat, Spanyol, dan Argentina.
Naturalisasi
Karena itu, Pengurus Besar Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PB Perbasi) ditantang segera membenahi kualitas timnas. Dengan waktu yang sudah sangat dekat, cara instan menjadi pilihan, yaitu menaturalisasi pemain.
Timnas sebenarnya sudah memiliki pemain naturalisasi, Jamarr Andre Johnson. Namun, Jamarr belum sanggup mengangkat performa tim sendirian. Posisinya pun sebagai small forward, bukan pemain center tinggi besar yang menjadi kebutuhan utama timnas.
Ito membutuhkan pemain berposisi center dengan tinggi lebih dari 200 cm. Hal ini untuk mengimbangi para pemain center top. Di level Asia salah satunya Zhou Qi yang menjulang 2,16 meter. Adapun tinggi Jamarr 1,96 meter. Sementara itu, pemain senior nasional tertinggi adalah Adhi Pratama dengan 1,97 meter.
”Kita akan sulit bersaing di tingkat Asia kalau tidak punya pemain tinggi. Karena hampir semua tim kuat di Asia memiliki center besar. Ini yang menjadi masalah besar kami di Asian Games lalu,” kata Ito yang juga pelatih klub IBL Pelita Jaya itu.
Namun, keunggulan postur tubuh saja tak cukup. PB Perbasi juga perlu menjamin pemain naturalisasi berkualitas dan masih muda. Kesempatan naturalisasi itu harus digunakan untuk manfaat jangka panjang.
Mungkin mereka bisa melirik pemain dari G-League atau liga pengembangan pemain NBA. Di sana terdapat banyak pemain muda berbakat.
Atau jika sulit mengajak pemain berpindah kewarganegaraan, PB Perbasi bisa memulai dari pemain asing di Liga Basket Indonesia (IBL). Beberapa pemain asing di IBL musim ini cukup baik, salah satunya pemain Pelita Jaya, Kore White, yang sudah tiga musim di IBL. Pemain asal Amerika Serikat dengan tinggi 2,03 meter itu sempat bergabung dengan timnas basket Indonesia saat persiapan Asian Games 2018.
Revolusi liga
Langkah jangka panjang itu sekaligus untuk meningkatkan kualitas pemain lokal. Cara terbaik mengembangkan bakat lokal adalah dengan peningkatan mutu liga nasional.
Saat ini, liga nasional, IBL, belum mengembangkan pemain lokal secara maksimal. Indikasinya, IBL kekurangan jumlah pertandingan, hanya 17 laga per musim reguler. Durasi kompetisi tahunan itu pun terlalu singkat, tidak sampai lima bulan, dari akhir November 2018 hingga Maret 2019.
Jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan liga terbaik di dunia, NBA, yang memainkan 82 laga per musim reguler. Tim-tim di NBA menjalani kompetisi selama sekitar delapan bulan.
Akar persoalan itu adalah pada kemampuan liga nasional menggelar kompetisi yang menurun. Sebelumnya, liga nasional sempat memainkan format 33 gim per musim reguler saat liga dipegang NBL pada 2010-2014.
Di sisi lain, IBL semakin mengurangi menit bermain atlet lokal dengan menghadirkan pemain asing sejak 2016. Kehadiran dua pemain asing di setiap tim memang menambah seru persaingan liga, tetapi signifikan mengurangi waktu bermain dan kontribusi pemain lokal.
Terbukti hingga seri ketiga IBL 2018-2019, 23 pemain asing—termasuk tiga pemain pengganti—menghasilkan 51,6 persen poin di liga dengan rata-rata mendapatkan jatah 33,4 menit per gim. Mereka mendominasi di tengah kepungan 125 pemain lokal.
Pihak IBL harus mulai berpikir untuk mengurangi jumlah pemain asing, menjadi maksimal satu pemain per tim. Namun, ketegasan dibutuhkan PB Perbasi yang sebelumnya mendukung format dua pemain asing.
Naturalisasi tentu hanya untuk peningkatan sementara. Revolusi liga jauh lebih penting dalam membangkitkan potensi atlet-atlet nasional.