JAKARTA, KOMPAS Jurang kemampuan atlet angkat besi senior dengan lifter pelapisnya masih sangat jauh. Pengurus Besar Persatuan Angkat Berat, Binaraga, dan Angkat Besi Seluruh Indonesia atau PB PABBSI dituntut segera melakukan regenerasi atlet agar prestasi angkat besi Indonesia di tingkat dunia tidak terputus.
Mendesaknya regenerasi atlet, terutama di sektor putri, terasa saat lifter andalan Indonesia, Sri Wahyuni Agustiani, absen dari pelatnas karena cuti menikah dan dikabarkan mengandung. Padahal, tim ”Merah Putih” dijadwalkan mengikuti Kejuaraan Angkat Besi Internasional Piala Raja EGAT di Thailand, 7-10 Februari, yang termasuk dalam kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020.
Tanpa Sri Wahyuni, kemungkinan kelas 49 kilogram yang menjadi salah satu andalan Indonesia untuk meraih medali Olimpiade akan kosong karena belum ada lifter pelapis dengan jumlah angkatan yang mendekati Sri Wahyuni.
Melalui akun Instagram-nya, lifter peraih medali perak Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dan Asian Games 2018 itu mengumumkan kehamilannya. Dia menunjukkan foto alat tes kehamilan dengan tanda positif diiringi tiga tanda hati. Kabar serupa disampaikan suaminya, Muchamad Ichsan.
Di akun @yaichsanap, suami Sri Wahyuni menuliskan, ”Alhamdulillah, akhirnya Allah memberi rezeki sekaligus anugrah terindah bagi keluarga kecil hambamu ini”. Saat dihubungi untuk konfirmasi mengenai kehamilannya, Sri Wahyuni tidak menjawab.
Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PB PABBSI Alamsyah Wijaya mengaku belum tahu mengenai kehamilan Sri Wahyuni. ”Sejak menikah, dia memang belum berlatih lagi di pelatnas. Kalau soal kehamilan, saya tidak tahu,” ujarnya.
Alamsyah mengatakan, kalau benar Sri Wahyuni mengandung, kemungkinan besar absen di pelatnas. ”Selain Sri Wahyuni, kami belum punya lifter yang kuat. Ada beberapa nama lifter putri di kelas 49 kg, tetapi angkatan mereka masih jauh dari Sri Wahyuni,” katanya.
Jurang kualitas itu terlihat pada Kejuaraan Dunia Angkat Besi 2018 di Ashgabat, Turkmenistan, November 2018. Dalam kejuaraan itu, Sri Wahyuni menempati peringkat ketujuh dengan total angkatan 186 kg (snatch 82 kg, clean and jerk 104 kg).
Di kelas yang sama, lifter remaja Yolanda Putri, yang disiapkan menjadi pelapis, menempati peringkat ke-22. Dia membukukan jumlah angkatan 163 kg (snatch 73, clean and jerk 90 kg) atau terpaut 23 kg dari total angkatan yang dilakukan Sri Wahyuni.
Ketika tampil di Asian Games 2018, selisih angkatan Sri Wahyuni dan Yolanda Putri bahkan lebih dari 30 kg. Sri Wahyuni mencatat angkatan total 195 kg (snatch 88 kg, clean and jerk 107 kg). Adapun Yolanda Putri mengukir angkatan 162 kg (snatch 72 kg, clean and jerk 90 kg).
Alamsyah mengatakan, beberapa atlet yunior bisa didorong untuk lolos kualifikasi Olimpiade. ”Tetapi, untuk meraih medali tak mudah, mengingat banyak atlet kuat dari negara lain,” katanya.
Minimnya pasokan atlet muda juga terjadi di kelas 61 kg, nomor andalan Indonesia melalui lifter Eko Yuli Irawan. Di kelas itu, Eko masih menjadi yang terkuat di tingkat nasional ataupun dunia dengan angkatan terbaik 317 kg (snatch 143 kg, clean and jerk 174 kg).
Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko Pramono, Desember lalu, mengatakan, selama delapan tahun tidak ada atlet pelapis untuk Eko. ”Sampai sekarang tidak ada satu atlet pun yang jumlah angkatannya mendekati Eko. Saya cari ke mana-mana belum kelihatan,” kata Djoko.
Djoko menuturkan, PB PABBSI tidak bisa menunggu perbaikan pembinaan atlet daerah melalui Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) atau sekolah khusus olahraga. Untuk menyiasati minimnya pasokan atlet pelapis, PB PABBSI mengundang lifter yunior untuk bergabung berlatih di pelatnas. Dengan cara itu diharapkan terjadi lonjakan prestasi atlet.
Eko mengatakan, seharusnya atlet-atlet muda tidak menunggu senior mereka pensiun untuk menunjukkan prestasi. ”Namanya persaingan, seharusnya sejak sekarang atlet muda berani tampil untuk mendekati atau melewati jumlah angkatan seniornya. Jangan menunggu ada atlet senior pensiun dulu, baru naik,” katanya. (DNA)