Pengorbanan Klopp
Manajer Liverpool Juergen Klopp mengorbankan paham gegenpressing yang dicintainya saat membekap Brighton & Hove Albion. Kemenangan kini lebih penting ketimbang gaya.
SUSSEX, MINGGU Liverpool bak memiliki jati diri baru pada musim ini. Mereka bukan lagi remaja tanggung penganut musik cadas, melainkan pria dewasa yang sudah memiliki tujuan hidup dan ambisi.
Perubahan kepribadian ”The Reds” itu sangat terlihat ketika mereka membekap Brighton & Hove Albion pada pekan ke-22 Liga Inggris, Sabtu (12/1/2019) malam. Liverpool bermain dengan identitas berbeda pada laga di East Sussex itu.
Liverpool, di era Manajer Juergen Klopp, dikenal ekspresif dan tanpa kompromi. Mereka bak anak muda yang tak suka diatur, emosi yang meledak-ledak, dan fanatik dengan kultur identitas yang dianutnya, yaitu gegenpressing (menekan balik).
Namun, itu semua tidak terlihat saat The Reds bertamu ke markas Albion. Liverpool berubah menjadi sosok yang penuh kalkulasi, pragmatis, dan membosankan. Mereka menang hanya dengan margin satu gol, itu pun lewat penalti yang dieksekusi Mohamed Salah.
Pragmatisme Liverpool terlihat dari cara bermain mereka. Meskipun menguasai 70 persen bola, salah satu yang tertinggi di musim ini, The Reds hanya bisa membuat tiga tembakan tepat ke arah gawang, salah satunya melalui penalti.
Ini adalah yang terburuk kedua setelah laga kontra Napoli, Oktober 2018. Saat itu Liverpool tak mampu membuat satu tembakan pun ke gawang dan kalah 0-1.
Meskipun demikian, Klopp membela permainan timnya pada laga itu. Ia berkata, timnya kini lebih dewasa. ”Kami bukanlah Harlem Globetrotters (tim komedi basket asal Amerika Serikat). Kami harus meraih hasil (tiga poin). Itu cukup sulit,” ujar Klopp seusai laga itu.
Bagi Klopp, kemenangan kini lebih penting ketimbang gaya gegenpressing yang mengibarkan namanya. Untuk pertama kali dalam setengah dekade, Liverpool kini di jalur gelar juara. Mereka kembali unggul jauh, yaitu tujuh poin, dari rival beratnya, Manchester City, berkat kemenangan atas Albion.
Klopp agaknya belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Ia sadar, gaya tidaklah bisa membeli gelar. Taktik juga tidak akan mencatatkan namanya ke buku sejarah Liverpool. Hanya gelar juara yang bisa membuat dirinya tetap dikenang fans The Reds puluhan tahun ke depan.
Pendukung Liverpool saat ini tidak lagi sabar akan trofi juara, hal yang belum sekali pun diberikan Klopp sepanjang 3,5 tahun kariernya di klub itu. Klopp pun mulai dirongrong ketidakpercayaan. Itu ditunjukkan lewat gerakan ”Klopp out” setelah Liverpool tersingkir di Piala FA, akhir pekan lalu.
Padahal, fans The Reds sempat antusias dengan kehadiran Klopp. Mantan pelatih Borussia Dortmund itu menghadirkan permainan yang penuh gol, gairah, dan energi yang memanjakan mata. Namun, fans mulai gerah dengan prestasi tim.
Tim sirkus
Dua musim lalu, Liverpool sempat dianggap tim sirkus karena tampil sangat menghibur sekaligus bak lelucon. Mereka sering mempermalukan tim-tim mapan seperti Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur.
Ironisnya, mereka justru terkapar saat menghadapi barisan liliput seperti Burnley, Bournemouth, dan Swansea.
Taktik gegenpressing, yang mengeksploitasi kesalahan lawan saat membangun serangan, tidak mempan menghadapi tim yang defensif dan menumpuk bek di areal pertahanan.
Trisula maut The Reds, yaitu Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane, mati kutu karena lawan- lawan seperti itu tidak memberi ruang serangan balik cepat.
”Musim lalu, kekuatan terbesar kami adalah tekanan tinggi. Namun, ada momen-momen di mana lawan tidak ingin bermain bola. Itu membuat kami seperti anjing yang kehilangan mainan favoritnya.
Saya tidak mau seperti itu. Saya harus melakukan hal berbeda agar bisa berkembang,” ungkap Klopp, seperti dikutip Sky Sports.
James Milner, gelandang Liverpool, mendukung pandangan baru bosnya itu. ”Anda tidak bisa selalu bermain bebas serta terus menyerang selama 90 menit di setiap laga. Kami harus beradaptasi dan mencari cara lain bermain karena setiap laga memiliki tantangan berbeda,” tutur Milner.
Evolusi itu membuahkan hasil. Musim ini, The Reds belum sekali pun kehilangan poin dari tim-tim kecil. (AFP/JON)