Reformasi sebagai ”Obat Kanker” di PSSI
Pengaturan skor adalah masalah paling serius di dalam olahraga. Tak heran, Jacques Rogge, mantan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), menggambarkan kejahatan itu bak penyakit kanker.
”Masalah doping berpengaruh pada satu individu. Namun, pengaturan skor berdampak ke seluruh kompetisi. Itu jauh lebih besar,” tutur Rogge.
Ibarat kanker, dalam konteks di Tanah Air, masalah pengaturan skor di sepak bola bisa dikategorikan dalam stadium lima alias akut. Dibiarkan selama bertahun-tahun, kanker ganas itu kini telah menyebar ke seluruh organ tubuh sepak bola Indonesia, mulai dari level terbawah, yaitu liga amatir, hingga liga profesional. Pelakunya pun sangat beragam, mulai dari pemain, wasit, hingga pejabat eksekutif di PSSI.
Selama satu dekade terakhir, tidak ada upaya kuratif yang signifikan untuk mengobati penyakit yang sangat berbahaya itu. Langkah ”penyembuhan” baru muncul di akhir tahun lalu, yaitu dengan kelahiran Satuan Tugas Antimafia Bola yang dibidani Kepolisian Negara RI. Sungguh ironis, gebrakan itu muncul justru dari luar lingkup keluarga sepak bola, khususnya PSSI selaku otoritas sepak bola tertinggi di Tanah Air.
Namun, itu bisa dimaklumi. Bagaimana mungkin PSSI, sebagai otak sepak bola di Tanah Air, bisa menyembuhkan dirinya sendiri yang terjangkiti kanker itu? PSSI bak pasien dalam jerat kanker ini, terbukti dengan ditangkapnya anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Johar Lin Eng, karena kasus- kasus pengaturan skor. Sebelumnya, anggota Exco lainnya, Hidayat, mengundurkan diri akibat masalah serupa.
Jerat kanker pengaturan skor di tubuh PSSI bahkan telah menyebar hingga organ yudisialnya, Komisi Disiplin. Salah satu anggota Komdis, Dwi Irianto alias Mbah Putih, telah dijadikan tersangka oleh Satgas Antimafia Bola. Ironisnya, sebelum ditangkap, Dwi sempat menjadi salah satu ”hakim” yang memutus sanksi dalam kasus-kasus pengaturan skor.
Merespons masalah pengaturan skor, PSSI lantas menggulirkan rencana membentuk komite ad hoc. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana urgensi dan efektivitas badan sementara itu? Adalah sebuah kebiasaan lama PSSI membentuk komite-komite ad hoc dalam merespons masalah sensitif yang menyita perhatian publik.
Komite-komite sejenis, seperti komite ad hoc kemitraan dan ad hoc reformasi, pernah dibentuk PSSI saat ”perang dingin” dengan pemerintah, 2015-2016.
Komite-komite itu lebih terkesan seperti pemadam kebakaran, meredam kritik, tetapi tak menyentuh ke akar persoalan. Komite ad hoc memang memiliki keterbatasan karena bekerja untuk komite eksekutif. Hasil kerjanya berupa rekomendasi kebijakan atau regulasi yang penerapannya dipulangkan kepada komite eksekutif.
Langkah terobosan
Terkait hal itu, akan lebih strategis mengoptimalkan kongres, forum tertinggi di PSSI. Kongres PSSI, yang akan digelar akhir bulan ini, diharapkan tidak hanya memutus soal pergantian anggota Exco yang terjerat kasus pengaturan skor.
Kongres, yang mewakili seluruh anggota PSSI, diharapkan berani melangkah lebih jauh dari hal normatif tersebut. Dalam hal ini, PSSI bisa merujuk pada induknya, FIFA, dalam upaya memperbaiki diri dan memulihkan citranya.
Pada 2016, menyusul skandal suap dan korupsi hak-hak siar Piala Dunia yang melengserkan Presiden Sepp Blatter dan para anggota Exco lainnya, FIFA menggelar kongres luar biasa yang menjadi tonggak sejarah baru dari lembaga itu. Kongres di Zurich, Swiss, itu menghasilkan satu putusan monumental, yaitu kebijakan reformasi FIFA yang salah satu isinya meniadakan komite eksekutif.
Komite, yang dulu dipimpin Blatter dan memiliki kekuasaan nyaris absolut itu, diganti dengan Dewan FIFA. Lahirnya badan eksekutif baru ini mewakili upaya pemisahan yang tegas antara politik dan fungsi manajemen di FIFA. Sejak itu, kewenangan eksekutif menjadi lebih dibatasi.
Dewan FIFA, yang saat ini dipimpin Presiden Gianni Infantino, bertanggung jawab dalam menyusun kebijakan strategis umum. Adapun eksekusi harian diserahkan ke sekretaris jenderal dan para bawahannya. FIFA pun menekankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Namun, PSSI masih menggunakan tata kelola yang usang. Jangankan uji integritas, tumpang tindih kewenangan dan jabatan pun masih kerap terjadi di PSSI, termasuk di era Edy Rahmayadi. Para anggota Exco PSSI, seperti Hidayat dan Johar Lin Eng, memegang tugas strategis harian di komite tetap kompetisi dan sepak bola.
Sementara itu, sejumlah anggota Exco lainnya merangkap sebagai pemilik atau pengurus klub, seperti Joko Driyono (Persija Jakarta), Iwan Budianto (Arema FC), dan Pieter Tanuri (Bali United FC).
Tidak kalah anehnya, Bendahara PSSI Berlinton Siahaan juga memegang jabatan Direktur Utama di PT Liga Indonesia Baru, operator kompetisi profesional sepak bola di Indonesia. Padahal, di negara tetangga, seperti Thailand, Thai League dipegang profesional di luar federasi, seperti Benjamin Tan asal Singapura.
Untuk itu, sebelum sesumbar soal pemberantasan pengaturan skor dan menghukum para pemain, lebih baik jika PSSI lebih dulu melakukan ”bersih-bersih” di rumahnya sendiri, yaitu minimal meniadakan konflik kepentingan dari para pejabatnya.
Publik kini menunggu gebrakan PSSI, khususnya Edy Rahmayadi yang mengemban tugas sebagai komandan PSSI di rezim reformasi sejak tiga tahun silam. Inilah saatnya ia berani mewujudkan reformasi yang hingga kini belum terlaksana itu. Jika tidak, entah sampai kapan PSSI bakal pulih dari kanker kronis itu.(Yulvianus Harjono)