Postur Jangkung yang Bukan ”Berkah”
Dianugerahi postur tubuh jangkung menjulang ternyata bukan menjadi ”berkah” bagi kalangan petenis profesional. Meski kecenderungan dunia tenis para pemain semakin tinggi rata-rata posturnya dan mereka yang paling menjulang mengalami kemajuan lebih cepat dibandingkan petenis lain, tetapi di level profesional perawakan menggapai langit tersebut tidaklah menjadi keunggulan kompetitif.
Di Grand Slam Australia Terbuka, kisah klasik tersebut juga terulang. Petenis Kroasia, Ivo Karlovic, yang punya postur 211 sentimeter, tak mampu melewati babak kedua kalah di tangan petenis Jepang, Kei Nishikori (unggulan ke-8), yang posturnya ”hanya” 178 cm.
Yang menarik adalah pertemuan dua petenis dengan tinggi badan di atas 2 meter pada Senin lalu di Melbourne Park saat John Isner (208 cm) berjumpa Reilly Opelka (213 cm). Dua petenis Amerika Serikat yang bisa melihat garis belakang (baseline) lawan saat melakukan servis berkat tubuh mereka yang menjulang tersebut seolah-olah menyajikan laga antara dua ”raksasa” dan raket yang terlihat mungil di tangan mereka. Isner yang unggulan ke-9 untuk pertama kalinya kalah dari sesama petenis AS di ajang Grand Slam.
Opelka (peringkat ke-97 ATP), yang untuk pertama kalinya memenangi laga di ajang mayor, kini menjadi petenis dengan tubuh paling tinggi di dalam tur. Petenis berusia 21 tahun itu punya postur tubuh yang lebih di antara 99 persen petenis yang berlaga di Grand Slam dalam 20 tahun terakhir. Sayangnya perjalanan Opelka terhenti pada babak kedua Australia Terbuka setelah Rabu lalu kalah di tangan petenis Italia, Thomas Fabbiano, yang tingginya ”hanya” 173 cm.
Dengan tubuh tinggi menjulang, pemain seperti Karlovic punya servis geledek yang menjadi senjata mematikan. Jika servis pertama sukses, dia akan maju menyerang ke jaring dan mengembangkan permainan serve and volley, gaya yang sudah sangat jarang terlihat di ATP Tour. Statistik membuktikan, dalam lima set yang berlangsung sengit, Karlovic menghunjamkan 58 servis as tetapi persentase poin yang didapat Karlovic saat menyerbu ke jaring hanya 57 persen. Sementara dalam meraih poin lewat servis kedua, persentasenya juga jauh di bawah Nishikori.
Di luar kegagalan Isner, Karlovic dan Opelka, petenis-petenis jangkung tersebut sebenarnya merupakan tren yang berkembang di ajang tur dan Grand Slam di kelompok putra. Situs resmi Australia Terbuka menyebutkan, pada tahun 2000-an, sebesar 10 persen dari mereka yang paling jangkung punya postur 193 cm atau lebih. Angka itu kini naik menjadi 198 cm atau lebih.
Becermin dari laga Karlovic vs Nishikori terlihat jelas meski pemain tinggi dominan dalam meraih angka lewat servis as, bukan berarti dia bisa mengontrol jalannya pertandingan. Para ahli menyebutkan fenomena ini sebagai ”keseimbangan permainan yang elegan”. Mengapa demikian? Servis geledek hanyalah setengah dari permainan, setengahnya lagi adalah mengembalikan servis. Dalam kasus-kasus yang spesifik memperlihatkan, bagi pemain bertubuh tinggi, mengembalikan servis adalah sebuah beban atau dengan kata lain poin bagi lawan.
Data menunjukkan, pemain-pemain dengan tinggi badan yang menanjak cepat sejak masih remaja menampakkan korelasi positif dengan kenaikan peringkat mereka di level profesional. Di antara 100 pemain top yunior setiap tahun dari periode 2000 hingga 2009, para pemain dengan postur tertinggi (di atas 185 cm putra, di atas 182 cm putri) secara tipikal berada di posisi tengah pada peringkat. Namun, saat memasuki level pro, rata-rata peringkat mereka 127 tingkat lebih tinggi daripada pemain dengan tubuh lebih pendek untuk pria dan 113 tingkat lebih tinggi untuk putri.
Ini bisa diartikan, pemain dengan tinggi tubuh ekstrem punya modal lebih baik dibandingkan pemain dengan tinggi rata-rata. Namun, data juga menunjukkan, mereka dengan postur tinggi pada kelompok putra tidak mendapatkan keuntungan kompetitif dari ”kelebihannya” tersebut.
Dalam 32 tahun antara 1985 dan 2016 hanya tiga gelar Grand Slam (2,4 persen) yang dimenangi oleh pemain bertubuh jangkung ekstrem (195 cm ke atas), yakni oleh Richard Krajicek, Juan Martin del Potro, dan Marin Cilic. Sementara pada periode yang sama pemain hanya ada 7,7 persen pemain jangkung ekstrem di kelompok 100 besar.
Lantas mengapa pemain jangkung di kelompok putra tidak punya keuntungan kompetitif? Jawaban utamanya adalah ketika servis geledek mereka berhasil dikembalikan, kondisinya tiba-tiba menjadi tidak menguntungkan bagi dirinya.
Pemain jangkung cenderung punya kelenturan dan kecepatan yang lebih buruk dibandingkan dengan pemain tinggi badan tidak ekstrem.
Pemain jangkung cenderung punya kelenturan dan kecepatan yang lebih buruk dibandingkan dengan pemain tinggi badan tidak ekstrem. Di lapangan dengan pantulan rendah, seperti di lapangan rumput Wimbledon, pemain jangkung ekstrem juga bekerja jauh lebih keras karena harus menekuk lututnya lebih dalam dibandingkan pemain dengan tinggi rata-rata.
Statistik tentang tiga pemain GOAT (Greatest All of Time), Roger Federer, Rafael Nadal, dan Novak Djokovic yang secara bersama-sama mengoleksi 51 gelar Grand Slam dalam 64 turnamen terakhir mempertegas ketidakberuntungan pemain-pemain dengan tinggi tubuh ekstrem. Federer bertinggi 185 cm, Nadal 185 cm, dan Djokovic 188 cm.
Cerita berbeda terjadi di kelompok putri yang pada periode 1986-2016 merebut 15 persen gelar Grand Slam lewat pemain bertubuh tinggi (183 cm ke atas). Mereka antara lain Lindsay Davenport, Venus Williams, Maria Sharapova, dan Garbine Muguruza. Sementara ada 6,6 persen pemain jangkung putri di kelompok 100 besar.
Mengapa bisa demikian? Analis mengatakan, kelompok perempuan bertubuh jangkung tidak terlalu menderita dalam pengembalian servis seperti kelompok putra. Mereka juga menerima servis yang relatif lebih pelan dengan putaran (spin) yang lebih lemah sehingga punya cukup waktu dalam persiapan penerimaan servis. Alasan lain, kelompok putri bermain dengan ukuran lapangan yang sama dengan kelompok putra tetapi kelompok putri paling jangkung, sama jangkungnya dengan rata-rata tinggi badan pemain putra.