Pelajaran dari Legenda
Bagi para petenis muda yang sedang bersinar, panggung Grand Slam mengajarkan seni permainan tingkat tinggi, terutama saat mereka bertemu para petenis terbaik dunia.
MELBOURNE, JUMAT Delapan petenis berusia 22 tahun ke bawah di peringkat 30 besar dunia menandai kelahiran era generasi muda. Namun, saat berhadapan dengan jajaran petenis terbaik di arena Grand Slam, anak-anak muda itu masih perlu banyak belajar.
Dua pertandingan tunggal putra pada babak ketiga Australia Terbuka di Melbourne Park, Jumat (18/1/2019), memperlihatkan hal itu. Petenis berusia 19 tahun, Alex de Minaur, dan Taylor Fritz (21) mendapat kesempatan langka saat menghadapi dua petenis yang telah menciptakan rivalitas terbaik sepanjang sejarah tenis, Rafael Nadal dan Roger Federer.
Dari petenis yang masuk jajaran Greatest of All Time (GOAT) itulah, De Minaur dan Fritz mendapat pelajaran. Faktor lain yang membuat pengalaman itu lebih berharga adalah ketika pertandingan diselenggarakan di stadion terbesar di Melbourne Park, Rod Laver Arena, serta disaksikan sang pemilik nama stadion, Rod Laver.
Laver adalah salah satu legenda tenis asal Australia yang mendapat 11 gelar juara Grand Slam pada era 1960-an. Gelar dari empat Grand Slam beruntun didapat, masing-masing, pada 1962 dan 1969.
Di stadion berkapasitas 15.000 penonton itu, Nadal mengalahkan De Minaur, petenis Australia berperingkat ke-29 dunia, 6-1, 6-2, 6-4. De Minaur, yang dimentori mantan petenis terbaik Australia, Lleyton Hewitt, memberi perlawanan ketat kepada Nadal.
Dia selalu berusaha mengembalikan bola pukulan Nadal meski harus pontang-panting bertahan di belakang baseline. Tak hanya dari sudut kiri ke kanan, De Minaur juga harus berlari kencang saat Nadal memukul drop shot.
Persaingan pada beberapa gim berlangsung lebih dari 10 menit, seperti gim kedua set pertama yang berlangsung 11 menit dan gim pertama set kedua selama 15 menit. De Minaur bahkan membuat Nadal harus menunggu hingga match point keenam untuk memenangi pertandingan.
Pada perebutan gim yang berlangsung lama itulah petenis Australia dengan ayah orang Uruguay dan ibu dari Spanyol itu harus belajar lebih sabar dalam permainan reli.
Setelah mampu bertahan dari forehand dan backhand silang Nadal, De Minaur justru terburu-buru saat punya kesempatan menyerang. Bola dari pukulan volinya sering keluar lapangan atau tak dapat menyeberangi net.
De Minaur pun hanya bisa tersenyum ketika Nadal membuat winner melalui running forehand dengan arah bola melengkung. Bola yang melewati De Minaur yang telah berada di depan net ini (passing shot) jatuh tipis di sekitar garis pinggir permainan tunggal.
”Pada gim terakhir itu saya harus berusaha keras agar skor tidak menjadi 5-5. Keadaan bisa berubah kalau terjadi seperti itu. Dia seorang pejuang, gerakannya juga lebih cepat dari saya. Masa depannya akan bagus,” kata Nadal yang akan melawan Tomas Berdych pada babak keempat.
Federer juga menilai seperti itu atas penampilan Fritz yang dikalahkannya 6-2, 7-5, 6-2. ”Saya tahu tantangan yang saya hadapi melawan Fritz lebih besar dari babak sebelumnya, saya harus ekstra fokus pada pertandingan tadi. Dia pemain bagus,” kata Federer.
Fritz pernah mencuri satu set saat bertemu Federer pada turnamen ATP Hamburg 2016. Namun, melakukan hal yang sama di arena Grand Slam tidak mudah.
Berbeda dengan format best of three sets (harus menang dua dari maksimal tiga set), seperti yang digunakan di Hamburg, bermain dalam best of five sets di Grand Slam memerlukan konsistensi penampilan dalam pertandingan yang lebih panjang.
Mantan petenis nomor satu dunia, John McEnroe, mengatakan, perlu konsistensi kekuatan fisik, mental, dan kemampuan untuk tampil di Grand Slam, apalagi menjuarainya. Untuk menjadi juara Grand Slam, seorang petenis harus menang dalam tujuh pertandingan beruntun.
Di tunggal putri, perjalanan juara bertahan Caroline Wozniacki terhenti pada babak ketiga. Wozniacki ditaklukkan juara Australia Terbuka 2008, Maria Sharapova, 4-6, 6-4, 3-6, pada pertemuan pertama mereka dalam empat tahun terakhir. (AP/IYA)