JAKARTA, KOMPAS – Para lifter nasional harus bersiap lebih baik menuju persaingan di ”kandang macan”, China. Di negara Tirai Bambu itu, Eko Yuli Irawan dan kawan-kawan berhadapan dengan lifter papan atas yang mendominasi Kejuaraan Dunia Angkat Besi 2018.
Indonesia mengirimkan empat lifter putra dan tiga putri ke Piala Dunia IWF, di Fuzhou, China, 22-27 Februari 2019, yang termasuk dalam agenda kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Mereka terdiri atas Eko Yuli dan Surahmat (kelas 61 kg), Deni (67 kg), dan Triyatno (73 kg). Di bagian putri terdapat Syarah Anggraini (49 kg), Acchedya Jagaddhita (59 kg), dan Nurul Akmal (+87 kg).
Pelatih kepala tim angkat besi Indonesia Dirdja Wihardja mengatakan, hasil di Kejuaraan Angkat Besi Internasional Piala EGAT di Chiang Mai, Thailand, 7-10 Februari, harus menjadi batu loncatan menuju penampilan yang lebih baik di China. “Persaingan di China lebih berat karena itu “kandang macan”. Mereka pasti akan menurunkan kekuatan penuh,” tuturnya, Sabtu (9/2/2019).
Apabila di Thailand tim “Merah Putih” bersaing dengan lifter dari 16 negara, di China negara yang berpartisipasi lebih banyak. Lifter terbaik Indonesia dituntut untuk fokus mengangkat beban agar tidak gagal melakukan angkatan. “Apabila angkatan lifter gagal, akan merugikan karena tidak mendapat poin dunia. Padahal, poin dunia sangat penting untuk tampil di Olimpiade Tokyo,” ujar Dirdja.
Berdasarkan aturan Federasi Angkat Besi Internasional (IWF), perhitungan poin peringkat dunia menuju Olimpiade menggunakan sistem robi poin. Dalam sistem ini, setiap angkatan terbaik akan dikalikan poin yang sudah ditentukan, seperti 1,10 untuk emas, 1,05 untuk perak, dan 1,0 untuk perunggu. Akumulasi poin akan digunakan untuk menentukan delapan lifter terbaik dunia yang berhak mengantungi tiket ke Tokyo.
Berkaca dari hasil di Thailand, tim “Merah Putih” memang harus meningkatkan kekuatan, mematangkan teknik angkatan, serta memperbaiki mental berlomba. Hal ini dibutuhkan agar lifter bisa melakukan angkatan benar. Apabila tiga kesempatan dari setiap jenis angkatan tidak dimanfaatkan dengan baik, maka lifter bisa didiskualifikasi dari perlombaan.
Di Thailand, Deni hanya bisa melakukan satu angkatan snatch benar dari tiga kesempatan yang ada. Dia sukses mengangkat beban 132 kg. Ketika beban dinaikkan menjadi 138 kg, Deni kewalahan sehingga dinyatakan salah. Pada kesempatan terakhir, Deni gagal mengangkat beban 141 kg.
Dengan angkatan total 303 kg (snatch 132 kg, clean and jerk 171 kg), Deni berhasil merebut tiga medali emas. Tetapi, jumlah angkatan ini masih jauh dari pencapaian terakhirnya di Kejuaraan Dunia 2018, yaitu total 310 kg (snatch 140 kg, clean and jerk 170 kg).
Jumlah itu pun belum cukup untuk menembus persaingan di tingkat dunia. Lifter peringkat pertama dunia di kelas ini, Julio Ruben Mayora Pernia (Venezuela), mempunyai total angkatan 322 kg (snatch 147 kg, clean and jerk 175 kg) atau terpaut 12 kg dari jumlah angkatan Deni pada Kejuaraan Dunia 2018.
Padahal, seperti yang disampaikan Deni sebelum berlomba ke Thailand, meningkatkan jumlah angkatan dengan usia yang tak lagi muda bukanlah perkara mudah. “Bagi saya yang penting adalah bisa memulihkan angkatan terbaik seperti di Kejuaraan Dunia. Kalau jumlah angkatan sudah pulih, baru bisa berpikir bagaimana meningkatkan angkatan,” katanya.
Dirdja menjelaskan, Deni harus memperbaiki teknik dan power agar jumlah angkatannya meningkat. “Dalam sepuluh hari ini, 80 persen latihan untuk Deni akan difokuskan untuk menambah power. Perbaikan teknik dilakukan sambil berjalan,” katanya.
Deni mengatakan, dirinya melakukan angkatan gagal karena beberapa alasan, seperti angkatan tidak lurus sempurna ketika berada di atas kepala. Deni mengatakan, penampilannya di Thailand belum sesuai prediksi. “Saya harus tampil lebih baik lagi di China,” katanya.
Di Thailand, Deni meraih tiga medali emas. Lifter Triyatno membawa pulang dua emas dan satu perak. Sedangkan Acchedya meraih satu perunggu. Lifter Nurul Akmal akan berlomba hari Minggu (10/2) ini.